Ebiz Ads

Sabtu, 10 April 2010

Ebiz Inspirations


Sandiaga S Uno, Masih Muda Sudah Jadi Miliarder

Di negeri ini, jumlah pengusaha sukses masih sedikit. Lebih sedikit lagi jika mencari pengusaha masih muda, sukses, dan kaya. Tiga orang ini memenuhi kriteria tersebut. Umur mereka belum 40 tahun, tapi kesuksesannya tak diragukan lagi. Siapa saja mereka?

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) pasti kenal dengan sosok Sandiaga S. Uno. Dia baru saja lengser dari jabatan ketua umum pusat organisasi yang beranggota lebih dari 30 ribu pengusaha itu.

Sandi -demikian penyandang gelar MBA dari The George Washington University itu biasa disapa- tercatat sebagai orang terkaya ke-63 di Indonesia versi Globe Asia. Kekayaannya USD 245 juta.



Sandi menyatakan tak disiapkan untuk menjadi pebisnis oleh orang tuanya. ”Orang tua lebih suka saya bekerja di perusahaan, tidak terjun langsung menjadi wirausaha,” ujar pria penggemar basket itu.

”Menjadi pengusaha itu pilihan terakhir,” akunya. Karena itulah, dia tak berpikir menjadi pengusaha seperti yang telah dilakoni selama satu dekade ini. ”Saya ini pengusaha kecelakaan,” katanya, lantas tertawa.

Kiprah bisnis Sandi kini dibentangkan lewat Grup Saratoga dan Recapital. Bisnisnya menggurita, mulai pertambangan, infrastruktur, perkebunan, hingga asuransi. Namun, dia masih punya cita-cita soal pengembangan bisnisnya. “Saya ingin masuk ke sektor consumer goods. Dalam 5-10 tahun mendatang, bisnis di sektor tersebut sangat prospektif,” katanya, optimistis.

Seorang pebisnis, kata dia, memang harus selalu berpikir jangka panjang. Bahkan, berpikir di luar koridor, berpikir apa yang tidak pernah terlintas di benak orang. “Mikir-nya memang harus jangka panjang.”

Dia mencontohkan, dirinya masuk ke sektor pertambangan awal 2000. Saat itu, sektor tersebut belum se-booming sekarang. ”Jadi, ketika sektor itu sekarang naik, kami sudah punya duluan,” ujarnya.

Dia sesekali menyeruput air putih yang terhidang di sebuah ruang di kantornya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Sesekali pula dia menerima telepon dari sejumlah koleganya. Bahkan, dia sempat menjawab pertanyaan wartawan lewat telepon. Sandi dikenal sebagai sosok yang rendah hati. Dia tak membeda-bedakan orang dalam bergaul. ”Makin banyak teman kan makin enak,” kata bapak berputri dua itu.

Sandi semula adalah pekerja kantoran. Pascalulus kuliah di The Wichita State University, Kansas, Amerika Serikat, pada 1990, Sandi mendapat kepercayaan dari perintis Grup Astra William Soeryadjaja untuk bergabung ke Bank Summa. Itulah awal Sandi terus bekerja sama dengan keluarga taipan tersebut. ”Guru saya adalah Om William (William Soeryadjaja, Red),” tutur pria kelahiran 28 Juni 1969 itu.

Bapak dua anak itu kemudian sedikit terdiam. Pandangannya dilayangkan ke luar ruang, memandangi gedung-gedung menjulang di kawasan Mega Kuningan. ”Saya masih ingat, sering didudukkan sama beliau (William Soeryadjaja, Red). Kami berdiskusi lama, bisa berjam-jam. Jiwa wirausahanya sangat tangguh,” kenangnya. William tanpa pelit membagikan ilmu bisnisnya kepada Sandi. Dia benar-benar mengingatnya karena itulah titik awal dia mengetahui kerasnya dunia bisnis.

Di tanah air, Sandi hanya bertahan satu setengah warsa. Dia harus kembali ke AS karena mendapat beasiswa dari bank tempatnya bekerja. Dia pun kembali duduk di bangku kuliah The George Washington University, Washington. Saat itulah, fase-fase sulit harus dia hadapi. Bank Summa ditutup. Sandi yang merasa berutang budi ikut membantu penyelesaian masalah di Bank Summa.

Sandi kemudian sempat bekerja di sebuah perusahaan migas di Kanada. Dia juga bekerja di perusahaan investasi di Singapura. ”Saya memang ingin fokus di bidang yang saya tekuni semasa kuliah, yaitu pengelolaan investasi,” tutur ayah dari Anneesha Atheera dan Amyra Atheefa itu.

Mapan sejenak, Sandi kembali terempas. Perusahaan tempat dia bekerja tutup. Mau tidak mau, dia kembali ke tanah air. ”Saya berangkat dari nol. Bahkan, kembali dari luar negeri, saya masih numpang orang tua,” katanya.

Sandi mengakui, dirinya semula kaget dengan perubahan kehidupannya. ”Biasanya saya dapat gaji setiap bulan, tapi sekarang berpikir bagaimana bisa survive,” tutur pria kelahiran Rumbai itu. Apalagi, ketika itu krisis.

Dia kemudian menggandeng rekan sekolah semasa SMA, Rosan Roeslani, mendirikan PT Recapital Advisors. Pertautan akrabnya dengan keluarga Soeryadjaja membawa Sandi mendirikan perusahaan investasi PT Saratoga Investama Sedaya bersama anak William, Edwin Soeryadjaja. Saratoga punya saham besar di PT Adaro Energy Tbk, perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia yang punya cadangan 928 juta ton batu bara.

Bisa dibilang, krisis membawa berkah bagi Sandi. ”Saya selalu yakin, setiap masalah pasti ada solusinya,” katanya. Sandi mampu ”memanfaatkan” momentum krisis untuk mengepakkan sayap bisnis. Saat itu banyak perusahaan papan atas yang tersuruk tak berdaya. Nilai aset-aset mereka pun runtuh. Perusahaan investasi yang didirikan Sandi dan kolega-koleganya segera menyusun rencana. Mereka meyakinkan investor-investor mancanegara agar mau menyuntikkan dana ke tanah air. ”Itu yang paling sulit, bagaimana meyakinkan bahwa Indonesia masih punya prospek.”

Mereka membeli perusahaan-perusahaan yang sudah di ujung tanduk itu dan berada dalam perawatan BPPN -lantas berganti PPA-. Kemudian, mereka menjual perusahaan itu kembali ketika sudah stabil dan menghasilkan keuntungan. Dari bisnis itulah, nama Sandi mencuat dan pundi-pundi rupiah dikantonginya.

Sandi terlibat dalam banyak pembelian maupun refinancing perusahaan-perusahaan. Misalnya, mengakuisisi Adaro, BTPN, hingga Hotel Grand Kemang. Dari situlah, kepakan sayap bisnis Sandi melebar hingga kini.

Terpaksa ke Mal demi Anak

Sandiaga S. Uno adalah citra kesuksesan. Semua orang tahu hal itu. Namun, di balik aktivitasnya yang padat, dia merasa berdosa kepada keluarga. Sebab, waktunya hampir habis tersita untuk aktivitas bisnis dan organisasi. “Saya merasa nggak adil sama keluarga. Saya kerja begini untuk siapa? Rasanya ada yang hilang,” tutur Sandi.

Sandi mengaku, biasanya menjadikan Sabtu-Minggu sebagai hari untuk keluarga. Itu pun sangat terbatas. “Saya paling suka ke Senayan. Pasti Sabtu olahraga bareng keluarga di sana. Pagi lari, agak siang sedikit pukul-pukul bola, golf,” ceritanya.

Kemudian, biasanya mereka sekeluarga jalan-jalan ke mal. “Sebenarnya, saya paling nggak suka ke mal. Tapi, ya sedikit menyenangkan anaklah,” kata Sandi yang mengaku tak tertarik terjun ke dunia politik.

Namun, waktu yang singkat itu kadang terampas. Misalnya, akhir-akhir ini menjelang Kongres Hipmi, dia harus lebih sering berkunjung ke daerah, mengonsolidasikan pengurus-pengurus Hipmi di daerah. “Terus terang, saya barusan dimarahi anak. Mereka protes karena akhir pekan kemarin, saya nggak bisa kumpul bareng keluarga,” ujarnya. “Kata anak saya yang kecil, ‘Pa, keluarga kan lebih penting’,” ucapnya menirukan perkataan sang anak.

Sandi lantas tertawa mengingat polah lucu sang anak itu. “Jujur, saya selalu ingin ada di samping mereka. Saya ingin memberikan yang terbaik,” tambahnya dengan mimik serius.

Karena itu, Sandi kerap berangan-angan bahwa sehari itu bukan 24 jam. “Seandainya sehari itu ditambah empat jam saja, tambahan empat jam tersebut akan saya habiskan bersama keluarga,” tegasnya

Jumat, 09 April 2010

Peluang Bisnis Monster Fish


Ikan jenis monster fish merupakan ikan langka yang unik dan belum populer di pasaran. Hampir seluruh monster fish yang ada di Indonesia diimpor dari negara lain terutama negara-negara Afrika atau Amerika Selatan. Hal itulah yang menjadi kendala dalam mengembangkan bisnis monster fish.

"Masih awam banget ya, banyak yang belum tau, kayak tadi, sering orang bilang ikan kita (monster fish) ikan lele, padahal kan bukan," ujar Hanung.

"Ya nggak banyak ya pedangang yang main ikan monster fish kayak gini. Resikonya gede, biaya impor, ongkos masuk," kata Kamil menambahkan.

Menurut Hanung, tantangan terbesar dalam berbisnis monster fish adalah bagaimana menyosialisasikan kepada masyarakat tentang keberadaannya sebagai ikan yang patut diminati. "Tantangan terbesar membuat masyarakat tahu terhadap ikan ini, kenapa bisa mahal, kenapa bisa langka," ujarnya.

Tantangan lainnya, menurut Hanung adalah mengembangbiakkan monster fish yang cukup sulit dilakukan mengingat sebagian besar ikan ini habitat aslinya bukan di Indonesia. Untuk menyiasatinya, Hanung biasanya melakukan riset keadaan air di habitat asli monster fish seperti suhu asli dan kadar keasaman air terlebih dahulu, untuk kemudian membuat habitat tiruan yang hampir mirip habitat asli.

"Kan masih impor, butuh adaptasi dengan lingkungan lokalnya. Tantangannya bagaimana mengembangkan satu jenis. Biasanya kita riset bagaimana rata-rata suhu di Amazon, keasamannya, kita tiru. Nggak mungkin sama persis sih," ujar Hanung.

Ikan golongan monster fish juga bisa terkena penyakit yang tidak umum, berbeda dengan ikan ternakan. "Karena ikan tangkepan alam, banyak penyakit yang nggak umum kayak ikan ternak biasa. Misalnya penyakit pencernaan. Awalnya gak kelihatan, oh ikan ini sehat. Mungkin gara-gara di tempat penampungan sebelum impor tidak dikasih makan, atau makanannya gak cocok," kata Hanung.

Meskipun banyak tantangannya, bisnis monster fish termasuk bisnis yang menjanjikan. Namun membutuhkan waktu relatif lama untuk sukses, tidak bisa hanya dalam setahun sampai dua tahun. "Bisa dibilang menjanjikan tapi nggak bisa dalam setahun, dua tahun. Harus banyak sosialisasi," imbuh Hanung.

Omzet Ratusan Juta dari Manisan Jambu Bangkok


Kalau kebetulan sedang berkunjung ke Medan, Anda bakal menemukan banyak penjual manisan jambu bangkok. Makanan ini merupakan salah satu oleh-oleh favorit khas kota Medan. Maklum, warna hijau cerah manisan ini menggoda. Rasanya pun yahud, apalagi jika dicocol ke bumbu rujak.

Lantaran banyaknya penggemar manisan jambu bangkok, para pengusaha pun berlomba mengejar peruntungan dari bisnis pembuatan dan penjualan manisan ini. Tak hanya di Medan, bisnis manisan jambu biji ini juga cukup marak di daerah lain.

Salah satu pemain di luar Medan yang sukses adalah Daniel Andijaya. Daniel adalah pemilik Trinity, perusahaan pengolah manisan jambu bangkok di Jakarta, yang dia dirikan 2003 silam. Ide Daniel berbisnis manisan jambu bangkok muncul saat ia kangen mencicipi makanan khas Medan itu. “Saya dulu sempat kuliah di Medan,” terangnya. Tapi, dia tidak bisa menemukan makanan itu di Jakarta.

Ia pun lantas nekad mulai berbisnis manisan jambu bangkok. Untuk memodali usahanya itu, Daniel mengorek isi tabungannya. Modal itu ia belikan jambu bangkok dari Cilebut, yang kemudian diolahnya menjadimanisan.

Lalu dia menitipkan penjualan manisan buatannya itu di toko buah milik temannya. Tak disangka, manisan jambu bangkok olahan Daniel laris manis. Maklum, saat itu belum ada pesaing. Bisnis manisan jambu bangkok Daniel berkembang pesat. Bahkan, dia mendapat tawaran memasok produknya di dua jaringan ritel modern besar.

Seiring meningkatnya permintaan, petani jambu bangkok di Cilebut kewalahan memenuhi permintaan Daniel. Itu sebabnya Daniel kemudian memasok jambu biji dari Medan. “Di Medan pasokan stabil, karena kebunnya luas,” papar Daniel.

Kapasitas produksi Trinity memang meningkat pesat. Jika di awal berdiri, Daniel hanya mengolah ratusan kilogram jambu per bulan, kini dia bisa mengolah 30 ton jambu per bulan. Untuk produksi sebanyak ini, Daniel kini mempekerjakan 15 karyawan. Untuk menghasilkan manisan yang sedap, Daniel hanya menggunakan jambu yang tingkat kematangannya 70 persen. Dia menambahkan, jambu yang matang tidak enak dijadikan manisan.

Sebelum dijadikan manisan, jambu dikupas dan dibuang bijinya terlebih dulu. Setelah itu, jambu bangkok dipotong-potong dan direndam dalam air daun suji agar warna hijaunya semakin menyala. Daniel mengemas manisan jambu bangkok menjadi kemasan seberat 7 ons-8 ons. Tak lupa, dia menambahkan bumbu rujak. Daniel menjual manisan tersebut dengan harga Rp 9.000 - Rp 10.000 per emasan ke toko. “Harga jual ke konsumen tergantung toko,” jelasnya.

Daniel mengaku meraup omzet Rp 200 juta setiap bulan dari usaha manisan ini. Pria berusia 39 tahun ini mengaku hanya mengambil margin sebesar 5 persen dari harga jualnya. Cuma, sejak masuk tahun 2009, bisnis penjualan manisan jambu bangkok Daniel tidak terlalu bagus. Penjualan manisan jambu menurun. Dia terpaksa mengurangi pasokan manisan di beberapa gerai ritel modern. “Itu sengaja saya lakukan, kalau tidak saya bisa rugi Rp 6 juta per bulan,” tuturnya.

Pasalnya, selain karena permintaan berkurang, manisan jambu juga termasuk makanan yang tidak tahan lama. Kalau lama tak terjual atau mesin pendingin di toko tidak bagus, manisan jambu akan rusak. Kalau sudah begitu, manisan jambu terpaksa dibuang sebelum terjual

Tine, Mendulang Rupiah Berbekal Idealisme


Mendulang rupiah dengan menjadi wirausaha tak melulu harus mengorbankan idealisme ke tangan logika bisnis. Keduanya bisa seiring sejalan. Tine Mulyatini (40) membuktikan hal itu. Usaha kerajinan Waditra Craft menjadi pengejawantahan segumpal misi untuk mengenalkan alat musik tradisional Sunda.

"Saya risau, tidak banyak orang yang mengetahui khazanah alat musik tradisonal Sunda. Padahal, bentuknya unik dan menarik. Dari situ saya melihat ada peluang usaha untuk membuat miniaturnya," tutur Tine

Waditra Craft dirintis Tine sejak 2005 dengan modal Rp 30 juta. Dia dibantu kedua adiknya, Dadang (32) dan Ari (27), yang mahir membuat barang kerajinan dari kayu. Meski kemudian mendirikan usaha kerajinan berbendera CV Waditra Indojaya, bisnisnya tak kunjung maju. Maklum, kala itu Tine tidak fokus menangani bisnis karena masih bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan tekstil di Bandung.

Baru pada 2008, saat Tine mundur dari posisinya sebagai sekretaris, usahanya perlahan berkembang. Pilihannya untuk total menjadi wirausaha berbuah manis. Jaringan pemasaran Waditra Craft semakin luas.

"Saat itu saya baru sadar, menjadi wirausaha tidak bisa setengah-setengah. Harus fokus. Contoh kecil, karena kala itu saya masih kerja kantoran, saya jadi tidak bisa fleksibel menemui calon pembeli. Padahal, calon pembeli biasanya meminta waktu ketemu saat jam kerja. Akhirnya, banyak order gagal," Tine menceritakan pengalamannya.

Cendera mata Sunda

Kata waditra dalam bahasa Sunda berarti alat musik. Kini, Waditra Craft setidaknya telah memiliki 10 produk miniatur gamelan Sunda, di antaranya angklung, kecapi, rebab, saron, gong, bonang, gambang, dan kendang. Lewat tangan-tangan terampil perajin asuhan Tine, gamelan tradisional dibuat dalam skala mini untuk dijadikan cendera mata.

Bahan baku yang digunakan ialah bambu, kulit, kayu, logam, dan serat kaca. Saat ini, Tine sudah memiliki delapan perajin. Untuk pesanan yang tidak bisa ditangani sendiri, Waditra Craft memiliki tiga rekanan perajin yang mampu memproduksi barang dengan kualitas sama di bawah supervisi Tine langsung.

Seiring dengan semakin dikenalnya kerajinan Waditra Craft di masyarakat, usaha Tine yang pernah menjadi duta seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat pada acara Tong-tong Fair di Den Haag, Belanda, pada 2006 ini semakin besar. Jika saat dimulainya usaha ini pesanan hanya 10 unit per jenis, kini jumlahnya berlipat sepuluh kali menjadi 100 unit. Bahkan ia pernah mengerjakan pesanan cendera mata dari instansi bank yang mencapai 2.000 unit.

Omzet usahanya pun terus meningkat. Kini Tine memperkirakan omzet Waditra Craft mencapai Rp 20 juta per bulan. Dari pendapatan tersebut, laba bersih yang bisa diperoleh sekitar 40 persen atau Rp 8 juta per bulan. Pesanan miniatur gamelan terus mengalir, mulai dari institusi pemerintah, perbankan, hingga kalangan perhotelan. "Karena menyimbolkan budaya Sunda, biasanya produk kami dijadikan cendera mata khas institusi mereka," ujarnya.

Selasa, 06 April 2010

Eksotisme Tas Kulit Ular


Ular merupakan reptil yang menakutkan bagi sebagian orang. Namun, di mata Tina Sofa (37), ular justru memiliki nilai estetis dan ekonomis. Setelah diolah menjadi aksesori, kulit ular terlihat eksotis dan menggiurkan untuk dimiliki. Tina sebelumnya berkarier sebagai pegawai swasta selama tujuh tahun.

Awal tahun lalu, seorang penangkap ular datang ke rumahnya untuk meminjam uang. Tebersit rasa iba, ia pun memberikan sejumlah uang sekaligus menanyakan tentang pekerjaan orang tersebut. Dari situlah muncul ketertarikan terhadap ular.

Ternyata, sangat mudah menemukan ular di persawahan, perkebunan sawit, ataupun hutan. Yang dapat ditangkap adalah yang tidak dilindungi, seperti ular sanca batik atau Python reticulatus. Jenis ular ini memiliki motif kulit yang eksotis berwarna kuning keemasan dan kuning kecoklatan, tetapi harga jualnya cukup tinggi.

Semula, Tina menjadi penampung ular dan kulit ular untuk dijual ke Jakarta. Belakangan, ia baru menyadari bahwa harga kulit ular yang dijual tersebut sangat tidak sebanding jika sudah diolah menjadi produk jadi.

Kalangan pengusaha di Jakarta dan Bali bisa menjual produk tas dan sepatu berbahan kulit ular dengan harga belasan hingga puluhan juta rupiah per buah.

Ia pun terdorong mencari cara untuk memanfaatkan kulit ular menjadi produk siap pakai. ”Saya langsung browsing internet tentang proses penyamakan hingga penjahitan tas dari bahan kulit reptil,” kenang pemilik usaha CV Mitra Kencana Makmur, yang telah terdaftar di Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, itu.

Menurut Tina, sangat sulit mendapatkan tenaga kerja yang mampu menyamak kulit reptil. Apalagi di Kota Jambi, tempat Tina tinggal sejak masa kecil, belum ada industri yang bergerak dalam bidang tersebut. Ia pun mendatangkan tenaga penyamak dari Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Pada uji coba awal, hasil penyamakan ternyata tidak sebaik yang dikira. Kulit menjadi keras dan kaku. Tina begitu kecewa. Terlebih lagi, dua mesin jahit bekas yang dibelinya dari si tenaga penyamak tersebut ternyata rusak.

Namun, Tina tidak putus asa. Ia terus menjelajahi pusat-pusat industri penyamakan kulit. Di Karawang, Jawa Barat, ia mendapatkan seorang buruh penyamakan, yang kemudian diboyong ke Jambi.

Untuk mengolah kulit ular menjadi produk setengah jadi yang berkualitas baik, dibutuhkan proses penyamakan cukup panjang. ”Paling tidak, kami menggunakan sekitar 15 bahan kimia untuk kegiatan penyamakan. Prosesnya bisa berlangsung seminggu lamanya untuk menyamak setiap kulit,” ujar Tina.

Prosesnya memang cukup rumit. Untuk menghasilkan bahan kulit yang lentur, bersih, bebas lemak, dan tidak amis, dilakukan perendaman berulang-ulang dengan bahan kimia tertentu.

Setelah itu, kulit diwarnai sesuai dengan selera dan digilas mesin khusus untuk membuat kulit terlihat mengilap. Barulah kulit kemudian dijahit menjadi tas yang cantik dan terlihat eksotis.

Modifikasi dengan batik

Selain tas, Tina juga mengolah kulit ular dan biawak menjadi sepatu, dompet, sabuk, topi, sarung telepon seluler, dan tempat kartu nama. Di rumahnya, taplak meja Tina juga terbuat dari kulit ular.

Tina kemudian membuat tas kulit reptil yang dimodifikasi dengan batik khas jambi. Kini, ia berencana memadukan tas kulit dengan bahan rotan dan eceng gondok.

Usaha kerajinan kulit reptil ini baru delapan bulan dijalankan Tina dengan menggunakan merek TM (Tina Mitra). Usaha ini berkembang dengan cepat. Dalam sebulan, jumlah pesanan mencapai rata-rata 20 tas, belum termasuk dompet dan aksesori lainnya.

Sebagian besar pesanan datang dari kalangan wanita yang gemar berbelanja. Mereka memesan lewat internet dan ada juga yang datang langsung ke etalase tas kulit di rumahnya yang beralamat di Jalan Adityawarman, Thehok, Kota Jambi.

Menurut Amelia Masniari, penulis buku Miss Jinjing, Pantang Mati Gaya, tas hasil produksi Tina sangat rapi dan tidak kalah dengan tas-tas kulit ular yang diproduksi merek dunia, seperti Adriana Castro dan Bottega Veneta.

Padahal, produk-produk berkelas internasional tersebut dijual dengan harga di atas Rp 50 juta. Sementara Tina menjual tas kulitnya dengan harga paling mahal Rp 3 juta per buah.

Amelia pun selalu membawa Tina bersama tas-tas kulitnya, ikut roadshow peluncuran buku ketiganya tersebut ke sejumlah kota.

Produk tas kulit reptil Tina sangat eksklusif. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Batanghari ini hanya membuat satu unit untuk setiap jenis dan warna. Sebagian besar pembuatan tas didasarkan hasil pesanan.

Calon pembeli umumnya mencontoh desain produk dari luar negeri yang harganya puluhan juta itu. ”Ada yang kami buat dengan desain sendiri. Ada juga yang mereka kasih contohnya, lalu kami buatkan di sini. Hasilnya, mereka tetap puas karena kualitas bagus, tetapi harga jauh lebih murah,” ujar wanita yang memiliki tujuh karyawan di bengkel tas reptilnya itu.

Sejauh ini, ibu lima anak ini belum dapat memenuhi jumlah pesanan besar. Pasalnya, jumlah tenaga kerja yang memadai dalam bidang penyamakan dan penjahitan tas kulit sangat sulit didapatkan. Sementara proses pembuatan satu tas bisa memakan waktu dua hingga tiga pekan.

Minggu, 04 April 2010

Menangguk Miliaran Rupiah dari Sarang Burung Walet


Kawasan Ujung Kulon atau wilayah Banten Barat diam-diam menyimpan potensi bisnis yang bernilai tinggi. Di kawasan ini banyak ditemukan usaha rumah sarang burung walet yang sudah berlangsung belasan tahun lalu.

Burung walet terkenal dengan sarangnya yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga tak mengherankan banyak investor yang membenamkan investasi di bidang rumah sarang burung walet. Beberapa tempat seperti Sumur, Citeurep, Cibaliung, Cikeusik dan lain-lain banyak ditemukan usaha rumah sarang burung walet.

Berdasarkan penelusuran di kawasan Sumur Ujung Kulon, Pendegelang setidaknya ada 6 rumah sebagai usaha sarang burung welet. Pemiliknya umumnya berasal dari investor asal Jakarta.

Rouf salah seorang warga Sumur yang bekerja bertugas menjaga dan merawat salah satu rumah burung walet milik investor asal Jakarta, menuturkan bisnis sarang burung walet sangat menjanjikan dan memiliki banyak tantangan. Selain harus memiliki modal besar hingga ratusan juta rupiah, si investor harus pandai mengelola rumah walet agar tetap betah dihuni oleh walet.

Namun jika sudah berhasil menjalankan bisnis ini, uang ratusan juta hingga miliaran rupiah bisa hinggap dengan mudahnya ditangan. Maklum saja dengan harga sarang burung walet Rp 27-30 Juta per kg (200 sarang), dengan produksi 5-6 kg sarang walet setiap bulannya sudah terbayang berapa pendapatan yang bisa diperoleh.

Ia menjelaskan sebagai langkah awal investor harus mencari rumah yang sudah dihuni walet atau membangun baru minimal dengan tinggi rumah 4 lantai (minimal 20 m x 35 m). Bagi gedung baru, tantangannya adalah bagaimana mengundang walet untuk bersarang di rumah baru.

Rouf menjelaskan biasanya untuk mengundang walet dibutuhkan alat audio atau suara peniru walet yang dipasangkan di rumah, selebihnya dilakukan rangsangan lainnya seperti aroma, kotoran walet, udara lembab dan lain-lain. Jika sudah berhasil, ketika walet sudah betah tinggal, maka dalam waktu setahun sarang burung walet sudah bisa dipanen.

"Di Sumur kalau bikin rumah walet pasti diisi, tidak ada yang gagal," kata Rouf sumringah saat ditemui detikFinance di kediamannya di Desa Sumur Jaya, Ujung Kulon, Pandegelang, akhir pekan lalu.

Ada hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola sarang burung walet, yaitu rumah walet harus bebas dari hama pengganggu walet antaralain tikus, toke dan kecoa. Selain itu gedung harus diberi fentilasi udara dan dilengkapi 1 hingga 2 pintu keluar masuk walet dengan ukuran 1 m x 15 cm.

Bagi investor yang ingin berspekulasi, jika rumah sudah terisi walet maka nilai jual rumah walet bisa meningkat ratusan persen. Misalnya ia mencontohkan bagi investor telah menghabiskan modal hingga Rp 1 miliar maka dalam setahun rumah walet bisa dijual Rp 3-4 miliar.

Dikatakannya selama ini produksi sarang burung walet kawasan Ujung Kulon diekspor ke Singapura dalam bentuk mentah. Padahal kata dia, sarang burung walet yang berasal dari air liur walet itu, akan lebih menggiurkan lagi jika diolah terlebih dahulu menjadi barang setengah jadi atau barang jadi karena akan memberi nilai tambah lebih besar.

"Kami mengharapkan, kenapa tidak dibuat pabrik pengolahan sarang walet di sini, kan bisa menambah pembukaan lapangan kerja. Jadi tidak perlu ekspor barang mentah lagi," katanya.

Ia juga mengatakan sebagai orang yang berurusan dengan walet, ia tidak terlalu tahu banyak hasil manfaat burung walet. Namun kata dia secara tradisional burung walet biasa menyembuhkan sakit panas dan pengobatan kulit oleh masyarakat sekitar.

Risiko Sindikat Pencurian Sarang Walet

Mengiurkannya usaha sarang burung walet bukan berarti tanpa risiko, salah satu risiko yang sering mengancam dari usaha ini adalah sindikat pencurian sarang burung walet yang terorganisir rapih. Jika tak hati-hati, potensi keuntungan ratusan juta bisa hilang dalam hanya sekecap.

Menurut Rouf, sindikat para pencuri burung sarang walet, biasanya mengerahkan banyak cara untuk mendapatkan targetnya. Tak jarang para sindikat tersebut main mata dengan petugas penjaga sarang burung walet.

"Dulu saya pernah diajak kerjasama, tapi saya tolak. Mereka (sindikat pencuri) juga senang kerjasama dengan garong," katanya.

Untuk menjaga keamanan sarang burung walet dari tangan-tangan jahil, gedung biasanya hanya dilengkapi satu lubang pintu besi berukuran kecil untuk keluar masuk penjaga. Pintu dibuat dua lapis untuk memastikan keamanan dengan menggunakan kode akses pintu sehingga sulit bagi pencuri untuk masuk.

Ia menambahkan umumnya para kawanan pencuri sarang burung walet sudah terorganisir dan memiliki jaringan yang kuat. Lagi-lagi diduga bos kawanan pencuri itu berasal dari jaringan di Jakarta, sehingga ancaman bagi investor cukup tinggi.

"Investor yang baik, biasanya dengan masyarakat sekitar sangat dermawan. Setiap tahunnya memberikan bantuan,masyarakat merasa memiliki dan melindungi rumah walet itu," katanya.