Ebiz Ads

Sabtu, 20 Maret 2010

Terangnya Bisnis Lampions Daur Ulang Botol Bekas


Produk-produk daur ulang masih menjadi bisnis yang menggiurkan. Selain tidak perlu bermodal besar, bisnis ini hanya memerlukan kreativitas yang tinggi.

Bob Novandy termasuk yang jeli melihat peluang ini. Pengrajin lampions daur ulang botol minuman bekas di Kebon Jeruk, Jakarta Barat ini sudah menjalankan bisnis daur ulangnya sejak tahun 2003 lalu.

Mantan sespri salah satu anggota DPR ini terinspirasi mengembangkan produk daur ulang ketika banyak botol-botol plastik dibuang begitu saja di banyak tempat tanpa dimanfaatkan. Dengan kemampuannya kini ia telah memproduksi kurang lebih 150 jenis bentuk botol daur ulang dengan harga per buahnya mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 500.000.

Beberapa produk seperti lampions dengan berbagai macam ukuran, tirai-tirai rumah, miniatur kendaraan ia produksi sendiri dari tangannya yang sangat terampil. Ia mengaku, saat ini semua produksi lampions daur ulangnya diproduksi jika ada pesanan saja. Produksi lampionsnya setidaknya sudah menembus pasar Hongkong.

"Pasar yang saya incar seperti cafe, perumahan, lokasi kost dan lain-lain," kata Bob

Saat ini semua pesanan yang ia perolehnya umumnya masih dari mulut ke mulut, semua penjualan produknya tidak melalui gerai khusus. Bagi pemesan yang berminat umumnya langsung mendatangi rumahnya di Kebon Jeruk.

Bob mengatakan dalam sebulan ia mampu memproduksi lampions hingga 300 unit dengan omset Rp 20 juta, ini terjadi jika Bob sedang mendapat orderan penuh dari para pemesan.

"Bisnis ini untungnya gede, tapi ngggak rutin ordernya misalnya Coca Cola salah satu pelanggan saya, yang membeli untuk dikirim ke Hong Kong," katanya.

Lulusan IISIP Jakarta tahun 1980 ini, mengakui untuk menghasilan produk-produk bernilai tinggi, ia hanya memerlukan bahan baku dari lapak-lapak pemulung. Harga bahan baku botol plastik bekas rata-rata Rp 4000 per kg atau sekitar 10 botol, yang bisa diolah menjadi satu produk lampions.

Bob yang mengklaim namanya dari kependekan dari kata Bantu Orang Banyak (BOB) ini, tidak memerlukan modal besar untuk menjalankan bisnis ini. Hanya dengan bahan-bahan seperti pisau cutter, gunting dan cat, ia sudah bisa menjalankan bisnis ini.

"Sayangnya apresiasi masyarakat terhadap barang daur ulang masih menganggap remeh, mereka masih melihat bahan, bukan pada proses," katanya.

Kemampuan mengolah sampah ini ia juga turunkan kepada anak-anak sekolah dasar, Bob sempat mengajar di beberapa sekolah dasar di wilalayah Jakarta Barat. Pria yang suka mengutak-atik kata ini punya pandangan sendiri terkait makna kata Lampions yaitu berasal dari kepanjangan kata Langkah Alternatif Mengatasi Pengangguran Ikhlas Optimis Niat Sejahtera (LAMPIONS).

Kamis, 18 Maret 2010

Laba Nikmat Dari Mr. Huh Haah


Pertengahan tahun 2002, Yoyok Heri Wahyono mendirikan Waroeng Spesial Sambal “SS” yang berada di Bulaksumur Yogyakarta dengan konsep layanan yang berbeda dengan warung atau rumah makan yang sudah ada sebelumnya. Keunikan dari konsep yang dikembangkan pemilik ternyata mendapatkan tanggapan yang baik dari pelanggan, meliputi kelebihan Warung Spesial Sambal pada kualitas rasa sambal, ragam menu sambal yang ditawarkan, pemrosesan pesanan berdasar made to order, dan tata-cara penyajian pesanan.

Setelah 7 tahun beroperasi, Warung Spesial Sambal telah berkembang dengan membuka gerai-gerai baru sebanyak 11 buah yang tersebar di Yogyakarta, 4 di Solo, Klaten, Bandung, 2 di Tangerang, Jakarta Timur, Depok, 4 di Semarang, Karanganyar , Cirebon, Magelang, Malang, Kediri dan Purwokerto (data sampai Mei 2009) untuk menjawab permintaan pelanggan dan memberikan layanan yang optimal bagi pelanggan yang lokasi tempat tinggalnya relatif jauh dari warung. Dalam menjaga keunggulan yang ada, pemilik tetap mempertahankan identitas dan keunikan Waroeng Spesial Sambal “SS” dengan menciptakan standarisasi terhadap kualitas rasa sambal, ragam sambal yang disediakan, prosedur pelayanan, hingga yang bersifat fisik warung, meliputi interior warung, road sign, serta merek Warung Spesial Sambal “SS”.

Pihak manajemen mencoba menciptakan komunitas pelanggan dengan membuat Buletin Warung Spesial Sambal yang berisi informasi seputar pelanggan, Kota Yogyakarta, serta hal-hal baru tentang Warung Spesial Sambal, seperti jenis menu baru ataupun gerai warung baru yang dibuka.
Perkembangan dan keberhasilan Warung Spesial Sambal hingga saat ini, ternyata telah mendapatkan respon yang baik dari pihak-pihak yang menyukai atau menjadi pelanggan, terbukti keberadaan Warung Spesial Sambal telah dimuat dalam beberapa medii massa antara lain Tabloid Saji, Nyata, Majalah Pengusaha, Liputan kuliner Trans TV, Trans7, TPI, Indosiar, TA TV, Kompas Jateng-DIY, Kedaulatan Rakyat, Buletin Hallo Telkomsel, dll  sebagai salah satu tempat makan yang direkomendasikan bila anda ingin menikmati sajian pedas yang dikemas dalam aneka macam sambal.
Berdirinya Waroeng SS yang tidak lain berangkat dari hoby & kegemaran Mr. Huuh-haah akan sambel. Dan ceritanya setelah mulai merasakan begitu kerasnya kehidupan & tuntutan kebutuhan hidup akhirnya Mr. Huuh-haah bersama tementemennya mendirikan sebuah EO yang diberi nama InSEd production.

Namun kenyataannya yang namanya proyek tidak bisa diharapkan secara rutin.......lha terus pertanyaan berikutnya yang harus di jawab adalah : kalo pas ga ada job makannya gimana ??, terus dari situlah muncul kemauan yang keras untuk tetap hidup. Dan berdirilah SS-01 berujud kakilima di Jl. Kaliurang sebelah barat Grha Sabha Pramana UGM pada bulan Agustus 2002.

Begitulah dan begitulah......buka Waroeng mulai setiap jam 5 sore sampai jam 10 malam bersama 5 orang teman-teman, juga melibatkan personil-personil InSEd yang perannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah Waroeng SS. Enam bulan kemudian dengan berbagai usaha yang keras menurut ukuran Mr. Huuhhaah akhirnya Waroeng SS mulai bisa diterima oleh masyarakat khususnya penggemar sambal di Jogja, dan selanjutnya dengan modal tekad baja, pantang surut, berani karena benar & hasrat untuk memenuhi kebutuhan hidup maka dibukalah Waroeng SS-02 di Condong Catur...

Khusus untuk Waroeng SS dalam hal yang namanya untung/laba ternyata tidaklah seindah apa kata orang, maksudnya banyak orang bilang bisnis makanan tuh untungnya bisa sampai 40an% dari omzet, tapi Mr. Huuhhaah sendiri ga’ tahu kenapa hal itu sama sekali tidak berlaku di SS. Padahal semua daya upaya & segenap kemampuan intelektual yang dimiliki sudah dicurahkan tapi tetap aja......he3x...! Akhirnya Mr. Huuh-haah males mikirin lagi tentang “angka-angka” & akhirnya mencoba untuk terus meyakini kalo “angka-angka rejeki” itu memang urusan DIA yang Maha Kuasa & Maha Adil, sedangkan kita hanyalah bertugas mengerjakan apa yang didepan kita dengan sebaik-baiknya yang kita bisa.

Terus sebagai pengejawatahan dari keyakinan itu maka Mr. Huuh-haah mencoba untuk secepatnya mengembangkan usaha ini yakni buka cabang lagi. Kemudian dari beberapa temen dari si Huuh-Haah ini ada yang tertarik untuk patungan bikin cabang baru maka dari situ berdirilah Waroeng SS ke-3 di Seturan arah ke Babarsari. Berikutnya menyusul yang ke-4 di Pandega Marta, terus yang ke-5 di Jalan Kaliurang km. 14. Selanjutnya selama kurang lebih 1,5 tahun keinginan untuk mendirikan Waroeng SS ke-6 kok susah kesampaian, rasanya ada saja masalah yang bikin Waroeng SS 6 itu gak jadi.

Bahkan pernah dah bayar kontrak tempat tapi akhirnya ga jadi juga !!. Sempet frustasi juga Mr. Huuh-haah waktu itu hingga akhirnya ada seorang teman bilang “ya udah ga Waroeng 6 nya dilompatin aja, jadi langsung bikin yang ke-7”, eehh ternyata kok bener, yang ke-7 di Timoho dalam 2 bulan kemudian berdiri, menyusul yang ke-8 di Glagahsari jalan juga......! Ya begitulah kira-kira sedikit cerita tentang Mula Bukaning Waroeng SS.

Yang jelas keberadaan Waroeng SS ini bener-bener tidak lepas dari yang namanya dukungan orang lain yakni temen-temen Mr. Huuh-haah & team di SS itu sendiri, terus yang lebih puenting lagi adalah dukungan dari anda para pelanggan yang merupakan Big Boss kami. Dukungan bisa macam-macam, mulai dari berkenanya anda berkunjung ke SS sampai dengan kesediaan anda untuk menyampaikan kritikan & masukan untuk hal-hal yang membuat anda tidak nyaman di SS........! jadi sampaikanlah segala bentuk kekecewaan anda sekecil apapun lewat hotline yang sudah tercantum agar Waroeng SS senantiasa belajar memahami anda & berbenah untuk lebih bisa melayani anda dengan baik...!

Jl. Kaliurang KM 4.5, Gg. Kinanthi 52 Yogyakarta
Telp : 0274 – 6880505
Fax : 0274 – 542050

Ikan Sidat Indonesia Diincar Jepang


Benar jika dikatakan bahwa kekayaan kelautan dan perikanan Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Buktinya terlihat dari salah satu spesies ikan kegemaran warga Jepang, yaitu ikan sidat atau unagi, yang banyak hidup di perairan Indonesia.

Benih ikan sidat yang bisa hidup di air tawar dan asin itu ternyata menjadi incaran pengusaha perikanan Jepang karena harganya yang terbilang wah dan bisa mengucurkan yen ke kantong. Ambil contoh, ikan sidat jenis marmorata. Untuk membeli satu kilogramnya saja, Anda harus menyediakan uang setidaknya Rp 300.000.

Namun, ada juga 5 jenis ikan sidat lainnya yang salah satunya dijual seharga Rp 150.000 per kg, yakni jenis bicolor. Benihnya banyak ditemukan di perairan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Sampai saat ini, manusia belum bisa melakukan pemijahan terhadap benih ikan sidat tersebut. Pasalnya, ikan ini mensyaratkan pemijahan dilakukan di perairan laut dalam setelah benur lahir dan menjadi benih. Biasanya anakan sidat akan berenang ke muara sungai.

Di muara sungai itulah ikan itu besar sampai kemudian datang masa pemijahan lagi. "Jepang yang memiliki teknologi tinggi pun sampai sekarang belum bisa melakukan pemijahan tersebut," papar Made Suita, Kepala Balai Pelayanan Usaha (BLU) Tambak Pandu, Karawang, Minggu (14/3/2010).

Alhasil, untuk pembudidayaan ikan sidat tersebut, benih harus didatangkan dari alam. Beberapa daerah yang sudah memiliki sebaran tersebut adalah perairan Poso, Manado, selatan Jawa terutama perairan Palabuhan Ratu, dan perairan di barat Sumatera.

Namun, tidak semua daerah itu benihnya bisa dimanfaatkan karena banyak nelayan yang belum mengerti cara untuk menangkapnya. Made menyebutkan, nelayan yang sudah memiliki kemampuan untuk menangkap benih sidat itu baru nelayan yang ada di Palabuhan Ratu. Wilayah ini memiliki palung dan muara sungai yang mengalir ke laut.

Nurdin selaku Kepala Bagian Budidaya di BLU Pandu Karawang bilang, kini sudah ada yang mengomersialkan keberadaan benih itu, terutama nelayan yang ada di Palabuhan Ratu. Mereka sudah mengetahui potensi pasar benih ikan sidat, yang satu kilogramnya atau sekitar 5.000 benih dijual seharga Rp 150.000 per kg. Pembelinya pun kebanyakan datang dari Taiwan, Korea, China, Vietnam, dan tentunya Jepang.

Namun sebagian masyarakat Indonesia belum mengerti keberadaan bibit ikan sidat tersebut. Di Poso dan Manadi, misalnya, benih ikan sidat tersebut bahkan dijadikan ikan yang digoreng dengan rempeyek. Menurut Nurdin, ketika warga tidak mengetahuinya, ikan sidat itu menjadi ikan biasa seperti teri.

Pembeli benih ikan sidat dari berbagai negara kini sudah banyak mengincarnya. Sementara itu, pembeli benih domestik hanya memanfaatkannya untuk kebutuhan budidaya yang ada di Karawang, Cirebon, dan Indramayu. Yang menyulitkan bagi pembudidaya di dalam negeri adalah mereka tidak memiliki akses langsung ke pasar ekspor. Adapun di pasar dalam negeri, mereka tidak bisa berharap banyak karena konsumen domestik tidak menyukai ikan sidat dan juga karena harganya yang mahal.

"Untuk membudidayakannya juga ada persyaratan jika ingin ekspor ke Jepang sehingga pembudidaya ikan sidat sulit untuk ekspor ke sana," kata Nurdin.

Salah satu cara untuk bisa menembus pasar Jepang adalah dengan menjalin kerja sama terhadap perusahaan Jepang yang sebelumnya sudah berbisnis ikan sidat.

Nurdin bilang, ikan sidat cukup mahal karena proses perawatannya yang membutuhkan waktu lebih panjang, yakni 3-4 bulan. Adapun pakan utamanya adalah pelet dengan protein tinggi yang dijual seharga Rp 9.000 per kg. Selain itu, ikan juga butuh pakan tambahan berupa keong mas yang sudah dipotong-potong.

Dalam perawatannya pun, suplai oksigen harus dijaga karena ikan sidat membutuhkan air dengan tingkat larutan oksigen tinggi. Adapun tingkat kehidupan rata-rata ikan sidat tersebut mencapai 75 persen dari bibit yang ditebar. "Jika ingin detailnya, maka silakan datang ke BLU Tambak Pandu Karawang. Kami akan berikan informasi detailnya," undang Nurdin.

Saat ini di BLU Pandu Karawang terdapat mitra kerja sama dari Jepang, yakni Asama Industry Co Ltd. Mitra ini bekerja sama dengan PT Suri Tani Pemuka yang melakukan kerja sama untuk memproduksi ikan sidat di BLU Pandu Karawang. Ikan sidat yang sudah diproduksi tersebut bisa diekspor langsung ke Jepang karena sudah ada yang menampung. Sayang, Made tidak mau menyebutkan angka ekspor dari perusahaan mitranya tersebut.

Saat ini yang dibutuhkan oleh pembudidaya ikan sidat adalah membuka kerja sama dengan pemasok ikan sidat yang ada di pasar dunia. Menurut Made, pasar yang sangat menarik dan belum banyak disentuh adalah pasar ikan sidat untuk kebutuhan non-Jepang. "Yang mengonsumsi itu tidak hanya Jepang. Taiwan, Korea, dan China juga sangat menyukai ikan ini," ungkap Made.

Butuh proteksi ekspor benih

Masalah yang dihadapi oleh pembudidaya ikan sidat ini adalah masalah daya saing yang ketat dengan negara produsen lainnya. Negara yang sudah mengembangkan budidaya ikan sidat ini adalah Vietnam dan Korea, demikian juga dengan Jepang sendiri. Anehnya, kata Made, budidaya di dua negara tersebut mendapatkan benih ikan sidat dari Indonesia.

Padahal, kata Made, Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah memproteksi ekspor benih ikan sidat dengan alasan guna melindungi spesies dan untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. "Namun, pembudidaya ikan sidat di Jepang itu sendiri ternyata adalah orang Indonesia," ungkap Made.

Termasuk yang ada di Korea dan juga Vietnam, benih ikan sidat itu diindikasi berasal dari Indonesia. Made mengindikasi bahwa banyak benih ikan sidat dari Indonesia berseliweran keluar negeri dan dibudidayakan di luar negeri. "Kontainer saja yang besar bisa diselundupkan, apalagi benih yang kecil ini," ujar Made.

Jika penyelundupan benih itu bisa diatasi, maka produksi ikan sidat dari budidaya di dalam negeri bisa sangat diandalkan sebagai nilai tambah bagi pembudidaya di dalam negeri, termasuk menambah devisa negara

Selasa, 16 Maret 2010

Melipat Rupiah dari Modifikasi Sepeda


Tak mau kalah dengan kendaraan bermesin macam mobil dan sepeda motor, sepeda kayuh pun tak luput dari tren modifikasi. Sepeda hasil modifikasi alias sepeda custom jenis low rider adalah sepeda yang sangat digemari. Maka dari itu, kini bermunculan bengkel kreasi sepeda bersadel rendah tersebut.

Meskipun ada pabrikan besar yang memproduksi aneka bentuk sepeda, bisnis modifikasi tak pernah mati. Maklum, karena diproduksi massal, sepeda pabrikan kerap tidak memenuhi selera penggunanya. Kondisi ini, tak ayal, membuat bisnis modifikasi sepeda memiliki prospek cerah. Salah satunya adalah modifikasi sepeda low rider.

Sejatinya, low rider adalah sepeda yang perawakannya pendek atau ceper. Salah seorang modifikator low rider, Tubagus Krisna Murthi, mengatakan, sepeda low rider sebenarnya meniru bentuk mobil-mobil mewah yang beredar di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1950-an, yang ketika itu tengah ngetren.

Krisna berkisah, pada dekade tersebut, anak muda heboh mengendarai mobil yang diceperkan. Sayangnya, tidak semua anak muda bisa bergaya dengan mobil itu karena harganya yang mahal. "Dari situ muncullah kreasi modifikasi sepeda ceper yang disebut low rider bikinan George Barris di AS," beber Krisna yang juga pemilik Bakul Pit Low Rider.

Tak disangka, kreasi Barris kelak menjadi mahakarya dan bertahan hingga sekarang. Bahkan, karya itu berbalik arah menjadi sepeda untuk bergaya. Beberapa pabrikan sepeda besar malah tercatat pernah memproduksi massal model sepeda ini, seperti Schwinn asal Amerika. Krisna baru membuka Bakul Pit sejak pertengahan 2007. Namun, dia sudah sangat menggilai modifikasi sepeda sejak masih duduk di bangku sekolah menengah. Cara belajarnya otodidak.

Menurut Krisna, ciri-ciri sepeda low rider antara lain memiliki diameter ban ideal 20 inci, setang kemudi tinggi, frame rainbow (berangka pelangi) dan springer (garpu depan) melengkung. Untuk tempat duduk, sadel low rider biasa disebut jok banana (pisang). Sebab, bentuknya memang panjang seperti pisang dengan besi menjulang di bagian belakang yang terkadang digunakan untuk menyandarkan badan.

Meski ada beberapa ciri utama dari low rider, kata Krisna, selera personal tetap menjadi parameter modifikasi sepeda low rider. "Saya selalu membuat sepeda sesuai keinginan pemesan," katanya.

Dia berkata, saat memesan, biasanya klien datang membawa gambar atau foto. Setelah gambarnya cocok, Krisna selanjutnya membuat estimasi dana yang harus dibayar klien. "Saya kasih saran sesuai budget-nya. Kalau setuju, saya segera kerjakan," kata pria 23 tahun ini.

Untuk penggarapan, paling cepat Krisna bisa mengerjakan low rider dalam waktu enam jam. Dengan catatan, klien tidak memesan model yang neko-neko dan suku cadang berasal dari bengkelnya di Bekasi Selatan.

Menurut Krisna, jika permintaan klien banyak, misalnya membikin velg dan setang serta mengecat body, maka waktu penggarapannya bisa sampai dua minggu. Cepat atau lamanya waktu penggarapan ini juga bergantung pada ketersediaan suku cadang atau suku cadang.

Untuk suku cadang, ada dua jenis, yakni klasik dan baru. Untuk mendapatkan suku cadang klasik, Krisna biasanya minta bantuan teman-temannya dari luar kota untuk mencarinya. seperti di Yogyakarta, Semarang, Solo, dan Medan. Untuk suku cadang baru, Krisna mendapatkannya dari seorang agen yang merupakan pengimpor suku cadang asal Taiwan.

Tarif modifikasi low rider yang ditawarkan bengkel Krisna minimal Rp 1,5 juta-Rp 2 juta. Ini untuk pembuatan low rider lengkap dari nol. Krisna mengaku tidak pernah melayani modifikasi dengan cara mengubah sepeda yang sudah ada menjadi low rider.

Selain low rider, Krisna juga memodifikasi model sepeda lain, seperti limo, cruiser, chopper, basman, dan fire bike. Ini adalah model-model sepeda untuk life style, seperti halnya low rider.

Seperti namanya, limo adalah sepeda genjot yang terinspirasi dari sedan limosin. Panjang sepeda ini bisa mencapai 2 meter. Sementara itu, chopper adalah sepeda yang terinspirasi dari motor gede (moge) Harley Davidson. Lalu, cruiser adalah sepeda yang bentuknya mirip sepeda pantai.

Dari sekian jenis ini, Krisna bilang yang paling enak dikendarai hanya chopper. "Sepeda-sepeda ini memang hanya untuk life style bukan dikejar dari sisi fungsionalnya," katanya.

Dari bisnis modifikasi sepeda low rider saja berikut penjualan suku cadangnya, bengkel Krisna bisa meraup omzet Rp 7 juta per bulan.

Modifikator sepeda low rider lainnya adalah Hendra Prasetya. Bersama ketiga rekannya asal Bandung, Jawa Barat, Hendra juga memilih hanya menerima pembuatan sepeda utuh dan tidak menerima perombakan sepeda. "Karena sepeda yang sudah jadi memiliki tema berbeda sehingga banyak yang harus dirombak. Tipe bahan besinya juga beda," kata pria yang akrab disapa Pras ini.

Pras menggagas pendirian bengkel sepeda custom sejak 2009. "Semuanya berawal dari hobi dan mendesain sepeda milik sendiri. Karena ada yang tertarik dan minta dibuatkan, ya, akhirnya saya membuka bengkel," ujarnya.

Meski belum memberi nama bengkelnya, hasil kerja Pras dan teman-temannya cukup dikenal. Selain pemasaran dari mulut ke mulut, dia juga mempromosikan hal itu lewat internet. Pemesan yang datang ke bengkelnya kebanyakan dari kalangan muda, seperti komunitas sepeda atau skate board.

Dalam rnemodifikasi low rider, kata Pras, proses tersulit adalah mendesain dan mencari bahan baku. Untuk soal terakhir, bahkan Pras harus pandai memilih bahan baku yang harganya sesuai dengan isi kantong pelanggannya. "Tidak semua pemesan memasang budget khusus. Ada juga yang mengikuti desain dan harga yang ditawarkan," katanya.

Setelah pemilihan bahan baku, Pras memesan pembuatan rangka sepeda dan aksesori tertentu ke bengkel las. Dia memakai tenaga bengkel las karena biayanya lebih murah daripada membuat sendiri. "Tapi harus detail menginstruksikan ke tukang las supaya desain dan ukurannya sesuai, dan mudah dirakit," ujar pria lulusan Teknik Informatika Universitas Maranatha Bandung ini.

Sampai saat ini, Pras sudah mengerjakan lima sepeda low rider dan dua sepeda chooper. Tarifnya antara Rp 1,5 juta dan Rp 3 juta per unit. Menurutnya, keuntungan sepeda customized, selain mendapat sepeda yang modelnya eksklusif, harganya juga lebih murah dari sepeda yang sudah jadi.

Modifikator sepeda custom lainnya adalah Yudi Kartono, yang memiliki Bengkel Sepeda Ben Hur. Yudi menekuni bisnis modifikasi sejak 2004 di bilangan Radio Dalam, Jakarta Selatan. Ia bahkan dikenal sebagai salah satu pelopor modifikasi low rider di Jakarta.

Harga pembuatan sepeda paling murah adalah Rp 1,5 juta untuk low rider standar. Namun, menurut Yudi, harga rata-rata modifikasi sepeda yang ia kerjakan adalah antara Rp 3 juta dan Rp 4 juta. Untuk suku cadang, ia menetapkan harga, termasuk ongkos pemasangan.

Dalam sebulan, Yudi rata-rata menerima pesanan pembuatan dua sepeda. Namun, di sela-sela itu, ada juga permintaan untuk suku cadang. Rata-rata dalam sebulan permintaan suku cadang antara 5 dan 10 unit

Senin, 15 Maret 2010

Ebiznews


Boneka dan Mainan Kayu Tahan Hadapi Gempuran China

Sejumlah jenis mainan buatan dalam negeri tetap tahan banting terhadap gempuran mainan China yang menyerbu di pasar Indonesia menyusul diimplementasikannya perdagangan bebas ASEAN-China atau ACFTA pada awal tahun ini. Di pasar Prumpung, Jakarta, misalnya, mainan seperti boneka yang dijual justru hampir seluruhnya merupakan produk lokal, seperti dari daerah Tangerang, Bekasi, Bogor, dan Kota.

"Kualitas boneka produk lokal masih lebih bagus dibandingkan milik China. Harganya pun masih terjangkau," kata salah satu penjual boneka, Muchdar, saat ditemui di Pasar Prumpung, Jakarta.

Bandingkan dengan mainan elektronik seperti mobil remote control yang dikuasai oleh China. Harga mainan elektronik asal Negeri Tirai Bambu itu juga terbilang lebih murah dibandingkan produk lokal.

Ketua Asosiasi Pegiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (APMETI) Dhanang Sasangko mengakui, untuk produk mainan yang membutuhkan teknologi, perajin mainan lokal sulit untuk bersaing dengan produk China. "Itu karena mereka (China) menggunakan mesin-mesin produksi terkini untuk memproduksi mainan-mainan yang berbahan baku plastik dan kain. Kita kalah," ujar Dhanang.

Menurut dia, Indonesia masih bisa bersaing dengan China untuk mainan-mainan yang menggunakan bahan baku kayu dan sejenisnya, seperti balok-balok ataupun puzzle. Pasalnya, bahan baku kayu sulit diperoleh di China.

Agar mampu bersaing dengan produk China, dia menegaskan bahwa pemerintah harus mendorong terciptanya iklim produksi yang mampu memberikan kemudahan dan biaya produksi yang murah. "Caranya melakukan sistem inkubator dan plasma-plasma," tambahnya.

Minggu, 14 Maret 2010

Modal Rp 2.000, Bisa Topang Masa Tua


Usia boleh senja, tetapi semangat untuk berkarya tetap tinggi. Itulah yang dipraktikkan Iwa, pemilik Indo Cipta Galeri Craft Art di Bogor, Jawa Barat.

Perempuan berusia 61 tahun ini setiap hari menopang usahanya dengan bekerja sebagai perajin aksesori dan sulaman kepompong. Dengan penglihatan yang mulai surut, setiap hari dia bisa menghasilkan lebih dari 10 kerajinan. Bahkan, dalam waktu tiga bulan, dia bisa menghasilkan sekitar 300 kerajinan dari tangannya sendiri.

Alhasil, dari hasil kerjanya itu, nenek satu cucu ini tak perlu menggantungkan hari tuanya di tangan suami ataupun anak-anaknya.

”Umur sekian enggak masalah. Ngapain pensiun, ngapain kita berhenti. Kita senang kok hobi kita tersalur, biarpun sudah nenek-nenek. Nanti saja kalau sudah diambil Tuhan baru pensiun,” kata Iwa

Sudah sembilan tahun Iwa membuat kerajinan kepompong. Sebelum memproduksi kerajinan aksesori dan sulaman kepompong, nenek satu cucu ini membuat kerajinan bunga kering. Pekerjaan ini dijalaninya sejak 32 tahun silam.

Saat itu, Iwa baru saja diperistri oleh suaminya, Irwin Hasibuan (62). Kehidupan pengantin baru ternyata membuatnya memiliki banyak waktu luang. Dia pun mencari kegiatan dan mulai menggeluti hobinya saat masih gadis dulu, yakni membuat kerajinan.

Dengan bermodalkan Rp 2.000, dia menjajal kerajinan bunga kering. Tak disangka, hasil kerajinannya ini laku dijual dan pesanan pun mulai membanjir.

Puluhan tahun menyetir usahanya, Iwa pernah berulang kali mengalami jatuh bangun. Usahanya mengalami masa kejayaan pada 1992. Saat itu, banyak pesanan mengalir dari Amerika Serikat, Brunei, dan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

Dari dalam negeri, pelanggannya banyak berasal dari kalangan birokrat. Namun, krisis moneter 1997 menghantam usahanya. ”Saat krisis moneter itu pelan-pelan usaha saya terus menurun. Itulah yang disebut sampai titik nadir kami. Terus terang saya bingung mau bagaimana. Pokoknya sempat menangis berdarah-darah,” ujarnya pelan.

Tak kehilangan semangat, ibu tiga anak ini terus memproduksi bunga kering. Zaman pemerintahan Gus Dur, dia mendapat pesanan 20 rangkaian bunga kering dari kalangan pegawai pemerintahan. Pesanan ini cukup membangkitkan usahanya kembali.

Memasuki abad ke-21, dia merasa bahwa pasar telah mulai jenuh dengan produknya. Iwa mencoba kreasi baru dengan mengadopsi kepompong untuk diimbuhkan dalam kerajinannya.
Tak hanya kepompong sutra, segala macam rumah ulat ini dicobanya. Biasanya, dia memilih untuk mempertahankan warna asli kepompong dalam setiap produknya. Hasilnya, kepompong warna kuning emas atau putih ini disulap menjadi aksesori baju ataupun jepitan rambut. Versi lain, Iwa menyulamkan kepompong sebagai hiasan di baju ataupun selendang.

”Ibu cari biar tampil beda dan eksklusif. Pokoknya harus kreatif dan bahannya yang unik. Dari situ saya lihat kepompong dan berpikir kalau itu bisa disulam dan diapa-apain menjadi aksesori. Eh, malah bikinan nenek-nenek disukai anak-anak,” ucapnya.

Untuk memuluskan usahanya, Iwa terbilang rajin mengikuti pameran. Langkahnya beralasan karena pameran menjadi ajang untuk mempromosikan produknya. Dalam satu kali pameran, dia bisa meraup omzet Rp 2 juta hingga Rp 3 juta dari aksesori yang dijualnya seharga rata-rata Rp 10.000 per buah.

”Pokoknya ikut pameran terus. Apalagi kalau diundang, kayak kemarin dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, terus perusahaan-perusahaan itu juga pernah ngundang,” ujar Iwa.

Tak hanya di Indonesia saja, perempuan kelahiran Medan ini juga pernah memboyong produknya ke Singapura untuk mengikuti pameran selama tiga minggu. Di negara tetangga itu, produknya juga laris manis.

Uniknya, Iwa mengaku hanya dapat membuat paling banyak dua kerajinan dengan desain yang sama persis. Selebihnya, bentuk desainnya pasti sudah berbeda. Lantas, bagaimana apabila ada banyak pesanan dengan desain yang sama?

”Ya, kasih saja ke pegawai. Kan banyak yang bisa mengerjakan. Benar lho, ini enggak tahu kenapa cuma bisa buat satu atau dua saja dengan desain yang sama. Kalau disuruh bikin yang sama lagi, sudah enggak bisa itu,” jawabnya.

Kini, selain membuat kerajinan, dia juga disibukkan dengan kegiatan mengajar para mahasiswa yang ingin belajar membuat kerajinan. Jumlah muridnya ini mencapai belasan. Ke depan, dia berangan-angan membuat buku katalog berisi koleksi desain aksesorinya. Semoga berhasil!

Iwa
Indo Citra Galeri Craft Art
Jalan Prapatan Dukuh Rt 01/Rw 01, Pasar Mukti, Citeureup, Kabupaten Bogor Jabar
Hp: 08568944146