Ebiz Ads

Sabtu, 06 Maret 2010

Zakiah Ambadar, Bos Le Monde Meraih Sukses Berkat Nasihat Orang Tua


Berbekal satu mesin jahit dan uang Rp 900.000 pada tahun 1980, Zakiah Ambadar bersama dua orang adiknya mendirikan PT Lembanindo Tirta Anugrah. Perusahaan ini memproduksi perlengkapan bayi dan ibu dengan merek dagang Le Monde.

Le monde diambil dari Bahasa Prancis yang artinya dunia. Perusahaan ini merupakan bisnis keluarga memiliki yang didirikan oleh Zakiah Ambadar (Jackie Ambadar) dengan aset Rp 13 miliar dengan omset Rp 3 miliar per bulan. Saat ini, perusahaan perlengkapan bayi ini mempunyai 10 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Bogor dan Malang. Selain memiliki banyak outlet, Le Monde telah melakukan franchise sejak tahun 2001.

Pengalaman pertama menjajakan produk dagangnya yaitu memasang display satu kamar tidur lengkap di Pasaraya, begitu jam pertama dibuka langsung bisa terjual habis diborong oleh istri pejabat. Saat itu pengelola Pasaraya sempat menegur Jackie karena ia tidak menyediakan stock atau cadangan.

Setelah sukses di Pasaraya, Jackie Ambadar yang sekaligus menjadi Managing Director PT Lembanindo Tirta Anugrah, kemudian melabarkan sayap usahanya dengan menjual Le Monde di pasar Melawai. Permintaan ternyata cukup tinggi, sehingga pihaknya kewalahan memenuhi permintaan konsumen.

Guna memenuhi permintaan pasar, Jackie lalu mendirikan pabrik di Ciawi, Bogor. Bersamaan dengan itu, pada tahun 1984 Le Monde juga membuka Kantor Pemasaran di kawasan Jl Radio Dalam Raya No. 88, Jakarta Selatan. Pembukaan outlet di Jl Radio Dalam ini dimaksudkan untuk merealisasikan toko sendiri, menjaga cash flow karena department store melakukan pembayaran yang relatif lama yaitu 45 hari, padahal Le Monde harus membayar pada supplier atau penyedia bahan-bahan produksi dengan jangka waktu 20 hari. Selain itu, tentu saja pembukaan tersebut sebagai wujud dari keinginan untuk lebih dekat dengan konsumen.

Jackie melihat bahwa produk-produk yang dijual di pasaran seperti di sejumlah department store selama ini tidak pernah lengkap. “Karenanya ketika Le Monde bisa menyajikan display secara lengkap banyak pengunjung senang,” katanya.

Pasar Ekspor

Le Monde memiliki sekitar 100 counter yang tersebar di pusat perbelanjaan ternama dan tujuh gerai di beberapa kota besar di Indonesia. “Pertumbuhan bisnis per tahun mencapai 30-50 persen dan rata-rata keuntungan bertumbuh 10-20 persen setahun.” kata alumni Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia ini.

Le Monde membidik pangsa pasar menengah atas dengan kualitas bahan yang bersertifikasi internasional. Saat ini Le Monde telah mengekspor produk-produknya ke luar negeri seperti Australia, Singapura, Malaysia dan negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Pada saat itu bisnis perlengkapan bayi dan ibu belum terlalu banyak dilirik orang dan produk-produk yang ada adalah produk luar negeri seperti Baby Care yang tidak terintegrasi secara lengkap. Jackie lalu mempunyai keyakinan bahwa bisnisnya ini akan bisa menjadi pionir dalam industri perlengkapan bayi yang lengkap.

Le Monde sejak tahun 2001 berkembang menjadi usaha waralaba atau franchise dengan outlet dengan trade mark Le Monde Baby Worlds. Model franchise yang ditawarkan Le Monde berbeda dengan franchise yang lain karena Le Monde Baby Worlds tidak melakukan sistem pembayaran royalti bagi franchisee dan biaya modal usaha yang ditawarkan dengan harga murah.

Keyakinan untuk mengembangkan usaha atau bisnis yang digeluti sekarang ini, menurut Jackie, berkat nasihat dari sang ayah yang selalu menanamkan nilai-nilai untuk berani tampil beda dan bisa menjadi lebih baik dibandingkan orang lain. “Be different and be better,” bagitulah moto yang sering ditanamkan ayahnya sejak kecil. Menurut ayahnya jika melakukan sesuatu janganlah hanya ikut-ikutan dan tidak mempunyai prinsip sendiri. Ia juga menekankan keberanian mengambil risiko dalam berusaha.

Sementara nilai-nilai yang diwariskan ibunya kepada Sang anak yaitu ketegasan, komitmen dan dedikasi yang tinggi dalam melakukan suatu pekerjaan. Hal inilah menurut Jackie yang akan menjadi modal kuat bagi dia dan saudara-saudaranya dalam mengelola dan mengembangkan usaha yang digelutinya.

Sejak kecil ia memang ditanamkan jiwa entrepreneurship oleh orang tuanya sehingga ia menyadari untuk mengembangkan usaha tidak boleh hanya mengikuti trend yang ada. Karena jika hanya mengikuti trend yang ada maka jumlah pemain usaha sudah banyak sehinnga tingkat kompetisi memang sudah sedemikian ketat.

“Berani mengambil risiko dan mau bertanggung jawab terhadap setiap keputusan bisnis yang telah dipikirkan secara matang-matang akan menjadi kunci kesuksesan suatu usaha”.

Menyikapi tingkat pengangguran yang begitu tinggi di Indonesia ia berpendapat hal itu terjadi karena minimnya jiwa entrepreneurship di sebagian besar masyarakat Indonesia. Saat ini tingkat pengangguran di Indonesia masih sangat besar terutama sejak krisis ekonomi 1997 yang berjumlah kira-kira 40 juta.

Setiap tahun sekitar 2 juta tenaga kerja baru bertambah. Kebanyakan adalah pencari kerja dan bukan manusia yang mempunyai kesadaran untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Menurutnya masyarakat Indonesia harus mengubah pola pikir yang ada dari seorang pencari kerja menjadi pencipta lapangan kerja. Jika dari 100 angkatan kerja 10 persennya berani menjadi wiraswata yang rata-rata merekrut 10 orang tenaga kerja, hal ini akan membuka 100 lapangan pekerjaan baru.

Banyak orang di Indonesia berpendapat untuk membuka usaha dibutuhkan modal yang besar, ini merupakan hal yang keliru. Memang modal sangat penting dalam membuka suatu usaha tetapi yang jauh lebih penting yaitu kemauan dan semangat untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan sehingga orang dapat mandiri. Dengan jiwa wirausaha maka akan membuka kesempatan kerja yang akan dapat menghidupi diri sendiri dan menolong orang lain.

Dirikan Yayasan

Pada mulanya Zakiah Ambadar bersama teman kuliahnya, Miranty Abidin mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Bina Karsa Mandiri. Yayasan ini berfungsi untuk melakukan training bagi kewirausahaan.

Jackie -begitu Zakiah biasa dipanggil- mempunyai keinginan agar lembaga yang didirikan bersama sahabatnya ini bisa menularkan pengalaman yang dimilikinya. Sasaran utama dari lembaga ini adalah generasi muda yang ingin menggali potensi jiwa usaha. Yayasan Bina Karsa Mandiri telah menerbitkan 10 buku atau lebih.

Setiap peluncuran buku barunya selalu diikuti diskusi bedah buku yng mengundang para generasi muda. Buku-buku tersebut pada umumnya berisi tentang perjalanan para pengusaha ketika memulai usaha dengan menangkap peluang yang ada.

Dua buku dari sepuluh buku yang cukup laris berjudul Selalu Ada Peluang dan Usaha Yang Cocok Untuk Anda. Dengan membaca buku-buku ini akan membuka cakrawala bagi generasi muda untuk bisa mempunyai pemahaman mengenai kiat-kiat menciptakan jiwa entrepreneurship.

Jumat, 05 Maret 2010

Abri Mada, di Balik Sukses Ikki Bento


Dalam tempo tiga tahun, Ikki Bento telah memiliki 160 gerai yang tersebar di berbagai kota di Tanah Air. Tak hanya di wilayah Jabodetabek, tetapi juga di luar Jawa seperti Padang, Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat. Nah, sosok kreatif di balik sukses restoran ala Jepang ini adalah Abri Mada. Sejatinya, Ikki diambil dari bahasa Jawa yang artinya “ini”. Jadi nama Ikki Bento artinya “ini makanan jenis bento”, yang didirikan sejak 2006.

Abri menjual makanan Jepang ini dengan gaya kaki lima (gerobak), karena memang saat itu belum ada yang berjualan makanan Jepang dengan format begitu. Selain gerobak (booth), Ikki Bento ada pula yang dikemas berformat food court yang menjual lebih banyak item produk bento, tepanyaki, ramen dan burger. Selain gerobak dan food court, Abri juga mengembangkan Ikki Bento dengan format lebih besar, yakni berformat restoran. ”Gerai pertama kami di Kompleks Pertamina Jatiwaringin,” kata Abri yang mengakui hingga saat ini hanya mempunyai dua gerai Ikki Bento bentuk gerobak. Selebihnya adalah gerai milik mitra usahanya.

Adik Bimada – pendiri Bakmi Raos – ini, sukses membesut Ikki Bento setelah beberapa kali gagal membeli usaha waralaba, salah satunya Bakmi Japos. Dari situlah, ia banyak belajar tentang bisnis waralaba. Tak heran, akhirnya ia memilih sistem business opportunity (BO) untuk mengembangkan Ikki Bento ini. Baginya, sistem BO lebih simpel ketimbang waralaba. Mitra usaha tak memiliki kewajiban membayar biaya royalti, melainkan hanya mengeluarkan biaya kemitraan untuk jangka waktu lima tahun.

Tipe booth misalnya, yang disebut Abri dengan Paket Minimax, dijual kepada mitranya seharga Rp 30 juta per unit. Dengan tipe ini mitra usaha memerlukan dua-tiga karyawan. Sementara itu, tipe food court (Paket Optimax) dijual seharga Rp 45 juta dengan jumlah karyawan yang sama. Lalu, tipe resto (Paket Doublemax) dijual seharga Rp 150 juta. Biaya kemitraan ini belum termasuk sewa gedung. “Tapi nilai investasi ini sudah mencakup semua kebutuhan untuk usaha selama lima tahun. Sebagian dari bahan bakunya mereka beli dari kami. Tapi kami tidak mengenakan royalti. Jadi, keuntungan semuanya untuk mitra,” mantan karyawan Bank Panin ini menjelaskan.

Kesuksesan Ikki Bento juga diungkapkan Yenny Ramli, yang sejak 6 bulan lalu membeli BO Ikki Bento. Mengambil lokasi di tempat jajanan kampus Universitas Mercu Buana, Meruya, Jakarta ternyata membawa berkah bagi wanita 47 tahun ini. Tiga bulan pertama berjualan Ikki Bento, perolehan omsetnya hanya mencapai Rp 300 ribu/hari. Namun tiga bulan berikutnya angka penjualan naik signifikan. Rata-rata per hari bisa mencapai Rp 900 ribu, bahkan bisa hingga Rp 1,2 juta. “Pak Abri juga bingung, cepat amat saya order bahan baku. Seminggu bisa dua kali saya order. Karena freezer saya tak cukup bila harus menyetok buat kebutuhan satu minggu,” kata Yenny yang juga menjadi pewaralaba minimarket Alfamart dan Kebab Turki.

Soal investasi, Yenny hanya merogoh kocek Rp 17 juta untuk memulai usaha ini. Ternyata Abri cukup fleksibel dalam hal menjual sistemnya. Konsep yang dibeli Yenny sebenarnya standar untuk paket harga sekitar Rp 30 juta (Minimax). Akan tetapi, karena di lokasi tersebut Yenny tak membutuhkan gerobak, Abri pun memberi keringanan tidak memasukkan biaya pembelian gerobak.

Tak puas dengan sukses Ikki Bento, Abri bersama istrinya, Widi Mada mengembangkan unit bisnis lain di bawah bendera Grup Ikki, yakni Ikki Sushi yang nilai investasinya lebih besar dan menjual produk dengan varian makanan sehat dengan harga sedikit lebih mahal dari Ikki Bento. Paket investasinya saja untuk jenis food court senilai Rp 69 juta, sudah termasuk booth yang dilengkapi kotak neon, banner, 8 kursi, kompor dan tabung gas, freezer, deep fryer dan lain-lain. Menu yang disajikan, di antaranya Crispy Roll, Ikki Fussion Roll, Crab Madness dan lain-lain yang dilengkapi dengan makanan pembuka (appetizer) don buri, ramen, dan berbagai makanan penutup (dessert). “Tapi rasanya kami sesuaikan dengan lidah orang Indonesia,” kata Widi berpromosi.

Lalu merek lainnya yang dikibarkan Abri adalah ICrepes dan Martabak Sarang Semut. Potensi merek yang terakhir disebut ini masih sangat potensial dan besar pasarnya. Dari awal peluncurannya (tahun lalu) hingga sekarang, Sarang Semut sudah memiliki lebih dari 100 gerai. Modal investasinya cukup rendah, yakni sekitar Rp 18 juta. Namun omset yang diperoleh para mitranya lumayan bagus. “Mereka mampu mencapai omset Rp 750 ribu per hari. Di daerah luar Pulau Jawa, seperti Makassar dan Gorontalo, Martabak Sarang Semut kinerjanya cukup bagus,” ujar Abri menegaskan

Irwan Sunarto, mitra usaha Abri yang membeli BO Sarang Semut dan ICrepes mengaku beruntung berbisnis makanan jenis ini. Alhasil, dari satu gerobak saja, omsetnya rata-rata Rp 250-300 ribu/hari. Bahkan bisa mencapai Rp 1 juta/hari, bila kebetulan ada pelanggan yang memborong martabaknya seperti untuk perayaan ulang tahun. ”Mungkin 6 bulan sudah balik modal,” kata alumni Sekolah Akuntansi YAI ini.

Ia mengaku ada rencana membeli BO lain yang ditawarkan Abri. Ikki Bento, menurut Irwan, tidak cocok bagi pasar di wilayahnya. Akan tetapi, ia punya rencana membangun Martabak Sarang Semut yang lain, dan ia tertarik pula dengan Bebek Super Sambel yang juga dibesut Abri. Satu hal yang menurut Irwan bisa menjadi kendala bagi Abri saat ini adalah jaminan ketersediaan bahan baku yang boleh jadi akan menjadi kendala buat Abri kelak. Makanya, perlu dicarikan solusinya nanti.

Selasa, 02 Maret 2010

Villa Domba, Tempat Belajar Vanili dan Domba


"Halo, rumputnya mau ditimbang? Terus saja ke sana . Mau jajan ya," kata Agus Ramada (31) dengan ramah kepada beberapa anak yang menghampirinya. Lain waktu, ia berpapasan dengan pegawainya. "Wah, jagoan mau kemana nih," sapanya sambil tersenyum .
Begitulah keseharian Agus dalam menjalankan usahanya yakni Villa Domba di Desa Jatisari, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak hanya pegawai dan anak-anak pencari rumput untuk pakan ternak terlihat di sana tetapi juga mereka yang hendak belajar agrobisnis.

"Di sini, terdapat peternakan domba dan perkebunan vanili. Jadi, tamu bisa belajar tentang usaha agrobisnis itu," kata Agus. Seperti yang terlihat siang itu, sebanyak lima mahasiswa Prasetiya Mulya Jakarta tengah belajar untuk menyusun rencana bisnis tentang perkebunan vanili.

Agus memang tak mau kikir membagi ilmunya. Di Villa Domba, mereka yang tertarik untuk datang akan disambut dengan baik. Villa Domba terbuka untuk akademisi, pengusaha, hingga petani lokal. Jika rombongan yang datang ramai, jumlah pengunjung bisa mencapai 30 orang per hari.

Jumlah ternak Villa Domba saat ini sudah hampir 1.000 ekor. Sebagian dari domba itu didistribusikan kepada peternak lokal untuk dikerjasamakan dengan pola kemitraan. Sementara, jumlah pohon vanili mencapai 7.000 batang di lahan seluas tujuh hektar.
Mereka yang pernah singgah tid ak hanya berasal dari Bandung, Jakarta, Balikpapan, hingga Papua. Wisatawan asing seperti dari China, Italia, Malaysia, Perancis, dan Inggris juga datang ke Villa Domba. Keramahan Agus tak hanya ditunjukkan kepada tamu.

Keberadaan Villa Domba dengan warga sekitar pun seakan tak berjarak. Agus selalu memanggil nama warga di Desa Jatisari yang dikenalnya. Kedekatan dengan penduduk ditunjukkan dengan tidak adanya pagar di kawasan Villa Domba.

Warga bebas hilir mudik jika memiliki keperluan dengan Agus. Meski demikian, keamanan Villa Domba justru tak terganggu. Soalnya, warga sekitar diberdayakan sebagai peternak mitra. "Malah, mereka turut menjaga Villa Domba," katanya.

Penduduk ikut merasa memiliki tempat itu karena mereka merasakan manfaat Villa Domba yang bisa ditempuh dengan berkendara selama kurang lebih satu jam dari Kota Bandung. Peternak lokal bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari program penggemukan dan pembibitan domba.

Senin, 01 Maret 2010

Agung Nugroho: Umur 25 Tahun Punya 105 Gerai, Omzet Rp 3 M/bulan


MESKI malam sudah sangat larut di Yogyakarta, Agung Nugroho Susanto berusaha tetap melek. Di sebuah bangunan 28 meter persegi di kawasan Gejayan, dia memelototi diktat kuliah sambil sesekali mengawasi mesin cuci yang masih bekerja. Dia hanya ditemani cucian kotor menggunung.

Sebagai mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Agung harus belajar untuk ujian besok. Tapi, sebagai pengusaha, ia tak mau pelanggannya kecewa. ”Hampir tiap hari begadang,” katanya, mengenang perjuangannya mengembangkan bisnis laundry kiloan yang diberi nama Simply Fresh, tiga tahun silam.

Kini, pada usia 25, bisnis binatu kiloan itu sudah menyegarkan hidupnya. Omzet per bulan mencapai Rp 3 miliar. Dia tinggal di rumah senilai Rp 1,5 miliar, yang dibeli dari hasil keringatnya, di perumahan elite di kawasan Monjali, Sleman. Di garasi ada dua mobil BMW seri 3201 keluaran 2009 dan seri 319i kelahiran 2005. Masih ada Kijang Innova dan tiga sepeda motor.

Simply Fresh sejatinya bukan usaha pertama Agung. Lelaki Jawa kelahiran Bandar Lampung, 15 November 1984, itu pernah menekuni bisnis pakaian dan berdagang telepon seluler, tapi gagal. Namun pelahap bukubuku motivasi itu pantang menyerah. ”Orang sukses itu rata-rata berbisnis mulai dari nol,” kata pria yang baru menikah Juni lalu itu. ”Yang penting action.”

Pada 28 Februari 2006—saat semester kelima—Simply Fresh resmi berdiri. Bermodal Rp 30 juta, sisa keuntungan dua usaha sebelumnya, plus pinjaman dari lembaga pembiayaan, dia menyewa bangunan di Jalan Flamboyan, Gejayan. Sisanya dibelikan satu mesin cuci, mesin pengering, dan setrika listrik.

Dalam sebulan, Simply Fresh menjadi laundry favorit para mahasiswa di daerah itu, mengalahkan tiga perusahaan laundry lain yang lebih dulu ada, karena harganya lebih murah, Rp 2.500 per kilogram. Konsumen boleh memilih jenis pewangi pakaian, dan tak ada batas minimal. ”Laundry kiloan biasanya hanya mau menerima minimal lima kilo cucian,” kata Agung, yang sejak sekolah menengah pertama hidup mandiri, terpisah dari orang tuanya yang menetap di Bandar Lampung.

Agung juga berani menawarkan cuci kilat selesai dalam empat jam. Dengan peralatan seadanya plus dua karyawan, ia ikut mencuci dan menyetrika. Dia juga tak sungkan berkeliling mengambil cucian kotor dari pelanggan, yang sebagian teman kuliahnya. Di awal usaha, omzet sebulan Rp 8 juta, sebagian besar habis untuk keperluan operasional dan menggaji dua karyawan. ”Saya belum mengejar keuntungan, tapi mencari pelanggan,” katanya.

Melihat pasar yang menjanjikan, Agung nekat membuka cabang di daerah Monumen Jogja Kembali (Monjali) dan Selokan Mataram. Modal tambahan dia pinjam dari Bank Perkreditan Rakyat dengan jaminan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor. Meski makin sibuk berbisnis, anak ketiga dari enam bersaudara itu tetap bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu: empat tahun, dengan indeks prestasi 3,3.

Toh, keberhasilan itu tak membuat orang tuanya, Agus Susanto dan Hermin Yulistyowati, merestui pilihannya. ”Ngapain sekolah tinggi kalau cuma jadi tukang cuci,” kata Agung, menirukan ayahnya. Maklum, dalam keluarga besarnya, tak satu pun yang menjadi pengusaha. Ayahnya pengacara, dua kakaknya jaksa dan dokter.

Atas desakan orang tua, Agung sempat melamar ke Bank Indonesia. Namun dia mundur setelah lulus hingga tahap wawancara terakhir. Panggilan menjadi pebisnis lebih kuat dibanding menjadi pegawai kantoran. ”Aku berjanji kepada orang tua, kalau dalam setahun usahaku tidak berhasil, jadi apa saja aku mau,” tuturnya. Ayah-ibunya setuju.

Agung langsung tancap gas. Berbekal ilmu bisnis dan keuangan yang dipelajari sendiri, dia mewaralabakan bisnisnya. ”Saya lihat banyak orang Indonesia yang ingin menginvestasikan uang tapi bingung mau bisnis apa, dan tak berani mengambil risiko,” kata finalis wirausaha muda mandiri ini. Sistem waralaba, menurut dia, menjadi solusi terbaik. Agung pun menawarkan tiga paket investasi: Rp 85 juta, Rp 104 juta, dan Rp 145 juta, dengan imbalan (fee) delapan persen dari omzet setiap bulan pemegang merek Simply Fresh.

Gerai waralaba pertama berdiri di Depok, Bintaro, Timika (Papua), dan Banda Aceh. Dalam setahun, Simply Fresh berbiak menjadi 30 gerai. Hingga 2009, usaha binatu itu sudah beranak-cucu mencapai 105 gerai dan 200 agen (sub-outlet) Simply Fresh. Agen merupakan ”anak” gerai yang berfungsi sebagai pengumpul cucian kotor dan bersih. Pelanggan Simply Fresh meluas ke tingkat perusahaan, hotel, tempat spa, dan rumah sakit.

Agung pun mulai menikmati wanginya bisnis binatu kiloan. Omzet total sebulan tak kurang dari Rp 3 miliar. Sejak setahun lalu, dia berkantor di gedung tiga tingkat di atas lahan 150 meter persegi di tepi jalan raya Monjali, yang merupakan kantor miliknya sendiri. Kerja sama dengan pengusaha di Malaysia sedang dijajaki. Dia juga diganjar berbagai penghargaan.

”Saya bahagia bisa membuka lapangan kerja,” kata Agung, yang sudah menyerap hampir seribu tenaga kerja. Itulah yang mendorongnya terus berinovasi, antara lain dengan menggunakan detergen ramah lingkungan buatan mahasiswa Jurusan Kimia Universitas Gadjah Mada. Bersama salah seorang kenalannya, bekas karyawan PT Dirgantara Indonesia yang lulusan Jerman, dia juga membuat mesin pengering hemat energi.

Minggu, 28 Februari 2010

Ebiz Inspirations

CEO Facebook Jadi Milyuner Termuda Sepanjang Sejarah




Pada usia 23 tahun, penemu situs jejaring social Facebook, Mark Zuckerberg adalah milyuner termuda sepanjang sejarah yang menghasilkan kekayaan dengan usahanya sendiri. Seperti diumumkan oleh majalah Forbes, Zurkerberg ada pada urutan 785 dalam daftar orang - orang terkaya dunia.

Matthew Miller, Forbes Associate Editor mengatakan, "Ia adalah milyader termuda di dunia, dan ia menghasilkan kekayaan dengan usahanya sendiri." Mark Zurkerberg memiliki nilai kekayaan sebesar $1.5 milyar kira-kira sama dengan kekayaan yang dimiliki Oprah Winfrey.

Satu pertanyaan muncul tentang bagaimana mengkalkulasi kekayaan tersebut. Beberapa orang berargumen bahwa ia memiliki kekayaan lebih dari $1.5 milyar karena ia menginvestasikan $240 juta dollar saat Microsoft membeli 1.6% saham Facebook pada tahun 2007. Dengan investasi Microsoft, kapitalisasi pasar Facebook kira-kira $15 milyar. Mark memiliki 30% saham perusahaan, yang membuatnya seharusnya memiliki tidak kurang dari $5 milyar secara nilai.

Valuasi Facebook dicerminkan oleh penjualan tahunan-nya yang mencapai $150 juta. Penjualan tersebut sebagaian besar berkat kontribusi dari kesepakatan penerimaan iklan oleh Microsoft.

Mark Zuckerberg memulai Facebook pada February 2004 dari ruang kamarnya di Harvard. Setelah berhenti sekolah dan pindah ke Silicon Valley, penemu Facebook ini mulai memantapkan langkahnya di bisnis situs jejaring social. Saat ini Zurkerberg merupakan milyuner terkaya di dunia sepanjang sejarah yang menghasilkan kekayaan sepenuhnya dari usaha sendiri.