Ebiz Ads

Jumat, 12 Maret 2010

Pengguna Internet Tidak Manfaatkan Peluang Bisnisnya


Pengguna Internet di Indonesia saat ini sekitar 25 juta dan disayangkan baru sebatas pengguna (user).mereka belum banyak memanfaatkan peluang bisnis di bidang telematika itu.

"Negara maju seperti Jepang, industri telematika sudah sangat pesat. Bahkan, keuntungan dari game one line saja mencapai Rp 10 triliun per tahun," ungkap Direktur Industri Alat Transportasi Kementerian Perindustrian Ramon Bangun, sebagaimana dikutip dalam siaran pers yang dikeluarkan Humas Pemko Bogor, Kamis (11/3/2010) sore.

Ramon Bangun menyatakan hal itu saat membuka pelatihan di bidang Teknologi Informasi untuk UKM dan Interoperabilitas, bagi jajaran Pemerintah Kota Bogor di Balaikota Bogor.

"Dengan pengguna mencapai 25 juta, Indonesia berada di peringkat ke-5 pengguna internet di Asia. Ini peluang besar bagi para pengusaha telematika di Indonesia untuk mengembangkan usahanya baik ditingkat lokal maupun Internasional," katanya.
Sekretaris daerah Kota Bogor H.Bambang Gunawan mengatakan, sejauh ini sudah banyak usaha-usaha kecil sukses berkembang, karena kegiatan marketing dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Dengan memanfaatkan internet, mereka mempromosikan produk yang dibuat atau produk yang dijual, sekaligus mereka bertransaksi untuk pembelian bahan baku produk maupun bertransaksi penjualan produknya. Pengusaha akan sulit mengelola dan mengembangkan bisnisnya kalau tidak pernah mau mempergunakan teknologi informasi.

Dia berharap, melalui pelatihan ini akan mampu meningkatkan kemampuan para pengusaha UKM di Kota Bogor dalam menghadapi perdagangan bebas Asean China saat ini.
Adapun Kepala Bidang Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Dinas Perhubungan dan Kominfo, Hermansyah mengatakan, pelatihan itu memang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan para pelaku UKM dan aparat Pemerintah Kota Bogor, termasuk lurah, dalam bidang teknologi informasi.

Tahap pertama pelatihan untuk pelaku UKM sebanyak 20 peserta selama 3 hari (11-13/3/2010). Tahap kedua pelatihan Interoperabilitas untuk aparatur Pemerintah Daerah Kota Bogor sebanyak 60 orang (11-20/3/2010). Materi pelatihan di antaranya pembuatan website toko online, internet marketing, dan banner animasi.

Kamis, 11 Maret 2010

Komunitas Djadoel, dari Hobi ke Bisnis


Dalam suatu mimpi, Yanuar Christianto (39) datang ke sebuah toko mainan. Secara fisik, bangunanya sama sekali tidak menarik. Berdebu dan kotor. Hal serupa juga tampak dari mainan yang dijual, layaknya dagangan yang tak kunjung laku.

Ketika mentari telah bersinar, tanpa menghiraukan mimpinya, ia berkeliling Jakarta dengan sepeda motornya. Arah mana yang ia tuju hasil dari bisikan hatinya. Berjalan dan terus berjalan, melewati Jalan Gajah Mada lalu ke Jalan Hayam Wuruk, dan terus menuju ke Utara. Sampai di suatu tempat, yang ia sendiri tidak tahu di mana, Yanuar kaget tak terkira. Saat ia memberhentikan motornya untuk istirahat, dan menoleh ke kiri, tampak olehnya toko mainan yang ada dalam mimpinya.

Masih dengan rasa tidak percaya, Yanuar mengayunkan langkah menuju toko tersebut. Belum sempat ia bersuara, matanya telah menangkap kardus lusuh berisi mainan-mainan. “Saya borong semuanya. Ini terjadi pada akhir tahun kemarin,” kata Yanuar, Sang kolektor mainan.

Yanuar adalah salah satu anggota Komunitas Djadoel, komunitas pencinta barang antik, yang berdiri pada Mei 2009. Ia mengaku laki-laki yang kesehariannya bekerja sebagai waitress di Kapal Pesiar berbendera Italia ini dari umur 5 tahun gemar mengumpulkan barang. Didukung pekerjaannya, koleksinya berasal dari banyak negara seperti Italia, Malta, Spanyol, Perancis, Inggris dan Jerman. “Kalau di jalan saya menemukan skrup atau baut, saya bawa pulang dan ditaruh dalam kotak korek api. Sampai banyak,” papar Yanuar.

Anggota komunitas lainnya, Muchlis Amir (57) juga mengumpulkan barang antik bermula dari hobi. Dari sekian banyak barang, ia memilih kalender untuk dikoleksi. Dalam perjalana waktu, kalender koleksinya yang mulai tahun 1940-1980 banyak dicari orang. "Mereka ingin tahu hari lahirnya kapan. Juga apakah bertepatan dengan hari besar (agama maupun nasional). Di kalender juga ada hari pasaranya,” ujar pensiunan pekerja swasta ini.

Lebih lanjut, anggota komunitas ini tidak sekadar mengumpulkan barang. Tetapi juga menjualnya, karena pasar untuk barang-barang antik cukup menjanjikan. Menurut Daniel Supriyono, Ketua Komunitas Djadoel, meski barang jadul, namun pemeblinya tidak hanya orang-orang berumur, tepai anak baru gede dan juga anak-anak kecil pun menjadi pasar. “Anak kecil suka pada mainan. ABG yang ingin bergaya jadul beli kaca mata berlensa gede. Sedangkan Kakek nenek (selain) nostalgia juga diberikan untuk cucunya untuk memperkenalkan barang pada zamannya” tutur Daniel yang juga wartawan Nova, kelompok Gramedia Majalah.

Baik Yanuar, Muchlis maupun Daniel sama-sama memahani jika sebagaian orang keberatan kalau barang antik mahal. Padahal hanya barang “bekas.” Menurut Daniel, mencari untung wajib hukumnya saat menjual barang koleksinya. Tapi perhitungan untung tersebut bukan sekadar nilai ekonomi tetapi perjuangan mendapatkannya dan nilai kesejarahannya. “Untung harus berlebih karena barangnya tidak selalu didapat. Mahal itu sebagai penghibur saat kami menyerahkan barang yang sulit didapat dan kami miliki,” tuturnya.

Orang-orang yang tergabung dalam komunitas Djadoel ini sebenarnya bisa dikatakan sudah mapan. Ada yang bekerja di perusahaan media, bengkel mobil, designer grafis dan ada juga di departemen keuangan. Selain itu tidak semua barang koleksi mereka dijual. "Laku syukur, gak ya gak apa-apa," ucap Daniel.

Masing-masing kolektor memilih barang tertentu untuk dikoleksi, seperti buku, iklan film, jam weker, (bungkus) rokok, kalender, mainan, fashion, perabotan rumah tangga, kacamat, kaset sampai ke aksesoris sepeda ontel. Kategori antik jika barang yang bersangkutan paling muda tahun 1980. Untuk harga, misalnya komik lokal Rp 20.000, gelas PRJ 1979 dihargai Rp 35.000, kacamata Rp 100.000 dan iklan film Rp 50.000. Adapun untuk mainan, sebagaimana dijual Yanuar mulai dari Rp 50.000 – Rp 200.000. “Yang saya koleksi sendiri, tahun 2007 saya beli mainan robot Jepang Rp 200.000. Setelah saya cek di internet ternyata sekarang harganya 1.000 dollar AS,” aku Yanuar.

Para kolektor ini tidak pernah menyangka hobinya mengumpulkan barang yang sebagian besar orang menganggapnya sampah ternyata memiliki nilai ekonomi. Lebih dari itu, ketekunan mereka membuat rantai sejarah bangsa terus turun dari generasi ke generasi. Setidaknya, mulai dari keluarga merekalah rantai itu diteruskan untuk memupuk rasa cinta dan bangga pada tanah air karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. “Anak saya, sering saya ajak ke museum dan galeri. Juga saya ajak untuk gemar membaca,” pungkas Yanuar.

Rabu, 10 Maret 2010

Semua Pakai Nasi Pecel, Bukan Bensin


Berbeda dengan tempat tidur impor Amerika Serikat yang harganya mencapai ratusan juta, tempat tidur kayu jati buatan Pak Basuki asal Malang yang di pamerkan di pameran furniture 2010 Jakarta Convention Center, Minggu (21/2/2010) harganya hanya Rp 26 juta lengkap dengan meja riasnya.

Harga-harga mebel yang dijual Pak Basuki memang tak semahal mebel impor. Namun, kualitas mebel buatannya tak kalah dengan mebel impor. "Wah bisa selamanya (dipakai), makin lama makin mahal, bisa jadi barang antik," kata Basuki.

Semua mebel yang diproduksi industri rumahan Basuki Lacasa dibuat dengan tangan Basuki dibantu tujuh orang pekerjanya. "Semua pakai nasi pecel, bukan bensin," ujar Basuki mengibaratkan.

Karena mengandalkan keahlian tangan tersebut, untuk menghasilkan sebuah mebel seperti tempat tidur, dibutuhkan waktu cukup lama dan menguras tenaga. "Paling lama tempat tidur, sekitar 1,5 bulan. Oh sama kaligrafi surat Yasin, empat bulan setengah satu biji," tutur Basuki.

Meskipun begitu, Basuki tahan menggeluti bisnis ukir mengukir sejak 30 tahun yang lalu. Untuk memperkenalkan barang seni pakai produksinya itu, Basuki mengaku sengaja mengikuti pameran furniture di JCC meskipun biaya menyewa stand di pameran diakuinya cukup mahal. "Nyewanya saja mahal.Belum tentu nutup modal, ini cuma perkenalan saja, nasibnya pengusaha kecil," ujarnya.

Terlihat barang-barang yang dipamerkan Basuki semua terbuat dari kayu seperti jati dan mahoni dengan ukiran tangan yang unik. Ada tempat tidur, bangku, cermin, kaligrafi, patung kuda, lukisan timbul, serta permainan anak-anak tradisional seperti dakon seharga Rp 1,2 juta.

"Saya senang membuat permainan jaman dulu. Cublak-cublak suweng divisualkan ke kayu. Enggrang, dakon, biar pemuda-pemuda tau, mainan dulu kayak gitu," ujar Pria usia 70 tahun berambut putih itu.

Selasa, 09 Maret 2010

Mencuil Bisnis 'Lick Me Baby'


Waralaba tak melulu makanan dan minuman. Waralaba pernah-pernik boneka ala "Lick Me Baby" ini pun menarik untuk Anda lirik. Bentuknya unik karena 'mengemas' manusia dalam boneka.

Waralaba ini dikembangkan oleh vivi dan suaminya Kusnadi Halim Salim. Dengan transfer inovasi dari Jepang, Vivi mengolah foto manusia menjadi 3 dimensi kemudian ditempelkan pada tubuh boneka dengan berbagai variasi yang lucu-lucu.

"Kita mulainya November 2009. Pertama dari Singapura kemudian ke Timur Tengah, Filipina, Australia, baru ke Indonesia. Orang-orang kita kan kalau nggak dari luar dulu biasanya nggak mau," ujar Vivi.

Saat ini, bisnis yang mengusung nama "Lick Me Baby!" ini baru memiliki outlet di Plaza Semanggi. Rencananya pertengahan Maret akan dibuka di Mall Ciputra dan awal April di Medan.

Bisnis inipun merambah melalui jalur franchise dengan modal investasi sebesar Rp 65 juta.

"Dari Rp 65 juta itu dapat pushcart (gerobak), mesin 3D, netbook, printer, dan kamera digital," jelasnya.

Mengenai bagi hasilnya, Vivi menyatakan pihaknya hanya mendapatkan uang dari hasil produksi karena pihaknya yang menyediakan seluruh bahan baku yang diimpornya langsung dari Jepang.

"Bagi hasilnya per harga produksi, kita tidak ada royalti," tegasnya.

Harga per item boneka ini berkisar Rp 49-179 ribu dengan omzet per harinya mencapai Rp 600 ribu. Sampai saat ini, ungkap Vivi, pihaknya tidak memiliki kendala apapun dalam menjalankan bisnis karena belum ada kompetitor yang memiliki barang yang sama.

"Kendala kayaknya nggak ada karena pesaing sampai sekarang belum ada ya," tukasnya.

Senin, 08 Maret 2010

Raup Ratusan Juta dari Bisnis Bantal


Bantal dan guling sudah menjadi kebutuhan mutlak sebagai perangkat untuk tidur. Tapi kini, perangkat untuk tidur seperti bantal dan guling sudah tidak lagi monoton dengan dengan bentuk yang itu-itu saja. Dengan ragam warna dan bentuk yang inovatif, perangkat tidur memiliki tren tersendiri layaknya tren busana.

Beberapa bantal inovasi yang telah sukses di pasaran seperti bantal cinta, bantal selimut atau bamut dan guling selimut atau gulmut. Adalah Natalinda Budi Rahayu yang sukses menjadi produsen bantal inovasi ini sejak 2005. Bahkan, merek dagangnya yang bernama Bale-Bale sudah ia pantenkan sejak tiga tahun lalu. Saat ini kapasitas produksi bantal inovasinya ini mencapai 7.000 unit per bulan. Omzetnya bisa sampai Rp 500 juta per bulan.

Sejalan dengan mematenkan produknya itu, Linda panggilan akrab Natalinda, menawarkan peluang kemitraan bagi masyarakat. Jika ingin menjadi mitra atau agen resmi Bale-Bale, calon mitra harus menyiapkan kocek Rp 25 juta untuk bisa menjual merek resmi Bale-Bale. Biaya kerjasama sebesar itu untuk kurun waktu lima tahun.

Selain itu, mitra juga harus membeli produk Bale-Bale pertama kalinya dengan nominal minimal Rp 25 juta. Kira-kira dengan biaya sebesar itu, mitra akan mendapat 100 unit campuran produk bamut, gulmut dan bedcover. Linda tidak menetapkan biaya royalti bagi mitranya. Bahkan uniknya, ia memberikan garansi selama satu tahun uang dan barang kembali jika ternyata bisnis ini tidak menguntungkan bagi mitra

Minggu, 07 Maret 2010

Bakso Cak Eko Ingin Go International


Tak hanya penyanyi Agnes Monica saja yang go international, ternyata waralaba bakso malang 'Cak Eko' juga ingin merambah dunia internasional. Waralaba milik Henky Eko Sriyantono yang akrab disapa Cak Eko ini ingin go international ke negara-negara ASEAN.

Cak Eko mengatakan rencananya untuk go international ini akan direalisasikan tahun 2010 ini. Namun rencananya ini tidak begitu mulus, dirinya sedang ngebut memenuhi persyaratan legal dan transfer pengetahuan.

"Karena harus transfer knowledege, legal, jadi 6 bulan itu paling cepat," katanya.

Maju terus pantang mundur adalah kalimat tersebut yang pantas terlontarkan untuk Henky Eko Sriyantono atau biasa dipanggil Cak Eko. Sepuluh kali gagal dalam berbisnis, rupanya tidak mengalahkan semangatnya untuk kembali memutar modalnya dalam dunia tersebut.

Cak Eko memulai bisnis bakso malangnya di sebuah pelataran Pujasera di Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat sekitar tahun 2006 dengan bermodalkan Rp 2,5 juta.

"Saya itu menjalankan bisnis dengan modal-modal kecil, tapi frustasi mah pasti pernah, modal jualan bakso awalnya Rp 2,5 juta. Saya cuma bikin gerobak, numpang di pujasera,bagi hasilnya 60% untuk saya 40% untuk yang punya tempat," ujarnya.

Sebelumnya, Cak Eko pernah merambah bisnis pakaian muslim, tanaman jahe, katering, kerajinan barang atik, dan sebagainya. Namun, karena penerimaannya tidak berjalan dengan lancar, dia menghentikan bisnis tersebut. Dengan bermodalkan hobi masaknya sejak SMA, Cak Eko mulai berinovasi ke dunia kuliner dengan membuat usaha bakso Malang tersebut.

"Gagalnya itu mungkin segmen yang saya bidik kurang, waktu katering karena konsumen bosan dengan menu yang saya putar-putar, cash flow-nya tidak harian jadi tidak lancar," ceritanya.

Hanya dalam kurun waktu 10 bulan, bisnis bakso Cak Eko berkembang dengan pesat. Sekitar Oktober 2006, dia mulai mengembangkan brand-nya melalui sistem franchise. Hingga saat ini sekitar 120 outlet Bakso Malang Kota "Cak Eko" tersebar di Indonesia.

"Alasannya untuk memperkenalkan brand dan bagi-bagi rezeki," tuturnya.

Untuk outlet yang tersebar itu, dirinya memberikan bakso dan olahan siomay dan batagor dengan bumbu-bumbu yang telah disiapkan secara instan dalam bentuk bubuk. Terdapat 3 tempat produksi untuk memenuhi permintaan dan suplai ke outlet-outlet.

"Ada 3 tempat produksi, Surabaya untuk menyuplai ke Indonesia Timur, Sidorjo untuk Indonesia Tengah, dan Jakarta untuk Indonesia Barat. Resep rahasia ada keluarga yang saya percaya untuk meng-handle di 3 tempat itu jadi karyawan tidak tahu,"ungkapnya.

Kesuksesan Cak Eko membuat dirinya dipanggil untuk berbagi pengalaman dalam sekolah enterpreneurship bersama Rhenald Khasali. Dia bergabung dalam sekolah ini agar tidak ada orang yeng mengalami pengalaman buruk seperti dirinya dalam berbisnis.

"Supaya mereka tidak mengalami hal yang sama dengan saya sampai 10 kali gagal," kenangnya.

Menurut Cak Eko, kegagalan dalam berbisnis itu bisa disebabkan beberapa hal, seperti kesalahan memilih mitra. Selain itu, bisnis yang pendapatannya tidak harian juga bisa berpotensi kegagalan. Begitu pun karena tidak memisahkan keuangan pribadi dengan bisnis.

"Saya waktu itu tidak memisahkan uang pribadi dan usaha, jadinya kacau," jelasnya.

Cak Eko mengimbau dalam berbisnis, jika terjadi kenaikan harga, sebaiknya pebisnis jangan terlalu terburu-buru menaikkan harga, karena daya beli masyarakat belum tentu naik. Selain itu, pemula sebaiknya jangan terpengaruh dengan iming-iming keuntungan besar dalam berbisnis padahal mereka tidak tahu ilmu mengenai bidang yang akan digelutinya itu.

"Banyak yang tidak tahu ilmu langsung terjun, hanya diming-imingi keuntungannya karena saat ini banyak yang ingin sukses secara instan, prosesnya tidak dilewati langsung lompat-lompat saja. Ini yang jadi masalah," jelasnya.

Untuk mengatasi kompetitor, Cak Eko menyarankan untuk memberikan perbedaan dalam kualitas produk. Hal ini memerlukan inovasi. Selain itu, perlunya penguatan brand melalui promosi.

"Untuk mengatasi kompetitor, menciptakan perbedaan dengan kompetitor melalui kualitas dan promosi. Kuncinya di inovasi dan menjaga kualitas," ujarnya.