Ebiz Ads

Sabtu, 28 Mei 2011

Sukses Berbisnis Oleh-oleh Beromzet Miliaran


Membawa oleh-oleh bagi sebagian besar orang Indonesia seperti menjadi kewajiban saat baru pulang bepergian dari luar kota maupun luar negeri. Setiap wilayah, konsep oleh-oleh berbeda-beda dengan karakteristik yang khas, misalnya berupa makanan maupun minuman.

Menurut Syamsul Huda, pengusaha oleh-oleh makanan olahan apel asal Malang, berbisnis oleh-oleh sangat menjanjikan asalkan mengerti strateginya. Syamsul mengganggap, segmen pasar oleh-oleh harus dibedakan dengan segmen produk secara umum.

"Kalau produk oleh-oleh kualitasnya harus tinggi, maka harga jualnya juga tinggi, desain harus menarik. Tapi kalau produk lain harganya murah dengan kualitas di bawah (standar)," kata Syamsul kepada detikFinance beberapa hari lalu di Malang.

Menurutnya, kelebihan dari bisnis oleh-oleh, produknya pasti dicari banyak orang sehingga pemasarannya relatif mudah. Meskipun biasanya segmen pasar ini hanya terbatas pada wilayah tertentu saja.

"Kami mengincar pasar oleh-oleh, pasar oleh-oleh bagaimana mengangkat Kota Batu Malang sebagai kota wisata," katanya.

Dari sisi variasi produk, segmen pasar oleh-oleh memang mau tidak mau harus memiliki keterbatasan jenis. Produk yang dijual haruslah khas wilayah setempat, karena jika tidak, konsumen akan bingung menentukan produk apa yang pas untuk oleh-oleh.

Namun kondisi semacam seperti ini bukan berarti harus membatasi kreasi seorang pebisnis. Berdasarkan pengalaman Syamsul, untuk mengembangkan usaha, seorang pengusaha produk oleh-oleh harus juga memiliki produk non oleh-oleh untuk segmen pasar umum, dengan konsekuensinya harus bermain di harga yang lebih miring.

"Di samping ada kripik apel, kita juga ada pia apel khusus untuk semua segmen pasar. Ke depannya selain pia, kita juga mau mengembangkan biskuit apel, permen apel dan lain-lain," katanya.

Menurutnya saat ini oleh-oleh khas Batu Malang masih berkutat pada produk makanan olahan seperti kripik apel dan sari buah apel. Dengan masuk segmen produk di luar oleh-oleh, Syamsul mengaku harus menyiapkan perangkat modal yang lebih besar dan perizinan yang lebih kompleks.

"Sementara ini produk-produk saya masih di Jawa Timur, belum berani ke luar karena belum ada modal," katanya.

Keberhasilan Syamsul menggeluti produk makanan olahan apel bukan lah isapan jempol belaka. Bisnis produk olahannya terus berkembang, selain kripik apel, sari apel, jenang (dodol) apel, ia juga membuat kripik nangka, kripik nanas, kripik salak, kripik mangga, kripik rambutan, dodol nanas, dodol sirsak, dodol nangka, dodol strawberry dan lain-lain.

"Kebetulan setiap tahun naik, 5% sampai 15%. Dengan omset per bulan Rp 110 juta," katanya.

Syamsul yang memulai bisnis makanan olahan apel sejak 2001 ini, tertarik dengan bisnis oleh-oleh karena dihadapkan oleh kondisi suramnya sektor pertanian apel Batu Malang sepuluh tahun lalu.

"Yang menjadi latar belakang kondisi budidaya apel tahun 2001, terjadi penurunan, sudah jenuh tanah. Produktivitas turun dan kualitas juga. Ini merugikan petani. Perlu ada sentuhan teknologi pengolahan pangan," ucap pria lulusan Unisma Fakultas Pertanian ini.

Ia mengaku, produk olahan apel pertamanya adalah jenang atau dodol apel, pada waktu itu ia hanya bermodal Rp 4 juta. Selama dua tahun pertama bisnis jenang apelnya masih kembang kempis alias baru sampai tahap balik modal.

"Tahun berikutnya saya buat ekspansi pasar dan modal dengan minjam uang dari bank. Saya memulai beranikan diri pinjam dana Bank Mandiri dan Bank Jatim. Ternyata sebuah keberhasilan harus berani dulu dan mengambil risiko," kenang Syamsul.

Setelah dapat suntikan dana segar dari bank, bisnis Syamsul kian melaju pesat sejalan berkembangnya aneka produk yang ia buat. Mulai dari situ ia banyak mengembangkan berbagai aneka produk kripik termasuk kripik dan jus apel.

"Sekarang total variasi produk sudah ada 15 macam. Cara menembus pasar, saya melakukan kegiatan promosi di daerah Malang Raya. Saya ikut promosi kegiatan pameran di dinas," katanya.

Syamsul kini sudah memiliki 72 karyawan padahal awalnya hanya 2 orang karyawan. Produk-produk yang ia jual relatif terjangkau untuk segmen oleh-oleh yaitu dimulai dari Rp 2.000 sampai Rp 22.000 per bungkus.

Keberhasilan Syamsul bukan hanya dinikmati oleh dirinya dan karyawannya, namun para petani yang menyuplai bahan baku apel pun ikut kecipratan moncernya bisnis olahan apelnya. Misalnya dalam hal harga jual apel, Syamsul memberikan harga relatif lebih bagus dari pada harga pembelian dari tengkulak yaitu berkisar Rp 5000-7000 per Kg.

"Kita ada mitra kerja binaan kelompok tani apel yang menjadi mita kerja. Kalau dibeli tengkulak harganya murah. Ada tergabung 41 petani, kita juga ada paket wisata selain melihat produksi olahan apel, pengunjung juga bisa melihat perkebunan apel," jelasnya.

Selama ini Syamsul mampu menghabiskan 500 kg apel untuk dijadikan kripik dan sari buah. Menurutnya suplai apel tak menjadi masalah meski produksi turun hingga 25%.

"Justru yang jadi masalah adalah suplai nangka, salak, rambutan karena bukan musim, padahal permintaaan banyak," kata pria yang mengaku mengolah apel secara otodidak ini.

Menurutnya permintaan produk olahan apel dan buah lainnya terus naik, bahkan pada musim liburan bisa naik hingga 30%. Dengan margin hingga sampai 20-30%, Syamsul mengaku begitu menikmati masa keemasan bisnisnya saat ini.


Syamsul Huda
CV. Bagus Arista Mandiri
Jl. Kopral Kasdi 2 Bumiaji Kota Batu, Malang.
Email: huda_bagus@yahoo.co.id

Kamis, 26 Mei 2011

Juragan Lintah Beromzet Jutaan Rupiah


Menjijikkan tapi menguntungkan. Begitulah slogan Midin Muhidin, pengusaha dari Depok, Jawa Barat, dalam mengibarkan usaha lintahnya. Di tangannya, binatang penghisap darah ini justru membawa berkah dan rezeki. Baru setahun lebih usahanya berjalan, ia sudah bisa mengantongi omzet hingga Rp 120 juta per bulan.

Sebelum memulai bisnis lintah, Midin Muhidin adalah seorang karyawan di semuah perusahaan perakitan pompa minyak dan gas dengan jabatan document controller and HSE safety. Bosan menyandang status karyawan kantoran dengan rutinitas jam kantor dan penghasilan pas-pasan selama tujuh tahun, ia pun memutuskan untuk berwiraswasta.

Midin lantas meninggalkan pekerjaannya. "Dengan jam kerja yang fleksibel, membuat saya punya lebih banyak waktu luang bagi diri sendiri," kata Midin. Pria kelahiran 15 Juli 1972 ini kemudian berburu informasi mengenai komoditas yang paling menguntungkan untuk dibudidayakan. Sampai suatu ketika, Midin melihat peluang usaha lintah secara kebetulan.

Ceritanya, saat itu, dia mengantarkan orang tua angkatnya yang sakit stroke stadium tiga untuk terapi lintah di Depok. "Ajaib, setelah dua kali terapi, orang tua saya menunjukkan perubahan yang signifikan, hampir sembuh total dan bisa berjalan lagi," ujar Midin.

Sejak itu, ia mulai yakin khasiat terapi lintah. Dari hasil ngobrol sana-sini dengan banyak terapis lintah, ternyata mereka selama ini kesulitan mencari binatang penyedot darah itu karena pemasoknya masih jarang. Apalagi yang membudidayakan sendiri. "Saya pikir, ini peluang bisnis yang sangat bagus," kata Midin.

Akhirnya, Midin memulai usaha pada September 2009 dengan modal Rp 10 juta. Ia memakai dana ini untuk biaya renovasi lahan dan pembelian 500 indukan lintah seharga Rp 1,5 juta. Dia pun membangun badan usaha CV Enha Farm untuk peternakan lintahnya.
Beruntung, lahan budidaya lintah yang ia pakai seluas kurang dari satu hektare di daerah Limo, Depok milik saudaranya. Jadi, Midin tidak perlu membayar sewa. "Saya hanya menumpang lahan," ungkap dia.

Di awal-awal usaha, teman-temannya banyak meragukan keberhasilan budidaya lintah. "Bisnis lintah saat itu masih tergolong asing dan terapi lintah ketika itu juga belum banyak yang tahu," imbuhnya.

Tetapi, Midin jalan terus sambil mempelajari manfaat lintah sebagai alat terapi dari bermacam referensi secara otodidak. Hasilnya, terapi lintah ternyata sudah sangat populer dalam dunia kedokteran di pelbagai negara, seperti Rusia, China, Jerman, dan Prancis. Bahkan, menurutnya, bangsa Mesir kuno sudah mempraktekkan pengobatan alami ini. Fungsi lintah untuk mengisap darah kotor yang ada di dalam tubuh manusia. Itu sebabnya, terapi lintah bisa mengobati bermacam penyakit termasuk diabetes dan stroke. Saat lintah menyedot darah kotor, binatang tersebut juga melepas zat hirudinnya yang berfungsi sebagai antikoagulan yang dapat mencegah penggumpalan darah.

Tapi, tak sembarang lintah bisa dipakai untuk terapi. Hanya lintah jenis Hirudo medicinalis atau Hirudo spinalis yang bisa digunakan sebagai sarana terapi. Di Indonesia, lintah ini dikenal dengan nama lintah kerbau. Lintah kerbau hanya hidup di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Makanya, negara-negara barat selalu mencari lintah kerbau ke tiga negara tersebut dengan jumlah permintaan yang tinggi. "Thailand dan Malaysia sudah lebih dulu mengekspor lintah," tutur Midin.

Menurut Midin, budidaya lintah cukup mudah lantaran tidak membutuhkan lahan yang luas. Biaya budidaya pun sangat murah. Ia bisa menampung sekitar 1.000 ekor lintah dalam satu bak berukuran 2x3 meter hanya dengan memberi pompa oksigen. Air diganti setiap dua pekan sekali. Risiko paling besar hanya polutan seperti asap rokok yang mampu menimbulkan risiko kematian si lintah.

Pakan lintah antara lain belut hidup. Lintah menghisap darah belut saban dua pekan. Perhitungannya, 20.000 lintah butuh 4 kilogram belut yang harga sekilonya Rp 52.000. Pembiakan hewan hermaprodit ini gampang saja, karena cepat berkembang biak. Alhasil, dua bulan pertama mengawali usaha, Midin sudah mendapatkan banyak lintah. Panen pertama, dia meraih omzet Rp 50 juta.

Kewalahan memenuhi lintah kering

Permintaan lintah untuk terapi memang sangat banyak. Di bulan ketiga, Midin sudah mencetak omzet hingga Rp 75 juta. Sebulan kemudian, penjualannya mencapai Rp 100 juta. Di awal tahun 2010, CV Enha Farm sudah mencatat penjualan lintah Rp 120 juta per bulan.

Ia menjual 10.000 lintah per pekan untuk terapi dengan harga Rp 3.000 per ekor. Dari total penjualan Rp 120 juta sebulan, Midin mengantongi keuntungan hingga separuhnya, Rp 60 juta.

Kesuksesan yang diraihnya dalam waktu sekejap membuat banyak orang terinspirasi mengikuti jejaknya. Kini, bermunculan pembudidaya hewan pengisap darah ini. Namun, Midin tak menganggapnya sebagai saingan. "Saya yakin setiap pembudidaya sudah memiliki jaringan masing-masing," ujar pria 39 tahun ini.

Lagipula, ia yakin pasar untuk lintah dan berbagai produk turunannya masih terbuka lebar. "Pasokan dari pembudidaya masih belum cukup memenuhi permintaan," ujar Midin.
Midin sudah memasok lintah ini untuk banyak terapis di seluruh Indonesia. Para terapis sendiri lebih gampang mendapat pasokan. Sebelum Midin memasok secara rutin, para terapis ini harus mencari lintah dari alam. "Lintah-lintah itu harus dikarantina dulu supaya lebih higienis untuk terapi," kata Midin. Sementara lintah-lintah dari Enha Farm lebih terjaga kebersihannya.

Midin juga mempromosikan usahanya ke pasar ekspor melalui situs lintahindonesia.com. Dari situs inilah beberapa permintaan lintah kering masuk.
Awal tahun 2010, Midin pun sudah mengekspor lintah kering ke berbagai negara sambil memasok lintah untuk terapis lokal. Dalam sepekan, Midin menjual 10.000 lintah berumur delapan bulan hingga lima tahun ke terapis lokal. Selain itu, Midin pun menjalin kerjasama dengan produsen minyak lintah lokal. Kini, kerjasama dengan pengolah minyak lintah ini sudah berjalan dua tahun.

Midin pun pernah mengirim 50 kilogram lintah kering untuk bahan baku kosmetik ke China. Lintah-lintah kering ini akan diolah kembali menjadi tepung. Puas dengan lintah-lintah kering yang dikirim Midin, pembeli dari China ini menginginkan pasokan kontinyu. Midin pun mendapat pesanan satu ton lintah kering per bulan dengan masa kontrak dua tahun. "Tapi terpaksa saya tolak karena tidak ada stok," kata Midin.
Padahal, lintah-lintah yang berasal dari Indonesia termasuk lintah kelas mahal dan berkualitas. Kondisi lembab dan curah hujan yang cukup stabil membuat lintah betah tinggal di Indonesia. Lintah tumbuh baik pada wilayah beriklim tropis dengan kelembaban 30 persen.

Karena keterbatasan kapasitas produksi itulah kini Midin hanya mengekspor rutin ke Korea Selatan 500 kilogram lintah kering tiap bulan. Untuk mendapatkan 500 kilogram lintah kering, Midin harus menyediakan 2,5 juta lintah basah.

Proses pengeringan lintah ini cukup sederhana. Midin hanya perlu menjemur lintah yang minimal berusia enam bulan di basah terik matahari. Penjemuran ini memakan waktu sehari hingga kering. Midin bilang, harga lintah kering di pasar internasional berkisar antara 250 dollar AS hingga 400 dollar AS per kilogram. Jadi, sebulan Midin bisa mencetak pendapatan ekspor lintah kering ini hingga Rp 1,8 miliar.

Meski sudah mengekspor lintah kering, Midin tetap melayani para terapis lintah yang sudah menjadi langganannya. "Karena permintaan ini datang setiap hari," kata Midin. Lagipula, kalau dihitung-hitung, harga lintah segar untuk terapi ini lebih bagus daripada harga lintah kering ekspor.

Selain memasok bahan mentah dan setengah jadi, Midin pun berniat memproduksi produk turunan lintah. Saat ini, produk-produk turunan lintah Midin sedang dalam proses sertifikasi Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sejak November 2010 lalu Midin sudah tidak sendirian memasok lintah untuk berbagai kebutuhan dari peternakan sendiri. Ia mengajak puluhan petani umuk bermitra dengannya. Ia pun memberi pelatihan. Kini, para petani sudah memasok lintah secara rutin.

Jenuh Diperintah Orang, Raup Ratusan Juta di Rumah


Bisnis catering masih menjanjikan. Pasar yang luas, plus keuntungan yang menggoda. Meski demikian, bukan berarti bisa digarap asal-asalan. Cita rasa dan harga tetap menjadi modal utama agar bisnis ini bertahan. Keahlian meracik kuliner yang didapat Edy Purwanto di sejumlah kapal pesiar dan hotel berbintang menjadi modal awal pengusaha yang mengusung bendera Pandan Leaf Catering ini.

Semua bermula dari kejenuhannya bekerja di bawah perintah orang lain. Edy mengaku lebih dari 18 tahun menggeluti dunia kuliner dan merasa jenuh keliling dari satu kapal pesiar ke kapal pesiar lain, dari satu hotel ke hotel lain.

"Setelah punya jaringan, tahun 1997 saya beranikan diri membuka usaha pribadi dengan ikut tender Rumah Sakit Pelabuhan Surabaya atau Port Health Center. Saya menang tender, dari situlah semua berawal," kenang Edy saat ditemui di kediamannya di kawasan Wonosari Kidul, Surabaya.

Sampai saat ini order terus mengalir, tidak hanya dari instansi, tetapi juga dari paket pernikahan. Dalam sebulan, ia bisa meraup omzet rata-rata tak kurang dari Rp 200 juta. Harga untuk catering reguler mulai Rp 7.000 hingga Rp 15.000. Sedangkan paket wedding ditawarkan mulai Rp 25.000 per orang.

"Paling besar kontribusinya dari wedding service. Kalau yang reguler, saya melayani acara-acara instansi pemerintah dan perusahaan swasta serta buka kantin di Unesa (Universitas Negeri Surabaya)," ujar alumnus Akademi Perhotelan Satya Widya Surabaya, Jurusan Tata Boga, ini.

Edy menjalankan usaha catering ini dibantu 18 karyawannya. Menu yang ia racik mulai masakan Indonesia, Chinese food, Thailand food, hingga European food. "Saya menerima segala menu masakan. Soal pemasaran dan sumber permodalan, saya serahkan ke istri. Istri dulu kerja di tenaga pemasaran Bank Danamon, jadi saya punya akses untuk permodalan sampai sekarang," jelas pria kelahiran 13 Maret 1973 ini.

Suami Swary (40) ini melihat potensi bisnis catering yang masih terbuka lebar dengan perkembangan bisnis yang relatif mudah. Orang selalu butuh makan di setiap kesempatan. Tinggal bagaimana mengemas makanan itu dan membidik segmen yang pas, maka keuntungan akan terus mengalir.

"Tingginya permintaan catering untuk wedding membuat saya tertarik mengembangkan bisnis ke arah one stop wedding service. Jadi tidak hanya melayani catering, tapi juga meng-organize, mulai dekorasi, penyediaan electone dan penyanyinya," lanjut bapak satu putra ini.

Modal awal yang ia butuhkan pada 1997 cukup besar, sekitar Rp 200 juta. Sebagian hasil tabungan dan sisanya pinjam ke bank. Selain Bank Danamon, ia juga mengajukan pinjaman ke Bank Mandiri. "Kalau catering ditangani setengah-setengah, hasilnya tidak maksimal. Saya memang mau total menanganinya," imbuh Edy.

Setiap hari, ia melayani catering buat 450 karyawan di sebuah perusahaan swasta dan kantin di Universitas Negeri Surabaya. Untuk order wedding rata-rata 2-4 klien ditanganinya setiap minggu.

"Bahan baku semuanya lokal. Kalau harga bahan baku sedang mahal, harus pandai-pandai menyiasati. Seperti cabe rawit yang kemarin sampai Rp 100.000 per kg, kami siasati pakai cabe kering dan cabe merah besar," katanya.

Untuk urusan karyawan, Edy mengaku tak terlalu sulit mencari karyawan. "Karyawan sudah saya anggap keluarga. Makan dan tidur juga di rumah, karena bekerjanya kan mulai dini hari. Mereka juga tahu dapuran resep masakan saya gimana. Alhamdulillah mereka loyal. Persaingan karyawan catering saat ini juga ketat, jadi kita harus bisa beri perlakuan lebih agar mereka juga memberikan yang terbaik," ucapnya.