Ebiz Ads

Sabtu, 17 April 2010

Ade dan Kolam Terpal Lele Sangkuriang


Memasuki Kampung Cibeureum RT 08 RW 08, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, terlihat berjajar sekitar 100 kolam terpal warna oranye tempat pembenihan ikan lele sangkuriang. Kampung yang dikenal sebagai sentra perajin sandal ini, kini menjadi sentra usaha pembenihan ikan lele sangkuriang. Ini berkat ketekunan Ade Mulyadi (32), anak kedua dari enam bersaudara pasangan Muchtar (59) dan Rohani (56), sejak dua tahun yang lalu.

Keberhasilan Ade mengembangkan usahanya seperti saat ini tentu tak lepas dari mental bajanya yang pantang menyerah. Meskipun kaki kanannya cacat karena polio sejak usia 3 tahun, dia berhasil mengembangkan usaha pembenihan ikan lele sangkuriang, lele biakan baru yang kini semakin populer, terutama di Bogor.

Pengembangan usaha baru, yakni pembenihan ikan lele oleh pemuda itu, boleh disebut sebagai pelopor usaha pembenihan ikan di sentra perajin sandal Cibeureum. Usahanya bukan main-main. Ade bersama 4 pekerjanya tiap hari mengawasi, merawat sekitar 100 kolam pembenihan, dan menabur pakan untuk benih ikan secara tepat waktu dan tepat takarannya. Kolam ikan itu tampak unik karena dibuat khusus dengan menggunakan terpal warna oranye yang biasa digunakan untuk tenda.

Menurut Ade, usaha pembenihan ikan lele sangkuriang ini diawali dengan kegagalan dalam mengembangkan usaha pembenihan ikan lele dumbo yang dimodali ayahnya. Saat itu, lebih dari Rp 75 juta uang yang dikeluarkan ayahnya untuk modal usaha pembenihan ikan lele dumbo amblas.

”Tak pernah dijual, benih ikan itu mati diduga terserang penyakit,” kata Muchtar, ayah Ade. Sebelum bergabung dengan anaknya mengusahakan pembenihan lele sangkuriang, Muchtar adalah pedagang di pasar dan perajin sandal.

Belajar

Suatu hari, Muchtar yang beralih profesi menjadi pembenih ikan lele ini memperoleh keterangan tentang ”pendekar lele sangkuriang” Nasrudin, di Kampung Sukabirus, Desa Gadog, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Maka, dia pun mendatangi Nasrudin untuk mencari tahu atau ”berguru” ilmu perlelean.

Namun, Muchtar tidak lantas berguru secara langsung. Setelah pertemuan dengan Nasrudin dan mendapat gambaran mengenai usaha itu, Muchtar kemudian mengutus Ade untuk mengikuti pelatihan kepada Nasrudin. Setelah itu, Muchtar menyusul bersama dua anaknya yang lain, Wawan dan Trimulyana, untuk menimba ilmu mengenai pembenihan lele.

Ternyata, untuk menimba ilmu tentang lele tidak perlu waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, apalagi bertahun-tahun. Ade mengikuti pelatihan hanya selama 3 hari di pusat pelatihan lele Nasrudin di Kampung Sukabirus. Dia sudah memperoleh ”jurus-jurus” jitu cara memelihara, memberikan pakan, dan mengatasi penyakit ikan secara tepat.

Tanpa menunggu waktu lagi, bekal pengetahuan itu langsung diterapkan di lapangan. Kolam-kolam pun dibuat tidak dengan menggali tanah, sebagaimana layaknya kolam ikan yang kita kenal selama ini. Mereka menggunakan terpal untuk membuat ”kolam-kolam” itu, dan kemudian diisi benih ikan lele sangkuriang. Rupanya tanda-tanda keberhasilan usaha lele itu mulai tampak.

”Berangsur-angsur usaha kami itu, berhasil,” kata Ade, akhir Maret lalu. Kematian benih lele seperti yang terjadi saat mengembangkan lele dumbo bisa mereka atasi. Perlakuan khusus bisa menekan angka kematian benih. Saat ini, usaha mereka sudah jauh berkembang. Siang itu, misalnya, Ade baru saja melayani pembeli benih lele sangkuriang ukuran 4-6 cm sebanyak 4.000 ekor.

Kewalahan

Diawali dari 10 kolam terpal ukuran 2 x 4 meter untuk pembenihan, kini Ade yang mengembangkan usaha bersama ayah dan adiknya memiliki sekitar 100 kolam pembenihan ikan lele sangkuriang. Muchtar sendiri juga memiliki sekitar 10 kolam pembesaran ukuran 10 x 10 meter.

Satu paket induk lele sangkuriang terdiri dari 10 betina dan 5 jantan. Ade membeli induk lele pada Nasrudin seharga Rp 800.000 per paket. Sejak menetas sampai dipanen, usia benih ikan lele sangkuriang ukuran 4-6 cm butuh waktu sekitar 50 hari. Setiap ekor induk lele sangkuriang bisa menghasilkan 70.000–100.000 ekor benih.

”Saat ini, setiap bulan kami baru bisa menjual 300.000 benih dengan harga Rp 150 per ekor,” kata Ade. Pesanan benih lele memang terus mengalir. Namun, tidak semua pesanan itu mampu dipenuhi. Ade mencontohkan, adanya permintaan benih sebanyak 1 juta ekor setiap bulan dari pembeli warga Tangerang, Banten, tetapi permintaan itu tidak sanggup mereka penuhi.

”Untuk melayani peternak ikan lele sangkuriang di daerah Kabupaten/Kota Bogor dan sekitarnya saja, kami masih kewalahan,” kata Ade. Melihat kondisi seperti itu, Ade mencari jalan keluar dengan menyiapkan 10 orang binaan sebagai pembenih ikan lele sangkuriang.

Sementara Muchtar yang memiliki 10 kolam pembesaran mengisi kolamnya dengan 10.000 ekor benih ukur 4–6 cm. Dari 10.000 benih ini, setelah 45 hari dapat dipanen 1 ton ikan lele ukuran 6–7 ekor per kg. Harga jualnya saat ini Rp 10.500 per kg. ”Dari panen 1 ton ikan itu, dipotong pakan dan biaya pemeliharaan, masih ada keuntungan sekitar Rp 3 juta,” kata Muchtar.

Ade dan ayahnya, sebagai keluarga pelopor usaha pembenihan ikan lele di sentra Perajin Sandal Cibeureum ini, sekarang sering menerima kunjungan tamu yang ingin belajar budidaya ikan lele sangkuriang, baik untuk pembenihan maupun pembesaran. ”Kami dengan senang hati menjelaskan bagaimana caranya menjadi pembudidaya ikan lele sangkuriang,” kata Ade.

Dia mengatakan, pihaknya memang berkonsentrasi di bidang pembenihan untuk memasok mereka yang berusaha di bidang pembesaran lele sangkuriang. ”Lebih menguntungkan jadi pembenih daripada pembesar ikan,” kata Ade, seraya menambahkan bahwa kerugian puluhan juta rupiah yang dideritanya dua tahun yang lalu berangsur-angsur dapat ditutupi dari keuntungan penjualan benih ikan.

Jumat, 16 April 2010

Ebiz News


Pembiayaan UMKM Jangan Cuma Ciptakan Pedagang

Suntikan permodalan harus mengutamakan penciptaan kegiatan produktif, bukan usaha yang hanya mendorong kegiatan konsumtif. Janganlah bantuan permodalan usaha mikro, kecil, dan menengah yang ditujukan sebagai penunjang peningkatan daya saing hanya menciptakan sebuah generasi pedagang.

Hal itu dikemukakan Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Fajar Sofyar dalam seminar Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jaya bertajuk ”Menciptakan Fasilitas Pembiayaan dari Pemerintah untuk Meningkatkan Daya Saing Koperasi dan UMKM dalam Menghadapi ACFTA” di Jakarta, Kamis (15/4/2010).

Dalam kesempatan itu, LPDB dan Koperasi Hipmi Jaya menandatangani nota kesepahaman untuk mendukung pembiayaan yang bersifat produktif. Dana yang disalurkan tetap menunggu verifikasi sesuai dengan kebutuhannya.

Fajar menegaskan, ”Tidak ada tempat bagi kredit konsumtif yang mendapatkan bantuan permodalan dari kami. Selama ini kami sangat selektif dan penuh kehati-hatian dalam menyalurkan bantuan permodalan karena sepeser uang yang berada di LPDB merupakan uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan. Jadi, jangan sampai penyaluran dana salah prosedur dan tidak tepat sasaran.”

Tahun 2010, LPDB siap menyalurkan bantuan permodalan melalui koperasi kepada 11.165 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Nilainya mencapai Rp 1,185 miliar dengan bunga kredit 9,5 persen menurun.

Deputi Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Agus Muharam mengatakan, sumber pembiayaan UMKM sesungguhnya sangat banyak, baik berasal dari pemerintah maupun nonpemerintah.

”Saya tidak tahu persis, apakah anggota Hipmi lebih banyak berperan sebagai produsen ataukah malah sebagai pedagang? Masalahnya, bentuk dukungan pembiayaan tentu akan sangat berbeda,” ujar Agus.

Ketua Umum Hipmi Jaya Adisatryo Sulisto mengatakan, faktor pembiayaan masih menjadi masalah krusial bagi UMKM sebab sebagian besar UMKM masih dibayang-bayangi masalah miskin akses pembiayaan, akses pasar, kualitas manajemen dan teknologi, serta miskin kemampuan sumber daya manusia.

Hingga kini Koperasi Hipmi Jaya menyalurkan dana ke anggota Hipmi Jaya sebagai pelaku UMKM dengan total nilai kredit sekitar Rp 400 juta. Idealnya, satu pengusaha baru bisa membuka peluang minimal empat tenaga kerja baru.

Rabu, 14 April 2010

Dari Hobi Mampu Sokong Ekonomi Keluarga


Hobi kreatif seringkali membawa hasil yang menguntungkan bagi seseorang. Contohnya, Asniar, warga Kelurahan Kebon Kosong ini, mampu menyokong ekonomi keluarga dari hobinya membuat pernak-pernik.

Hal ini mungkin terdengar biasa saja. Apalagi yang dihasilkan awalnya hanya berupa tas, bros dan cincin saja. Namun, lima tahun terakhir ini, Asniar mulai mengembangkan usahanya dengan memasarkan hiasan bunga dari akrilik.

Jika dilihat dari jauh, hiasan bunga akrilik ini tidak berbeda jauh dengan hiasan bunga kristal yang harganya jauh lebih mahal.

"Sekitar lima tahunan lah, saya mulai membuat hiasan bunga seperti ini. Bahannya sih mudah didapat kemudian tinggal dirangkai saja dengan tali kenur. Saya sengaja tidak pakai lem karena biasanya cepat lepas." tutur ibu dari enam anak ini.

Kisaran harga bunga per tangkainya adalah Rp. 15.000,-. Namun, jika beli per pot atau per vas harganya berkisar antara Rp.60.000,- sampai Rp.250.000,-.

Distribusi hiasan bunga ini pun ternyata sudah merambah Palembang dan Lampung. "Kalau di Palembang dan Lampung, saya titip ke toko-toko. Untuk wilayah Jakarta, saya titipkan saja ke anak-anak atau teman-teman yang sudah saya percaya." ungkap Asniar.

Asniar juga menambahkan bahwa hiasan bunga karyanya ini menjadi produk unggulan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) untuk Kelurahan Kebon Kosong.

"Waktu itu, saya ikutkan karya saya ini eh banyak yang minat dan jadi produk unggulan." ucap Asniar.

Selasa, 13 April 2010

Hangatnya Bisnis 'Red Ginger Corner'


Bermula dari ide untuk mencari alternatif minuman penghangat tubuh selain Bir, maka terciptalah minuman kemasan berlabel Red Ginger Corner. Awalnya hanya sekedar rasa original jahe merah, kini berkembang menjadi beberapa varian rasa.

Darul Mahbar sebagai penggagas mengaku memulai bisnis ini sejak dua tahun lalu, dengan produk utama Jahe Merah Instan. Selanjutnya ide berkembang untuk menyajikan varian rasa yang berbeda, semacam Cappucinno, Cokelat, Stawberry, Vanila, Espresso, dan juga Creamy serta original yang tetap dipertahankan.

"Kalau di luar negeri ada Bir, di sini ada Red Ginger. Selain membuat hangat, jahe juga banyak khasiatnya," ungkap Darul

Ia mengaku, ide membuat varian rasa dengan bahan utama jahe merah ini sudah ada dalam benaknya. Namun karena keterbatasan kemampuan, dirinya baru bisa memulai pada satu bulan kebelakang.

Adalah Untung Nugroho yang menjadi mitra bisnisnya, dalam meramu varian rasa jahe merah ini. Darul fokus pada produksi dan quality control akan rasa, sedangkan Untung bertanggungjawab akan operasional manajemen dan pemasaran. Maklum saja, Red Ginger Corner ini juga diwaralabakan (franchise).

"Kami satu manajeman. Saya urusi produksi. Untung Red Ginger Cornernya. Saya supplai bahan ke dia," kata Darul.

Diawal meracik, dirinya sempat ragu. Namun setelah dicoba kepada teman-temannya, ternyata responnya positif. Dalam pameran di Pesta Wirausaha ini bahkan, Darul menargetkan dapat merangkul mitra bisnis (franchesor) sebanyak 100 orang.

"Sambutannya positif. Sampai kemarin sudah ada menyatakan tertarik (sebagai mitra) 50. Sampai nanti mungkin 100. Tapi mimpi tertinggi saya adalah ingin pecah rekor MURI, yaitu 1.000 mitra dalam 1 tahun," jelasnya.

Beberapa varian rasa yang ditawarkan diambil dari bahan utama, seperti cokelat dan cappucino. Sedangkan untuk Stawberry dan Vanila didapat dari sari perasa.

Red Ginger Corner sendiri menawarkan pake investasi sebagai mitra dengan harga cukup layak, yaitu Rp 5 juta. Dengan investasi sebesar itu, mitra akan mendapat satu unit booth, satu set peralatan pernjualan (dispenser, blender dan coffe maker), bahan baku 140 cups (terdiri dari 7 rasa), materi promosi dan buku panduan mendidik (training) karyawan.

Yang menjadi menarik adalah, Darul bersama Untung tidak mengenakan royalti fee maupun franchise fee kepada mitranya. Darul hanya mendapatkan pendapatan operasi dari bahan baku yang setiap saat dibutuhkan mitra sebagai penjual.

"Prinsip kami tidak menekan mereka untuk fee. Kita hanya sediakan bahan baku, yang bisa kita kirim sesuai permintaan. Satu kemasan beserta cup dan tutupnya (per 1 set), seharga Rp 2.500. Nanti tinggal ditambah biaya pengiriman per kg-nya berapa," ucapnya.

Darul percaya Red Ginger Corner ini merupakan bisnis baru. Hingga diprediksi dapat menghasilkan keuntungan yang baik dan tingkat pengembalian modal (BEP) akan didapat dalam waktu lima bulan setelah beroperasi. Satu porsi, mitra akan menjual seharga Rp 5 ribu. Dengan asumsi penjualan mencapai 40 kemasan per hari, maka pendapatan mitra sebesar Rp 6 juta. Setelah terpangkas biaya sewa, pembelian bahan baku, gaji karyawan dan beban-beban lain, maka laba bersih per bulannya bisa mencapai Rp 1,1 juta.

"Kami juga berencana untuk mengubah desain booth yang ada. Namun kami melihat material dasar booth, karena ada saran dari teman untuk jangan memakai almunium. Kami sedang pikirkan. Tapi sebaiknya tidak merubah paket investasi. Booth yang ada saja sudah Rp 3 juta, ditambah peralatan dan lain-lain," tuturnya.

Darul sendiri terhitung baru sebagai wirausaha. Ia bergabung dalam wadah Tangan Di Atas (TDA) tahun 2008. Warga asli Sumatera ini rela meninggalkan profesinya sebagai karyawan BPR, padahal posisinya saat itu telah mencapai manajer.

"Saya merasa ide-de saya tidak berkembang. Kalau ingin melakukan apa, harus izin bos. Kemudian saya bertekat ingin ke Jakarta dan melalukan apa saja untuk usaha. Diawali dari jahe instan kemudian saaat ini mencoba Red Ginger Corner ini. Mudah-mudahan hasilnya baik, Insya Allah," imbuhnya.

Senin, 12 April 2010

Mereka yang Sukses "from Emperan to Empire"


Ada pepatah, "Kesuksesan lahir dari keberanian mengalahkan ketakutan". Mungkin idiom ini yang menjadi pecutan bagi Fachrur Rozi dan Fadli hingga berani memulai sebuah usaha yang berawal dari modal Rp 100.000 hasil "bantingan" bersama. Kini, Rozi dan Fadli sudah menangguk hasil dari perjuangannya dalam waktu dua tahun ini. Dari Rp 100.000, dalam satu tahun saja, omzetnya sudah mencapai Rp 1 miliar. Bahkan, saat ini dalam sebulan sedikitnya berhasil mencapai transaksi hingga Rp 600 juta. Usaha apa, sih, mereka?

Berawal dari modal Rp 100.000, Rozi dan Fadli memulai usaha membuat sandal-sandal yang imut dan lucu. Mereka menyebutnya "imucu". Bentuknya macam-macam, ada hewan dan buah-buahan. Awalnya mereka mencari agen dengan melakukan promosi di emperan. "Makanya, tagline yang menjadi semangat kami sekarang, from emperan to empire. Karena tadinya kami usaha di emperan, sekarang sudah jadi empire," kata Rozi, yang menangani bidang pemasaran

Kesuksesan mereka tak hadir begitu saja. Sebelum memulai bisnis sandal-sandal lucu, Rozi dan Fadli masing-masing pernah mencoba berbagai bidang usaha. Mulai dari usaha roti bakar hingga mi ayam. Saat itu mereka juga masih berstatus sebagai karyawan di sebuah perusahaan. "Dari yang semula hanya berdua, sekarang kami sudah punya karyawan 50 orang dan punya tim kreatif sendiri. Ceritanya, saya dan Fadli lagi sama-sama jatuh, punya utang banyak karena bisnis yang kami coba gagal. Tapi, saat itu masih kerja. Penghasilan bulanan hanya buat nutup utang. Akhirnya, kami menemukan sebuah produk, uang Rp 100.000-lah dipakai untuk buat prototipe sandalnya," kisah Rozi.

Kemudian, lanjut Rozi, mereka mengambil celah berpromosi dalam sebuah pameran franchise di Surabaya, Jawa Timur. Lebih dari 500 brosur mereka bagikan di area parkir lokasi pameran. "Sampai kami kejar-kejaran sama anggota satpam karena yang ikut pameran aja bayarnya Rp 30 juta. Kami enggak bayar, kok, seenaknya promosi, mungkin dilihat seperti itu. Akhirnya, dari hasil promosi, kami mendapatkan 10 agen," katanya.

Setiap agen harus membeli paket seharga Rp 250.000. Uang sebesar Rp 2,5 juta dari 10 agen inilah yang digunakan Rozi dan Fadli untuk memproduksi sandal lucu. Dari situ, order yang mereka terima semakin tinggi. Dalam satu tahun pertama, usaha mereka praktis tanpa saingan sehingga bisa mencapai pemasukan Rp1 miliar dalam satu tahun pertama. "Tapi, dalam tiga bulan pertama kami enggak dapat apa-apa. Semua keuntungan diputar lagi jadi modal. Bulan keempat baru kami berpikir bahwa tenaga yang kami sisakan sepulang kantor untuk mbungkusin produk juga harus dihargai. Akhirnya, ya, kami ambil keuntungan dibagi Rp 600.000 per orang. Berikutnya berlipat ganda," ujar Rozi.

Setelah melihat perkembangan bisnis yang pesat, Rozi dan Fadli mengambil keputusan untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja dan fokus menekuni usaha. Salah satu pengembangan yang dilakukan adalah memproduksi kaus-kaus lucu bagi anak-anak dan produk sandal jepit unik bagi remaja. Untuk sandal lucu, setiap agen bisa membeli 150 pasang sandal dengan modal Rp 2 juta. Sementara paket reseller, 15 pasang dengan modal Rp 250.000.

Kini, semua usaha itu juga dipasarkan secara online melalui beberapa situs web, di antaranya www.rajasendal.com dan www.myjapit.com. "Memulai bisnis itu jangan takut, tapi juga jangan ngawur. Sekali dua kali mungkin gagal, tetapi jangan berhenti. Biasanya mereka yang gagal berbisnis karena mereka berhenti untuk mencoba lagi. Memulai usaha itu tidak selalu dengan modal besar," kata Rozi.

Sttt... Ada Mal "Online", Silakan untuk Jualan!


Masyarakat sekarang sudah sangat terbiasa dengan keberadaan jejaring sosial dan toko online yang mulai marak. Akan tetapi, yang namanya mal online mungkin belum banyak diketahui.

Nah, Juale.com mencoba mewujudkan keberadaan mal online ini dengan memberikan fasilitas bagi para pemilik usaha untuk mengelola toko online-nya.

Sebenarnya, konsep yang diusung Juale.com hampir sama dengan e-Commerce kebanyakan, tetapi terdapat beberapa perbedaan yang coba ditawarkan oleh Juale.com. Begitulah penuturan Business Analyst Juale.com, Raditya Pratama

"Beda kami dengan e-Commerce lain adalah toko online si pemilik usaha bisa memilih nama domainnya sendiri tanpa ada embel-embel Juale.com. Misalnya, www.tokosaya.com. Juale.com sendiri berlaku seperti mal yang punya gerai-gerai di dalamnya." tutur Raditya.

Kelebihan yang coba ditawarkan oleh Juale.com antara lain berupa alamat e-mail dengan nama domain sendiri yang tidak dapat diperoleh dari e-Commerce lain. Kemudian, tersedia pula variasi template design yang beragam sehingga pemilik usaha dapat memiliki template yang sesuai dengan keinginannya. Selain itu, Juale.com juga akan membantu promosi toko online tersebut melalui search engine optimization (SEO).

"Kami tidak hanya menyediakan tempat, tapi juga akan bantu mengelolanya jika pemilik usaha tidak terlalu paham dengan tata cara online. Bahkan, kami akan bantu mempromosikan dan menjualkannya. Tapi tetap ada sharing profit kalau ada masalah itu." ujar Raditya.

Juale.com menawarkan tiga paket bagi calon pemilik usaha online, yaitu paket Rp 1 juta per tahun, Rp 1,5 juta per tahun, dan Rp 5 juta per tahun. Perbedaan dari paket-paket di atas terletak pada kapasitas hosting yang nantinya akan diperoleh oleh pemilik usaha.

"Pemilik usaha bisa mengganti paket sesuai dengan perkembangan tokonya. Bahkan, terkadang kami juga akan menawarkan paket lain jika ternyata perkembangan dari toko tersebut meningkat dengan baik." ucap Raditya.

Hingga saat ini, Juale.com sudah memiliki 130 toko online. "Sebagian besar ya jualan baju. Jika dibandingkan dengan berjualan di jejaring sosial, memang tampaknya lebih mudah untuk menggaet pembeli. Namun, toko tersebut tidak punya domain resmi dan promosi hanya terbatas di jejaring sosial itu saja. Sementara itu, di Juale.com, selain berdiri dengan domain sendiri, toko tersebut juga bisa tersambung dengan jejaring sosial," ungkap Raditya.

Tertarik? Silakan saja kunjungi situsnya di www.Juale.com.