Ebiz Ads

Sabtu, 16 Januari 2010

Omzet Rp 100 Juta dari Jus Mengkudu


Bentuk buah mengkudu atau pace yang bopeng-bopeng memang tak menarik. Baunya pun sungguh tak sedap. Namun, sudah lama orang mengenal mengkudu sebagai buah berkhasiat mengobati berbagai penyakit, mulai penyakit ringan sampai penyakit berat macam kanker. Mengkudu juga dipercaya bisa membantu menurunkan berat badan.

Lantaran memiliki banyak khasiat itulah orang mengolah mengkudu menjadi berbagai produk, salah satunya adalah jus mengkudu. Usaha jus mengkudu terus bertumbuh seiring semakin banyaknya orang yang menyadari khasiat jus mengkudu.

Salah satu yang merasakan nikmatnya berbisnis jus mengkudu adalah Philipus P. Soekirno. Pengusaha yang berdiam di Jakarta ini menjual jus mengkudu merek Morinda.

Philipus terjun ke bisnis bisnis jus mengkudu setelah merasakan sendiri manfaat jus buah ini.

Pengusaha berusia 61 tahun ini pernah menderita gagal ginjal, lever bengkak, jantung koroner dan asam urat tinggi. Saat itu, harapan hidup Philipus sudah tipis. Atas saran keluarga, dia pun rajin mengonsumsi jus mengkudu. Hasilnya, penyakit Philipus berangsur sembuh. “Sekarang, saya hidup normal tanpa pantang makan apapun,” ujarnya.

Setelah sembuh, Philipus mempelajari cara mengolah mengkudu jadi minuman yang enak dikonsumsi. Buah mengkudu termasuk sulit diolah. Sebab, di atas buahnya terdapat lapisan lilin yang berbahaya. Apalagi buah ini memiliki banyak biji. “Untuk mengolah mengkudu butuh suhu ruangan kira-kira 10 derajat celcius agar tak banyak jamur dan bakteri yang berkembang,” ujarnya.

Setelah menguasai teknik pengolahan jus mengkudu, mulai 2007 Philipus memulai usahanya. Bermodal Rp 250 juta dari Kredit Usaha Rakyat (KUR), Philipus membeli peralatan mengolah mengkudu dan membuka outlet di Jakarta Pusat. Awalnya, dia hanya bisa mengolah 200 kg-500 kg mengkudu seminggu. Saat itu, omzetnya Rp 20 juta tiap bulannya.

Nyatanya bisnis Philipus berkembang pesat. Kini Philipus mampu mengolah 1 ton sampai 2 ton mengkudu per minggu. Dari situ, Philipus bisa mendapat omzet sekitar Rp 100 juta per bulan. “Penjualannya sangat bagus,” kata Philipus sumringah. Philipus mengaku bisa memperoleh margin 60 persen dari penjualan jus mengkudu

Radio Magno Singgih Yang Mempesona


Internet memang sudah melekat pada diri Singgih Susilo Kartono. Dalam perjalanan menuju London, Inggris, Senin lalu, Singgih masih rajin meng-update Facebook. Secara maraton, ia mem-posting ajakan memilih Magno Wooden Radio sebagai produk paling disukai dalam ajang Brit Insurance Designs of the Year 2009.

Ajang tahunan yang diadakan Design Museum London itu menyediakan online polling memilih desain terfavorit. Hasil polling diumumkan pada Rabu malam lalu waktu London, bersamaan dengan penyerahan penghargaan Brit Insurance Designs of the Year 2009.

Kehadiran Singgih dalam acara itu karena kreasinya. Radio kayu Magno terpilih menjadi juara untuk kategori produk, menyisihkan belasan karya lain yang lolos short list. Radio berdesain retro andalan pria berusia 40 tahun ini juga berpeluang meraih penghargaan utama bila berhasil mengalahkan kampiun di enam kategori lain.

Penghargaan itu menambah panjang daftar trofi yang diraih radio kayu Magno yang dijual ke publik melalui media online. Sebulan sebelumnya, Magno meraih penghargaan dalam Design Plus Award 2009, yang berlangsung di Jerman.

Keberhasilan menjuarai berbagai kompetisi desain internasional itu membuat popularitas Magno kian meroket. Dalam situs pencariaan Google, nama Magno muncul paling atas dengan kata kunci wooden radio. Penjualan produk yang terdiri dari tiga seri, yaitu radio personal WR01A-2B, radio meja WR03-CUBE/4B, dan radio meja WR03-RECT/4B, pun ikut melonjak.

Peminat terbesar berasal dari Amerika Serikat, dengan penjualan mencapai 250 unit per bulan. Disusul oleh Jepang sebanyak 50 unit per bulan, dan puluhan unit per bulan ke Eropa. Menurut Singgih, harga Magno bervariasi. Di Amerika dijual US$ 47,5 sampai US$ 80, di Jepang seharga 17.500 yen, dan di Eropa seharga 160-240 euro. Namun di Amerika, ternyata situs-situs penjualan online menawarkan Magno paling murah US$ 200.

Antusiasme pasar Amerika menyambut Magno dimulai pada awal tahun silam. Ketika itu, Singgih mendapat pesanan 10.000 unit radio kayu senilai Rp 4,9 milyar. Pesanan sebanyak ini tidak bisa langsung dipenuhi, karena kapasitas produksi Magno yang didukung 30 karyawan hanya sekitar 150 unit per bulan. Sebanyak 50 unit per bulan dikirim secara rutin ke Jepang sejak tahun 2005.

Karena itu, Singgih menawarkan pemenuhan permintaan tersebut dalam waktu paling sedikit satu tahun. Kini kapasitas produksi radio yang dibuat di studio Piranti Works, Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, mencapai 300 unit per bulan dan memperkerjakan sekitar 50 karyawan, yang semuanya warga Kandangan, desa kelahiran Singgih. Omset yang diraih meningkat sampai Rp 750 juta per bulan.

Ayah dua anak itu memang layak menikmati buah manis radio kayu Magno. Perjalanan Singgih membuat radio kayu Magno dimulai sejak mengerjakan tugas akhir di Jurusan Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, pada 1992. Ia memilih tema ?Desain Radio Receiver dengan Memakai Teknologi Kerajinan Indonesia”.
Ketika lulus, Singgih masih belum yakin akan berkarier ke mana. “Apakah bekerja sebagai desainer produk di kantor desain produk di Bandung atau kembali ke Kandangan memulai bisnis sendiri,” tutur Singgih. Dan selama tiga tahun berikutnya, Singgih bekerja di Bandung, sebelum akhirnya memilih pulang kampung dan mendirikan perusahaan kerajinan kayu Aruna Aruntala di rumahnya.

Produk utama Aruna Aruntala adalah mainan dari kayu. Sebenarnya pada saat itu Singgih berminat mengembangkan radio kayu Magno yang berhasil meraih juara kedua dalam International Design Resource Award (IDRA) 1997 di Amerika Serikat. Magno dinilai sebagai produk dengan bahan yang bisa didaur ulang dan memberi nilai lebih terhadap produk.

Sayang, modal dan ketiadaan permintaan pasar jadi kendala. Peluang baru terbuka ketika seorang rekanan dari Jepang berminat membeli radio kayu Magno pada 2004. Maka, Singgih dibantu istri tercinta, Tri Wahyuni, dan empat karyawannya mulai membuat Magno di bawah naungan perusahaan baru, Piranti Works.

Awalnya masih menggunakan ruang tamu rumah, sebelum pindah ke pabrik berukuran 15 x 18 meter yang dibangun dengan biaya Rp 100 juta. Pada 2005, Magno yang dibuat dari paduan kayu hitam sonokeling dan kayu pinus meluncur ke pasar Jepang.

Desain Magno memang simpel, mungil, dan unik. Ini sesuai dengan prinsip Singgih untuk menghasilkan kerajinan yang memakai kayu sesedikit mungkin, tapi bisa menghasilkan pekerjaan sebanyak mungkin bagi masyarakat sekitar.

Sebagai anak yang dibesarkan di desa, sejak kecil Singgih memang peduli pada lingkungan. Ketika dewasa, ia prihatin atas kondisi Kandangan yang makin meranggas. Warga desa yang terletak di kaki Gunung Sumbing itu menebang pepohonan untuk bertani tembakau.

Maka, demi menjaga kelestarian lingkungan, Singgih menyisihkan sebagian hasil bisnisnya untuk program penanaman pohon di Temanggung sejak November 2007. Pembibitan aneka pohon sengon, sonokeling, hingga pinus dilakukan di lahan sekitar 2.000 meter persegi yang ada di sekeliling studio Piranti Works.

Singgih juga menggandeng aktivis lingkungan, Mukidi, dan anak-anak sekolah untuk menanam 1.000-an bibit pohon di lereng Gunung Sumbing. Selain menyelamatkan lingkungan, di masa depan program ini juga bisa menjaga suplai bahan baku kerajinan radio kayu Magno.

Sehingga bisnis itu tetap bertahan, bahkan bisa menjadi tumpuan hidup warga Kandangan. “Saya berharap, kelak kegiatan ini bisa menampung sampai 1.000 perajin atau seperempat dari populasi Kandangan,” kata Singgih. Sebuah asa mulia yang sangat mungkin menjadi realitas.

Jumat, 15 Januari 2010

Sampah Plastik, Prestasi Baedowy


Enam tahun silam Mohammad Baedowy masih berkutat dengan kesibukannya sebagai auditor di sebuah bank asing yang berkantor di World Trade Center, Jakarta. Masa itu tidak sedikit karyawan bank didera kecemasan lantaran bank mereka terpuruk, dilikuidasi, atau merger dengan bank lain sebagai dampak krisis moneter yang menghantam Indonesia.

"Saat itu saya melihat banyak teman yang ketar-ketir menunggu nasib. Saya berpikir, daripada ikut susah, lebih baik berhenti duluan. Saya lantas mengundurkan diri dari perusahaan," tutur Baedowy ketika ditemui pada suatu siang pertengahan November lalu.

Berhenti bekerja di bank, Baedowy lalu mendalami pekerjaan sampingan sebagai manajer keuangan pada sebuah perusahaan batik yang memiliki pabrik di Pekalongan, Jawa Tengah. Selain mengurus dan menata keuangan pabrik, ia juga bertugas mengatur kegiatan pameran produksi batiknya.

Roda kehidupan putra pertama pasangan Supomo dan Zubaidah ini lantas berbalik 180 derajat setelah ia bertemu dengan seorang pejabat bank yang menawarinya berkongsi bisnis sampah.

"Kerja sama kami hanya berjalan setengah tahun. Ternyata, kami sama-sama belum ahli berbisnis sampah. Tetapi, lantaran saya merasa sudah telanjur, kepalang basah, saya memutuskan untuk mencoba sendiri," ujar lelaki kelahiran Balikpapan, 33 tahun silam, ini.


Sampah plastik menjadi pilihan ladang bisnis Baedowy. Alasannya sederhana. Di benak Baedowy, berbisnis sampah plastik tidak membutuhkan modal terlalu besar, persaingan tidak terlalu ketat, dan bisnis sampah tidak dihantui risiko besar. "Kalau tidak laku, bisa disimpan lagi," kata ayah tiga anak ini.

Dengan modal awal Rp 50 juta, Baedowy mendirikan pabrik penggilingan plastik yang dinamainya Fatahillah Interplastik. Namun, berbisnis sampah pun ternyata memiliki tantangan sendiri. Persaingan antarsesama pengusaha limbah plastik ternyata sangat ketat dan keras. Karena sebelumnya tak punya pengetahuan tentang sampah plastik dan minim peta perdagangan, tidak jarang Baedowy harus pulang dengan modal nyaris habis.

Kendala lain, satu-satunya mesin pemotong (crusher) plastik di pabrik Baedowy kerap ngadat sehingga produksinya terganggu. Situasi ini dialami Baedowy selama lebih dari dua tahun. "Sambil jalan, saya belajar betulin mesin itu. Saya bongkar, kemudian pasang lagi. Pokoknya sampai hafal betul isi perut mesin itu," ujar Baedowy.

Penggemar lagu-lagu Beatles dan Lobo ini juga memperdalam pengetahuannya tentang jenisjenis plastik dan sumber-sumber limbah plastik. Kini, Baedowy mengaku semakin paham ragam jenis plastik dan hasil dari daur ulang dari setiap sampah plastik tersebut.

Gelas plastik air mineral, misalnya, memiliki kode PP, singkatan dari polypropylene, sementara botol air mineral atau botol jus memiliki kode PET (polyethylene tereththalate). Berbeda jenis limbah plastik, berbeda pula harganya di pasaran.

Sambil menjalankan usahanya itu, Baedowy rajin mengunjungi pameran industri, terutama yang berkaitan dengan mesin pengolah plastik. Brosur-brosur tentang mesin pengolah plastik dikumpulkannya. Sampai di kantor atau di rumah, Baedowy lantas menggambar ulang dan mempelajari cara kerja mesin tersebut.

Kini, laki-laki tamatan Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka Malang ini tidak hanya mampu berbisnis daur ulang limbah plastik. Melalui perusahaannya, CV Majestic Buana Group, di Cimuning, Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi, Baedowy juga membuat mesin-mesin pengolah limbah plastik, antara lain mesin penghasil pelet plastik, mesin crusher penghasil pencacah plastik, dan mesin pengolah lainnya.

Mesin-mesin itu ia jual kepada mitra, istilah Baedowy kepada relasi bisnisnya yang sama-sama mengolah limbah plastik. Ia juga diminta membangun mesin atas pesanan instansi pemerintah. Dua di antaranya dari Departemen Kelautan dan Perikanan serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.


Baedowy mengakui bahwa mesin-mesin tersebut bukan seutuhnya orisinal hasil pemikirannya sendiri.

"Mesin-mesin itu sudah ada, tetapi saya ubah lagi sesuai dengan kebutuhan pengguna dan kondisi yang ada di lapangan," tutur suami Ririn Sari Yuniar ini.

Hampir enam tahun menggeluti bisnis daur ulang sampah plastik, Baedowy tidak hanya memperoleh keuntungan materi hingga puluhan juta rupiah per minggu, tetapi juga lebih dari 40 mitra yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Dari mitra- mitra tersebut, Baedowy dipasok hasil olahan sampah plastik, yang kemudian diekspor ke China. Puluhan warga Cimuning pun dikaryakan di pabrik Baedowy.

Selain memproduksi cacahan plastik, pabrik Baedowy juga memproduksi lakop (ujung) sapu ijuk dari bahan daur ulang sampah plastik, yang kemudian dijual ke pabrik dan perajin sapu ijuk dengan harga Rp 500 per buah. "Saya kewalahan memenuhi pesanan. Jarang ada stok di gudang saya," ujar Baedowy.

"Masalah sampah adalah masalah besar yang dihadapi bangsa kita. Tetapi, kalau sampah diolah secara tepat, dengan teknologi yang tepat, dan ada peluang memasarkan hasil daur ulangnya, sampah ini bisnis bernilai dollar," papar Baedowy.

"Saya punya obsesi untuk menyebarluaskan pengetahuan saya ini kepada orang lain," katanya menambahkan.

Menyantap Gurihnya Laba Rawon Nguling


Rawon adalah masakan khas Jawa Timur yang bumbu utamanya adalah kluwek. Dalam bahasa Betawi, kluwek disebut pucung. Rawon disajikan dengan sambal cabe, irisan bawang, serta tauge. Rasanya yang gurih membuat banyak orang ketagihan masakan ini.

Maka, tak heran bisnis makanan dengan menu rawon mendatangkan untung lumayan. Salah satu yang sudah punya nama melegenda adalah Rumah Makan Rawon Nguling di perbatasan Pasuruan dan Probolinggo. Kini, Rawon Nguling juga sudah bisa dinikmati di beberapa kota.

Berawal pada 1940, dari sebuah kedai kecil yang semula hanya melayani para petani setempat, kini gerai Rawon Nguling sudah menyebar di banyak daerah. Sebut saja Surabaya, Sidoarjo, Malang, Pandaan, dan Jakarta.

Saat ini, Rawon Nguling memiliki delapan gerai yang dikelola langsung generasi penerus Mbah Karyorejo, perintis Rawon Nguling. Pemilik Rawaon Guling ingin gerainya kian menyebar ke lebih banyak tempat. Makanya sejak pertengahan 2008 lalu mereka menawarkan lisensi merek.

Sampai saat ini, memang belum ada satupun mitra yang sudah membuka gerai Rawon Nguling, Tapi menurut Suprayitno, generasi kelima pemilik Rawon Nguling, dua bulan lagi ada 8 calon mitra yang bakal akan membuka gerai.

Nama jadi jaminan

Rawon Nguling menawarkan tiga jenis paket lisensi. Perbedaan ketiga paket ini adalah luas tempat usaha atau daya tampung usaha.

Paket pertama adalah paket rumah makan atau restoran dengan investasi Rp 200 juta. Kedua, paket rumah toko (ruko) atau mini restoran senilai Rp 150 juta. Ketiga, paket food court senilai Rp 100 juta.

Nilai investasi ketiga paket ini belum termasuk biaya sewa tempat, renovasi ruangan, dan peralatan. Bila memasukkan komponen itu, total investasi restoran berkisar Rp 755 juta, paket kedua Rp 607 juta, dan paket ketiga Rp 480 juta. Ikatan kerjasama ketiga paket selama lima tahun.

Investasi lisensi Rawon Nguling ini lumayan mahal. Namun kata Suprayitno, popularitas yang sudah puluhan tahun menjadi nilai jual usaha ini. “Kami juga tetap pertahankan kualitas rasa rawon secara tradisional,” ujarnya.

Karena menerapkan sistem lisensi, tak ada royalty fee. Namun, untuk standardisasi rasa, mitra harus membeli bumbu dasar rawon seharga Rp 90.000 per kilogram dan daging empal seharga Rp 7.500 per potong dari pusat. “Rawon kami harus memakai daging empal dari daerah Probolinggo,” kata Suprayitno.

Harga jual Rawon Nguling Rp 15.000- Rp 22.000 per porsi. Marjinnya 30 persen-45 persen.

Suprayitno menjanjikan, mitra bisa balik modal antara 22-24 bulan alias dua tahun. Untuk paket rumah makan misalnya, dengan asumsi pendapatan kotor Rp 6 juta - Rp 8 juta per hari, balik modal akan terjadi pada bulan ke-24.
Paket ruko, dengan asumsi omzet Rp 4,5 juta - Rp 6 juta per hari, balik modalnya pada bulan ke-22. Sedang untuk paket food court, si mitra akan balik modal di bulan ke-24 bila jika berhasil membukukan omzet minimal Rp 3,5 juta per hari.

Menurut Suprayitno, target balik modal itu tidak sulit dicapai. Contoh, cabang Rawon Nguling yang buka Desember 2008 lalu di kawasan Cikajang, Jakarta Selatan, mampu mencetak penjualan sekitar Rp 4 juta - Rp 6 juta per hari. “Paling sepi, omzetnya Rp 4 juta,” kata Suprayitno.
Jumlah pengunjungnya 100-200 orang per hari. “Penjualan kami di Probolinggo jauh lebih tinggi lagi. Minimal kami dapat Rp 14 juta per hari,” imbuh Suprayitno.

Rabu, 13 Januari 2010

Sutarpi, Merangkai Laba dari Tas Lidi


Dari masa ke masa, tas menjadi perlengkapan tak terpisahkan bagi kaum hawa. Dalam setiap aktivitasnya, perempuan selalu menenteng barang satu ini. Jangan heran jika produsen tas juga rajin menggelontorkan model baru ke pasar.

Bahkan, untuk membuat produk ini berbeda, tak jarang produsen melakukan pelbagai inovasi. Salah satunya, membuat tas dari bahan sapu lidi. Salah satu produsennya adalah Sutarpi.

Ide membuat tas drai lidi ini terbersit dui benak Sutarpi saat ia mencari bahan baku tas yang lebih murah. “Ketika krisis, saya mencari ide mendapatkan bahan baku tas yang murah,” tutur perempuan yang telah menggeluti usaha produksi tas sejak 1994 ini.

Bermodalkan duit Rp 1 juta buat membeli batang-batang lidi, sejak awal 2008, perempuan berusia 35 tahun ini mulai menjalankan produksi tas berbahan baku lidi.
Dibantu empat orang karyawan, Sutarpi merangkai batang-batang lidi menjadi sebuah tas. Tentu, batang lidi itu sebelumnya telah diwarnai agar lebih menarik.

Di kawasan Wirobrajan, Yogyakarta, Sutarpi mulai memperkenalkan tas lidi buatannya itu ke masyarakat.Meski terbilang barang baru, ternyata banyak yang kecantol dengan tas lidi Sutarpi.

Dalam waktu singkat, ia bisa meraup omzet Rp 300.000 sehari dari jualan tas lidi. “Ini kan jenis baru. Jadi, banyak orang suka dengan tas lidi saya,” katanya.
Permintaan yang terus meningkat memaksa Sutarpi menambah jumlah karyawannya menjadi enam orang. Bahkan, ia kadang harus menambah jumlahnya menjadi 10 orang, jika ada pesanan dalam jumlah besar.

Sejauh ini, Sutarpi relatif tidak menemui kesulitan soal pasokan bahan baku. Sebab, selain harga lidi relatif murah, barangnya juga mudah didapat. “Saya membelinya di pasar,” ujarnya.

Pembeli dari India

Setiap hari, Sutarpi mampu memproduksi 10 model tas dengan jumlah total 100 unit. Namun, jika ia kebetulan sedang membuat model agak susah, produksinya hanya 50 tas per hari. Harga tas bervariasi, mulai Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per unit, tergantung model dan kualitas.

Sutarpi mengaku bisa meraup omzet sampai Rp 750.000 per hari. “Marjin masing-masing tas mulai dari Rp 2.000 sampai Rp 5.000,” ungkapnya.

Selama ini, pembeli tas lidi Sutarpi tak terbatas pada masyarakat Yogyakarta. Ada beberapa pelanggan dari Jakarta, Medan, bahkan India. “Pembeli dari India rutin memesan setiap tiga bulan sekali,” katanya bangga.

Bicara soal pemasaran, Sutarpi menggunakan dua cara: tradisional dan modern. Cara tradisional adalah dengan menjajakan sendiri barang dagangannya hingga menitip ke kios. Sedangkan cara modern, ia memasarkan produknya lewat dunia maya. “Tapi, selama ini, promosi lewat internet masih belum maksimal,” akunya.

Bagi Anda yang tertarik mencoba bisnis tas lidi ini, ada beberapa tip menarik dari Sutarpi.

Pertama, siapkan modal minimal Rp 1 juta buat membeli bahan baku lidi. “Perkiraan saya, uang segitu mampu memproduksi hingga 50 tas lidi per hari,” ujar Sutarpi.

Kedua, cari pekerja yang ulet dan mahir merangkai lidi menjadi tas nan apik. Maklum, membuat tas ini cukup sulit.

Ketiga, Anda harus jeli melihat selera pasar yang mudah berubah. “Makanya, sekarang saya memadukan bahan lidi dengan aksesori akar wangi, enceng gondok, dan bahan lainnya,” papar Sutarpi.

Bisnis Alpukat Hawaii Jumbo Prakoso Heryono


Dahulu, jenis alpukat paling populer dibudidayakan masyarakat Indonesia adalah alpukat mentega yang rasanya manis. Tapi, saat ini tren ini bergeser. Kini varietas alpukat Hawaii yang meroket.

Salah satu pionir pembudidaya alpukat Hawaii ini adalah Prakoso Heryono. Pemilik Satya Pelita Nursery di Demak itu sudah mengembangkan alpukat Hawaii sejak sembilan tahun lalu. Kini, ia memiliki sekitar lima pohon.

Menurut Prakoso, selain lebih manis, ukuran alpukat Hawai jumbo juga jauh lebih besar dibanding jenis lain. Berat satu buah bisa mencapai 2 kilogram (kg), tiga kali lipat lebih alpukat biasa. Tekstur daging buah ini juga lebih padat, tapi tetap lunak ketika digigit.

Dengan berbagai keunggulan itu, alpukat jenis ini dijual Prakoso seharga Rp 25.000-Rp 30.000 per butir. Ini harga premium. Sekadar perbandingan, harga jual alpukat biasa saat ini hanya Rp 10.000 per kg isi sekitar 3 butir.

“Permintaan dari Jakarta dan Surabaya ke tempat saya mencapai empat kuintal per bulan. Tapi saya baru bisa memenuhi dua kuintal setiap kali panen,” ujar bapak 52 tahun ini.

Prakoso bukannya tak mau meningkatkan produksinya. Saat ini, Prakoso memilih lebih fokus menjual bibit alpukat Hawaii. Sebab, permintaannya sangat tinggi. “Saya juga ingin varietas ini dapat dibudidayakan secara massal,” ujarnya.

Untuk satu bibit setinggi 50 cm dengan usia 7 bulan, Prakoso mematok harga Rp 150.000. Ini hampir 10 kali lipat harga bibit alpukat mentega. Dalam setahun, Prakoso bisa menjual 500 bibit alpukat Hawaii jumbo senilai Rp 75 juta. Ia meraup margin laba di atas 50 persen. Selain berbisnis bibit alpukat, ia juga menjual bibit tanaman eksotis lain. Prakoso juga mempunyai beberapa perkebunan.

Oh, iya, buat yang belum tahu, Alpukat merupakan tanaman yang tumbuh di ketinggian medium, antara 200-1.200 di atas permukaan laut. Soalnya, tanaman ini tidak butuh banyak air.

Pohon akan mulai berbuah setelah 3,5 tahun. Empat tahun pertama, buahnya masih sedikit, kira-kira 20 butir saja. Setelah itu, dalam setiap tahun, jumlah buahnya akan meningkat 20 persen sampai 30 persen.

Pertumbuhan jumlah buah akan berhenti di usia pohon 7 tahun. Sampai usia itu, panen per pohon bisa mencapai 2 kuintal. “Panen alpukat bisa dua kali setahun,” kata Prakoso

Senin, 11 Januari 2010

Gershon, di-PHK untuk Jadi Pengusaha Sablon


Sahabat baik tidak selamanya harus dibela mati-matian. Dalam hal tertentu, seorang sahabat harus berani menyatakan sesuatu yang pahit. Akhir Desember 2002, pemutusan hubungan kerja ternyata bukan harga mati bagi Gershon Prasetya (39) untuk bangkit menggarap sablon kaus kecil-kecilan dengan penuh kegembiraan.

Sambil menirukan pesan sahabatnya, Gershon mengatakan, ”Gershon, saya terpaksa mem-PHK kamu. Ini pilihan berat. Aku harus relakan kamu keluar. Kalau kamu tetap di perusahaan ini, kamu tidak akan berkembang.”

Sebelumnya, dia bekerja di perusahaan importir elektronik. Gershon dikenai PHK karena perusahaan tersebut tiba-tiba bangkrut. Meski berbagai biaya operasional sudah dikurangi, langkah PHK tak bisa dihindari. ”Bayangkan, sahabat yang sudah bekerja sama dan membuat saya mencapai posisi general manager di perusahaan importir elektronik akhirnya mem-PHK saya,” kata Gershon yang kini berusaha bersama istrinya Suliani, membuat kaus sablon dengan merek Joyful.

Dengan satu bulan gaji hasil PHK, Gershon memulai ”hidup baru” bersama istrinya. Di tengah kegamangan setelah dikenai PHK, Gershon mendapatkan sebuah nasihat, ”Kerjakan dari apa yang ada padamu”.

Akan tetapi, dia dalam hatinya balik bertanya, ”Apa yang ada pada kami? Istri saya hanya sekadar memberikan les privat,” ujar Gherson.

Namun, pada suatu waktu Suliani tiba-tiba mendapatkan order tas ransel sablonan. Sementara Gershon yang pernah menjadi subdistributor Semen Gresik memberanikan diri untuk mencari order di pabrik semen itu. Rupanya, pabrik semen itu membutuhkan kaus sablon yang diproduksi Gershon.

Karena tidak memiliki latar belakang usaha pembuatan kaus, Gershon diajak kerja sama dengan temannya yang memiliki perusahaan teknologi informasi.

Tidak punya modal
Tahun 2003, Gershon diminta memanfaatkan ruang usaha di kawasan Sudirman, Jakarta. Namun, setiap mendapatkan order, pembagian keuntungannya hanya 35 persen, sedangkan selebihnya, yakni 65 persen, harus diberikan kepada rekanannya.

”Waktu itu, saya mau saja. Saya enggak punya modal sama sekali untuk buka kantor di Jakarta,” kata Gershon, yang kini sudah membuka kantor pemasaran di daerah lain di Jakarta.

Hanya berjalan sekitar 1,5 tahun, Gershon tersadarkan. Kerja kerasnya tidak mendatangkan keuntungan yang semestinya bisa diraihnya. Begitu dihitung-hitung ternyata Gershon merasa dibohongi sehingga kerja sama terpecah.

Dalam komitmennya, Gershon berjanji tidak akan mengambil seluruh daftar konsumennya. Namun, apabila selama setahun, konsumen dari perusahaan kongsiannya itu tidak digarap, Gershon sedikit demi sedikit mengambil alih untuk melayani konsumen lamanya.

Lelaki bertubuh gemuk yang kini dikaruniai dua anak itu menamakan usahanya ”Joyful”. Langkah usahanya seakan mulai bersinar.

Apalagi, seorang sahabat lainnya pernah mengatakan kepada Gershon, ”Jadilah raja di bidangmu. Fokuslah. Tekuni dahulu barulah melangkah menggali potensi usaha ke bidang lain.”

Hal itu pun diyakini istrinya. Apabila pengusaha lain hanya memproduksi dengan standar promosi, Gershon lebih menekankan standar ritel. Artinya, produksinya bukan sekadar memenangi tender dan meraih order sebanyak-banyaknya, tetapi juga juga mempertahankan kualitas dengan mulai melakukan pemilihan jenis kain, teknik pewarnaan, dan desain.

”Saya selalu mengincar order dari perusahaan-perusahaan. Bukan hanya ordernya besar, tetapi juga ada repeat order yang menggiurkan, apalagi kalau perusahaan itu sudah merasa terpuaskan oleh produk saya,” kata Gershon.

Tidak heran, ordernya bisa mencapai ribuan. Kapasitas produksinya kini bisa mencapai 50.000-100.000 per bulan. Meski banyak perusahaan yang kini meliriknya, Gershon tidak ingin serakah mengejar order.

Gershon dan istrinya sudah memenuhi pesanan sablon dari sebuah perusahaan televisi swasta, produsen semen, dan produsen makanan olahan.

Apabila tidak sanggup menangani sendiri, Gershon pun dengan kerelaan memberikan desainnya secara gratis untuk diproduksi orang lain

Ratidjo Petani Plasma


Ratidjo memutuskan berhenti sebagai karyawan PT Tuwuh Agung Yogyakarta yang bergerak di bidang ekspor jamur merang ke Amerika tahun 1997. Ia ingin sepenuhnya dekat dengan petani sebagai penyedia bibit. Ratidjo paham benar, jika keadaan petani tidak membaik, terutama dari sisi pemasaran hasil produksi jamur, maka usaha pembibitan yang ia rintis tidak akan berjalan baik.

Sejak itulah lelaki asli Dusun Niron, Pendowoharjo, Sleman, Yogyakarta, ini berniat membuka rumah makan yang khusus menyediakan menu olahan jamur. ”Saya hanya ingin menyerap produksi jamur petani yang waktu itu sudah mencapai hitungan ton setiap hari,” tutur Ratidjo pada awal November 2009 di sela-sela padatnya pengunjung Warung Jejamuran miliknya.

Ide itulah yang menuntun Ratidjo membentuk plasma petani jamur di sekitar wilayah Sleman, terutama sekitar lereng selatan Gunung Merapi. Untuk menyediakan kecukupan bibit, di rumahnya Ratidjo membangun laboratorium untuk pengembangan dan pembibitan jamur.

Kini rumah makan dan laboratorium di atas tanah seluas 2.000 meter persegi itu telah mempekerjakan 110 karyawan. Bahkan, hasil bibit jamur Ratidjo sudah didistribusikan ke seluruh Indonesia. Pencapaian terpenting lelaki yang terjun dalam dunia perjamuran sejak tahun 1968 ini adalah membentuk 50 plasma petani jamur.

”Sekarang seperti manufaktur, saya sediakan bibit, lalu petani membudidayakan, dan saya beli lagi untuk konsumsi lokal di warung. Jadi, kalau budidaya jamur terus bergairah, usaha pembibitan saya akan tetap jalan,” tutur Ratidjo.

Setelah adanya Warung Jejamuran, harga jamur di tingkat petani meningkat. Jika sebelumnya harga jamur tiram Rp 7.000 per kilogram, sekarang Ratidjo membelinya dari petani Rp 9.000 per kilogram. Dulu harga jamur merang Rp 12.000 per kilogram, kini dibeli seharga Rp 17.000 per kilogram. Jika toh terjadi kelebihan produksi, Ratidjo tetap menyerapnya untuk dijadikan olahan jamur kering atau disalurkan kepada pasar swalayan.

Warung Jejamuran yang berlokasi 800 meter ke arah utara dari pertigaan Beran Lor Km 10,5 Jalan Raya Yogyakarta-Magelang itu kini menjelma menjadi ujung tombak pemasaran produksi jamur petani. Setidaknya, dengan sistem kerja sama plasma, petani jamur tak perlu lagi merasa didikte oleh pasar. Ratidjo sejak awal memang bertekad membawa petani keluar dari lingkaran kemiskinan dengan cara membagi ilmu budidaya jamur. Sebuah upaya kecil, tetapi pasti akan sangat berarti di tengah gelimang kesulitan yang terus-menerus menerpa petani kita.