Ebiz Ads

Jumat, 26 Februari 2010

Adi Kharisma, Pencipta Olahan Ubi Ungu


Kesehatan itu mahal harganya. Slogan inilah yang membuat Adi Kharisma mengubah jalan hidupnya dari seorang pengusaha ritel sukses beromzet miliaran rupiah menjadi seorang penjual aneka makanan dan minuman dari ubi ungu. Dalam dunia pangan lokal, nama Adi Kharisma sudah cukup terkenal. Pria asli Bali ini sukses memperkenalkan nasi dan es krim dari ubi jalar sebagai salah satu kekuatan makanan lokal sekaligus sebagai produk makanan yang sehat.

Gara-gara inovasi produk dari ubi jalarnya ini, Adi Kharisma memperoleh penghargaan dari Dewan Pangan Italia. Tak hanya itu, sebagai duta pangan lokal, Adi juga sudah menyambangi Jepang dan Fiji untuk mempresentasikan produk jus dan sirup ubi ungunya.

Adi sendiri tak menyangka prestasinya bakal sebesar itu. Sebab, inovasi produk pangannya ini lahir dari ketakutannya terhadap kanker. Sampai tahun 1995, ada tujuh kerabat Adi termasuk ibu, paman, mertua serta kakaknya yang terkena penyakit kanker.

Karena dekat dengan orang-orang tersebut, Adi pun turut menyaksikan melihat pola makan mereka. “Ternyata pola makan yang salah merupakan penyebab terbesar terjadinya kanker,” ujar pria 50 tahun ini.

Adi pun kemudian banyak membaca buku-buku kesehatan. Ia tak ingin istri dan anaknya ikut menjadi korban. Maka, lima tahun berselang, Adi masih berkutat mempelajari aneka macam bahan makanan yang bisa memerangi kanker.

Tahun 2000, Adi menemukan resep diet dengan menjalankan pola makan sehat. Ia mulai menjauhi aneka sea food, daging merah serta memperbanyak sayur dan buah. “Daging yang saya makan hanya daging ayam dan ikan,” ujarnya. Pengaruh bagi kesehatan Adi sangat signifikan. “Sampai sekarang, pilek pun saya tak pernah,” ujar pria berperawakan tinggi besar ini.

Karena yakin dengan hasil dietnya ini, Adi pun kemudian mencoba merambah bisnis virgin coconut oil (VCO) sejak tahun 2004. Sayang, bisnis minyak kelapa itu kandas di tengah jalan. Padahal, Adi sudah menggelontorkan uang Rp 100 juta-an untuk mempelajari aneka hal tentang budidaya kelapa dan pengolahannya. “Para petani hanya mau menjual kelapa. Tidak mau dibina untuk memanfaatkan sabut, batok, air serta daging kelapanya,” keluh anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini.

Namun, pada tahun tersebut, usaha Adi yang lain sangat sukses. Bisnis distribusi makanan dan minumannya menyumbang duit Rp 1,5 miliar per bulan ke kantongnya. Belum lagi pemasukan dari 10 convenient mart, empat gerai warung soto, serta satu gerai waralaba Subway Sandwich di Australia.

Gagal menjalani bisnis kelapa, Adi pun banting setir melirik ubi jalar ungu. Pasalnya, makanan yang berwarna ungu, hitam atau kemerahan mengandung zat antosianin yang ampuh memerangi kanker. Karena itu, sejak tahun 2006, Adi fokus menggeluti usaha pengolahan makanan dari ubi jalar ungu.

Saat ini Adi mengelola dua gerai penjualan produk makanan dari ubi jalar di Bali dan di Jakarta dengan omzet sekitar Rp 50 juta sebulan. Satu per satu bisnisnya yang lain pun ia lepas. “Untuk distribusi barang, saat ini dipegang istri saya,” ujarnya. Sementara convenient mart, warung soto, serta gerai waralaba Subway Sandwich-nya sudah sudah ia lepas.

Beralih ke bisnis kuliner ubi jalar

Gagal mengembangkan bisnis kelapa, Adi Kharisma beralih ke bisnis kuliner ubi jalar. Di bisnis barunya ini, Adi sukses mengembangkan aneka makanan dari ubi, terutama ubi ungu. Namun, ia harus bersaing ketat dengan para pesaingnya.

Kegagalan bisnis kelapa yang pernah dijalaninya membuat Adi Kharisma memetik pelajaran berharga. Salah satunya, ia merasa harus berubah dan berani keluar dari zona nyamannya. Apalagi, menurut Adi, dari seluruh jumlah manusia di bumi ini, hanya 20 persen yang ingin dan berani melakukan perubahan itu.

Tak mau tenggelam dalam kegagalannya, pria kelahiran Bali 50 tahun silam ini kemudian mengalihkan bisnisnya ke pengolahan aneka umbi-umbian. Untuk memulai usaha ini, masalah yang pertama-tama ia hadapi adalah pasokan bahan baku. Untuk mengatasinya, Adi berencana bekerja sama dengan para petani di Yogyakarta.

Ada alasan mengapa ia membidik petani-petani di Kota Gudeg itu. Menurut Adi, selama ini produksi umbi-umbian dari Yogyakarta cukup besar. Misalnya saja umbi yang lazim dikenal dengan nama gembili.

“Namun sayang, penanaman umbinya lama, bisa sampai delapan bulan,” kata Adi. Karena itu, akhirnya ia memilih mengolah ubi jalar. Sebab, selain sudah banyak ditanam, ubi ini juga mudah dibudidayakan.

Ada alasan penting lain mengapa ia akhirnya memilih ubi jalar, yaitu karena ubi jalar mengandung banyak zat antosianin yang bisa mencegah kanker. “Antosianin itu berguna untuk mengencerkan darah yang kental serta menyerap racun dan polusi di darah,” ujarnya.

Namun, hingga sekarang ini Adi masih mengandalkan pasokan ubi jalar dari beberapa petani lokal di Bali. Selain itu, ia juga memiliki kebun sendiri seluas 1,5 hektare “Saat ini dalam sebulan saya butuh lebih dari tiga ton ubi jalar,” ujarnya.

Sebelum memulai bisnisnya, Adi mengaku melakukan eksperimen sendiri selama enam bulan. “Selama itu, saya makan semua hasil eksperimen saya,” kenangnya sembari tertawa. Produk pertamanya yang keluar adalah nasi ubi ungu, lalu disusul dengan es krim ubi ungu dan brownies ubi ungu.

Ada pula pebisnis lain yang membuat olahan ubi ungu ini dan menjadi pesaing Adi. Pebisnis tersebut, antara lain, ada di Malang. Di kota tersebut sudah ada dua toko yang menjual aneka olahan ubi ungu. Itu sebabnya, setelah Pulau Bali, ia lebih memilih merambah Jakarta daripada merambah pasar di dekat Bali.

Selain itu, untuk menyiasati persaingan, Adi kemudian membuat produk ubi jalar dari empat warna ubi jalar yang ada, yaitu ungu, putih, kuning, dan oranye. “Dengan begitu saya jadi produsen makanan dari ubi yang pertama mengolah ubi empat warna,” ujarnya senang.

Ketika meritis pasar di Bali, Adi memakai toko warisan keluarga yang ada di Jalan Teuku Umar, Denpasar, untuk menjajakan aneka produk makanannya. Namanya Warung Sela Boga.

Namun, tempat yang dulunya merupakan pusat jajanan itu ternyata tidak cukup ramai. Adi hanya mengantongi omzet Rp 30 juta-Rp 50 juta setiap bulannya. Maka dari itu, tahun 2008 silam, Adi merambah Jakarta dan mendirikan warung di daerah Bintaro Sektor 1, Jakarta Selatan. Ia menyewa warung kecil dengan tarif Rp 1,5 juta per bulan.

Kamis, 25 Februari 2010

Meneguk Untung dari Bisnis Es Dawet


Es dawet memang khas Banjarnegara, Jawa Tengah. Namun, bukan berarti minuman segar dengan campuran cendol, santan, dan gula itu tak bisa berkembang di daerah lain.
Nun jauh di Sumatera Utara, Hafiz Khairul Rigal, penduduk asli Medan, menjadikan minuman ini sebagai bisnisnya. Orang Medan itu bahkan agresif menawarkan kemitraan es dawet di wilayahnya. Hafiz memilih nama usaha Es Dawet Cah mBanjar untuk usaha dawet yang ia tekuni sejak 2007.

Ia mengaku memang harus mencontek resep kawannya, orang Banjarnegara. Namun, ia memodifikasi resep tersebut dengan campuran nangka, cincau, ketan hitam, atau tape, walaupun tetap menggunakan bahan gula merah asli dari Banjar. Sementara itu, tepung beras, daun suji (pandan), dan santannya bisa dia dapat di Medan.

Sukses dengan 25 gerobak di Medan, Hafiz mulai menawarkan kemitraan. Cara dagang yang ia gulirkan sejak September 2008 menghasilkan 74 mitra baru di wilayah Medan dan Banda Aceh.

Tertarik menjadi mitra? Hafiz mensyaratkan calon mitra menyiapkan biaya Rp 6 juta. Mitra mendapat satu gerobak komplet dengan semua perlengkapan penjualan, seragam, dan training penyajian es dawet.

Hitungan Hafiz, dalam sehari, mitra bisa meraup omzet Rp 300.000, dengan perkiraan penjualan 100 gelas sehari. Harga segelas antara Rp 3.000 dan Rp 7.000, tergantung jenisnya.

Dengan omzet itu, dipotong bahan baku, gaji tenaga penjual, dan royalty fee 2 persen dari omzet, maka keuntungan bersih mitra minimal Rp 2.250.000 per bulan.

Kalau pendapatan segitu kurang nendang, Anda bisa memilih menjadi agen besar. “Keagenan ini lebih tepat untuk luar Medan,” sebutnya.

Calon agen harus menyiapkan investasi awal Rp 35 juta. Dengan jumlah itu, agen akan mendapat tiga gerobak di awal beserta peralatan memasak dawet. Selanjutnya, agen bisa merekrut mitra maksimal hingga 20 gerobak.

Agen berhak memakai nama Cah mBanjar selama 3 tahun. Setiap bulan, mitra harus menyetor royalty fee 1,5 persen dari omzet per gerobak ke manajemen pusat.

Selain dari penjualan sendiri, agen besar ini bisa meraup 10 persen dari penjualan bahan es dawet kepada para mitra di bawahnya. Selain itu, agen mendapat bagian 0,5 persen dari royalty fee mitra, dan komisi Rp 1 juta untuk setiap mitra yang berhasil direkrut.

Alween, salah satu mitra Cah mBanjar di Medan, mengaku bisa menjual sekitar 100 gelas es dawet dalam sehari.

“Pasarnya memang bagus, tapi harus pandai memilih tempat yang ramai dan punya potensi pembelinya,” sebut Alween yang juga seorang mahasiswi Universitas Sumatera Utara yang membuka gerai di dekat perpustakaan kampusnya

Petakumpet, dari Komunitas Menjelma Jadi Biro Iklan Papan Atas


Karya-karya Petakumpet yang banyak terpampang di berbagai sudut Jogjakarta, media, maupun di tempat-tempat strategis sebenarnya sudah menggambarkan sebesar apa perusahaan itu. Belum lagi, sederet penghargaan yang berhasil disabet dalam berbagai kompetisi di dunia periklanan. Tapi, siapa yang menyangka kelahiran PT Petakumpet berawal dari sebuah komunitas.

Petakumpet berangkat dari sebuah komunitas mahasiswa Desain Komunikasi Visual FSR ISI Jogja angkatan 1994. Terbentuk kali pertama sebagai sebuah komunitas pada 1 Mei 1995. Komunitas itu hanya bermarkas di studio kecil di Pakuncen, Jogja. Anggotanya kurang lebih 25 orang. Kala itu, order kecil-kecilan mulai didapat dengan promosi dari mulut ke mulut.

Waktu itu banyak anggota masih aktif sebagai mahasiswa ISI Jogja. Sejak membentuk studio kecil tersebut, anggotanya kuliah sambil bisnis kecil-kecilan. Antara lain, memproduksi stiker, sablon, poster, spanduk, dan komik. Mereka bermimpi di kemudian hari menjadikan Petakumpet sebagai tambang uang.

Demi mengejar mimpi, seluruh order dan usaha pengembangan bisnis dilakoni. Akibatnya, banyak ''penghuni'' Petakumpet yang memutuskan cuti kuliah tanpa batas waktu yang jelas. Mereka kompak mengejar mimpi-mimpi itu. ''Hanya bermodal keberanian dan semangat, dipadukan dengan kerasnya dengkul,'' ujar Executive Creative Director PT Petakumpet Creative Network Arief Budiman.

Namun, siapa sangka, itu merupakan awal berdirinya Petakumpet yang mulai dikenal di kalangan periklanan. Sejat saat itu, Petakumpet mulai aktif mengadakan atau mengikuti pameran sebagai wujud komunikasi dan interaksi melalui media desain grafis dan ilustrasi. Aktivitas tersebut mampu mewarnai setiap individu di dalamnya. Mereka menjadi memiliki keterikatan secara moral dan etika untuk menjaga nama baik komunitasnya.

Konsep studio juga memberikan banyak kemudahan dan kebebasan. Namun, ikatan yang longgar bagi anggota justru menyebabkan kelambanan bergerak, kesulitan pengelolaan, dan mengganjal pertumbuhan komunitas menjadi besar. Akhirnya, malah banyak anggota yang mengalami keputusasaan sehingga tak sedikit yang sibuk dengan usaha sendiri-sendiri di luar.

Dari gejala-gejala itulah, muncul pemikiran bagaimana agar energi kreatif yang dimiliki anggota lebih efektif. Dari situ mulai berpikir membuat nama Petakumpet dikenal lebih luas, serta memperbaiki manajemen. Tak bisa hanya mengandalkan bentuk komunitas yang kalau pekerjaannya selesai, untungnya langsung dibagi-bagi. ''Kalau koordinatornya adil, kemungkinan tak menjadi masalah. Kalau tidak, bisa bertengkar hebat antarteman,'' imbuh Arief.

Lalu, pada September 1999, lima orang di dalamnya, Arief, Itok, Eri, Yudi, dan Bagoes, sepakat mereinkarnasi komunitasnya menjadi perusahaan bernama Petakumpet AIM (advertising,illustration, multimedia). Dengan berubah menjadi perusahaan, mulai ada aturan main, prosedur kerja, job description, sekaligus upah yang jelas. Dengan hanya bermodal dua komputer 386 DX, satu scanner, satu printer, dan sebuah kompresor, markas dipindah dari daerah Pakuncen ke rumah yang harus ditempuh melewati gang sempit di daerah Sorowajan.

Dalam perkembangannya, kata Arief, perusahaan itu melewati berbagai rintangan yang tak bisa dihindari. Di antaranya, ketiadaan modal yang cukup serta SDM dan link bisnis yang terbatas. Berkat semangat untuk maju, berbagai tantangan berhasil dilalui. Singkat cerita, dengan semangat itulah, pada 7 Maret 2003, perusahaan kecil tersebut resmi menjadi badan usaha berbentuk perseroan terbatas dengan nama PT Petakumpet. Dengan staf yang sudah mencapai 45 orang, perusahaan itu memiliki armada yang lengkap untuk memberikan servis kreatif di bidang AIM.

Arief dan kru Petakumpet yang lain sepakat menganggap bisnis ide adalah bisnis yang paling murah karena tak harus mengeluarkan modal rupiah. Tak disangka, pertumbuhan Petakumpet begitu cepat. Jumlah kliennya terus bertambah. Dari awalnya 12 institusi dan personal, kini lebih dari 350 klien. Petakumpet juga sudah memiliki dua kantor besar di Sleman, Jogja, dan di Bellagio Boutique Mall, Mega Kuningan, Jakarta.

Selasa, 23 Februari 2010

Putu, dari Laptop Pinjaman Sekarang Omzet Miliaran


Berawal dari sebuah ruangan dan laptop pinjaman seorang teman, Putu Sudiarta membangun penyebaran teknologi dengan cara unik ke seluruh Indonesia hingga mancanegara. Bahkan, PT Bamboomedia Cipta Persada di Jalan Merdeka, Denpasar, Bali, sebagai aktualisasi karyanya itu pun tak pernah sepi dari kunjungan mahasiswa sampai rekan bisnis kecil dan besar. Lalu, keunikan apa yang membuatnya beromzet miliaran rupiah sejak berdiri tahun 2002 lalu?

Putu Sudiarta yang berperawakan tinggi, kurus, dan berpenampilan sederhana ini pun langsung menunjuk ke sebuah lemari kaca di salah satu sudut ruangan rapat di kantornya. ”Ini adalah lemari sejarah perjalanan Bamboomedia,” katanya sambil tersenyum.

Di dalam lemari itu tersimpan beberapa disket, telepon rumah, brosur-brosur, CD, kabel internet, beberapa buku, serta sebuah hair dryer. Barang-barang tersebut yang mengawalnya menjadi dikenal di dunia teknologi informasi. Ia sendiri pun tak menyangka bisa sebesar sekarang dan banyak pebisnis dan puluhan mahasiswa teknik informatika dengan beberapa bus dari luar Bali mengunjunginya karena penasaran dengan siapa di balik Bamboomedia.

Bamboomedia Cipta Persada dikenal sebagai penghasil perangkat lunak (software) aplikasi komputer untuk perkantoran, pelajar, karyawan, perusahaan besar ataupun kecil, sampai ke anak-anak. Intinya, perusahaan ini hanya mementingkan pendidikan dan bagaimana aplikasi ini bisa menyebar secara benar, baik, mudah, dan murah tanpa batas.

Bayangkan, Putu Sudiarta hanya menjual CD aplikasinya itu mulai harga Rp 25.000 per keping dan kurang dari Rp 50.000 per keping. Tidak berhenti di situ, aplikasinya juga boleh diakses oleh siapa pun dari CD, hanya dengan mendaftar atau membayar sejumlah uang sesuai harga CD tanpa harus datang ke kantornya.

”Kami ingin siapa pun bisa mudah untuk belajar meski jaraknya jauh dari sini. Buktinya, kami memiliki pelanggan di daerah Papua yang hanya dengan mengirimkan pesan singkat untuk mendapatkan nomor registrasi dan transfer uang. Satu CD bisa dipakai berulang kali,” jelasnya.

Sebelum memutuskan pulang ke pulau kelahirannya, Bali, Putu Sudiarta menyelesaikan S-1 di Jurusan Informatika Stikom Surabaya, Jawa Timur, dan pernah bekerja di kota itu. Ia yang lahir dan besar dari keluarga cukup mampu ini mulai merasa iba ketika suatu saat menemui lingkungannya yang serba kekurangan, termasuk sulitnya siswa mengakses teknologi.

Dari pengalaman itu, Putu Sudiarta bertekad mencari cara bagaimana ilmu yang selama ini dia geluti juga bisa dinikmati oleh mereka yang minim bangku pendidikan.

Menurut dia, dunia akan terus berkembang. Namun, apa artinya jika ada bagian dari negara ini masih serba kekurangan hanya karena tak memiliki kemampuan menjangkau dan dijangkau dari perkotaan.

Ia pun bertekad pulang ke Bali. Selanjutnya bersama seorang adik dan seorang temannya, Putu Sudiarta menggalang kekuatan menembus pasar dengan menjual beberapa aplikasi yang sudah disusun secara mudah untuk dicerna dan diikuti tanpa merasa digurui.

Bermodalkan persis sama seperti di ”lemari sejarah”-nya, Putu Sudiarta yang gemar masakan Padang ini terus menggali potensi. Sejak tahun 2002 hingga sekarang, ia sudah menyabet beberapa penghargaan edukasi untuk produk-produknya.

Koleksi produknya pun sudah sekitar 108 produk. Omzetnya pun bisa jutaan rupiah dan pernah mencatat sampai Rp 1,6 miliar. Tapi menurut dia, lagi-lagi ini merupakan bagian dari perjalanan. Baginya, kegigihan menjadi salah satu motivasinya agar air itu pun terus mengalir.

Saat awal membangun Bamboomedia dia hanya berbekal laptop pinjaman untuk menembus pasar melalui Gramedia pada tahun 2003. ”Wah, kala itu bergaya sekali memamerkan aplikasi produk kami kepada pihak Gramedia di salah satu tokonya di Denpasar ini. Padahal, laptopnya pinjaman. Siapa yang tahu, kan?” ujarnya sambil sedikit berkelakar.

Menembus Microsoft

Mimpinya menembus pasar melalui Gramedia pun terkabul. Lalu bagaimana dia bisa pula menggaet Microsoft, perusahaan teknologi informasi besar itu?

Menurut Putu Sudiarta, itu lagi-lagi merupakan sebuah keberuntungan yang tak terkira. Dengan ilmu coba-coba, ia menelepon kantor Microsoft. Singkatnya, setelah diminta menghubungi ini dan itu, dia berangkat ke Jakarta dan lagi-lagi harus memperagakan produknya.

Ia berhasil. Microsoft bersedia menggaetnya sebagai salah satu vendor bisnis. Uniknya, banyak perusahaan bisnis besar yang telah ditembusnya selalu tak percaya dengan keberadaan kantor Bamboomedia yang hanya sebuah rumah sebelum menempati kantor besarnya di kawasan mewah Renon, Denpasar, sekarang ini.

Distribusinya pun terus berkembang hingga ke seluruh pelosok Tanah Air. Termasuk sedikitnya 30.000 perusahaan kecil dan menengah yang sudah menggunakan produknya. Ini juga berawal dari kepedulian dan keprihatinannya terhadap pembajakan.

Bayangkan, jelasnya, para perusahaan kecil dan menengah ini bisa menjadi sasaran empuk dari mereka yang tidak punya hati dengan pembajakan atau permainan harga.

”Kasihan kan, perusahaan kecil dan menengah ini tak bisa maju hanya karena alasan membeli aplikasi untuk usahanya saja mahal sekali. Bisa sampai jutaan rupiah. Kami tidak menginginkan itu. Kami melayani dan memberikan aplikasi yang mudah dan murah agar bisa maju bersama. Bisa menghemat karena cuma dengan puluhan atau kurang dari satu juta rupiah, usaha tetap berjalan dengan aplikasi modern,” katanya

Minggu, 21 Februari 2010

Rustono, "King of Tempe" Jepang dari Grobogan


Perjalanan dalam udara dingin musim gugur ke daerah pegunungan di Katsuragawa yang terletak sekitar 30 kilometer dari Kyoto adalah perjalanan yang menyajikan keindahan alam Jepang.

Jalan menanjak berliku dihiasi pepohonan momiji yang daunnya mulai memerah cerah di sepanjang jalan. Kabut meliputi puncak-puncak gunung dan hutan pinus lalu berakhir di sebuah lembah hijau. Rumah tradisional Jepang beratap rumbia tebal masih tampak di sana-sini dengan tamannya yang khas seakan bersatu dengan alam. Itulah awal perjumpaan saya dengan Rustono (41), sang Raja Tempe, sebagaimana teman-teman Jepang menyebutnya.

Di kawasan desa yang indah inilah konotasi yang menyepelekan tempe, seperti sebutan bangsa tempe atau mental tempe, sirna. Dari sinilah tempe mulai dikenal dan merambah hampir ke seluruh Jepang. Kemasan seberat 200 gram dengan label Rusto’s Tempeh bergambar ilustrasi suasana kehidupan kampung di Jawa tersebar di berbagai toko swalayan di Jepang.

Semangat dari kerinduan

”Kampung halaman di tanah kelahiran memang selalu mendatangkan rindu,” Rustono menjelaskan ketika ditanya tentang lagu favoritnya itu. ”Dan berdendang dengan tiupan saksofon adalah alunan suara jiwa paling dalam,” tambahnya.

Kerinduan akan tanah kelahiran di sebuah kota kecil Grobogan, nun jauh di pedalaman Jawa Tengah dengan hamparan sawah dan hutan jati, rupanya masih saja mengusik Rustono meskipun sudah 13 tahun dia menetap di Jepang.

Bagi Rustono yang alumnus Akademi Perhotelan Sahid (masuk tahun 1987), kerinduan tersebut bukanlah bernuansa sendu berlarut-larut, melainkan pembawa semangat menentukan keputusan jalan hidup.

Tahun 1997, setelah enam tahun bekerja di Hotel Sahid Yogyakarta, perubahan jalan hidup mulai menunjukkan arahnya. Ketika sebuah grup wisatawan Jepang berkunjung ke Yogya, seorang bidadari dari Negeri Matahari Terbit, Tsuruko Kuzumoto, yang tinggi semampai berkulit kuning langsat menambat hati Rustono. Dan rupanya dia tidak bertepuk sebelah tangan. Tahun itu juga berangkatlah Rustono menyusul ke Jepang dan mulai menempuh hidup barunya di Kyoto.

Berbagai pekerjaan pernah dia lakukan. Dari bekerja di perusahaan roti sampai ke perusahaan sayur-mayur. Di situ Rustono banyak memerhatikan etos kerja karyawan Jepang. Selain penuh tanggung jawab, mereka juga berupaya mencapai target dan ikut serta dalam menjaga kualitas produksi. Pun Pemerintah Jepang sangat teliti dengan secara periodik memeriksa kualitas produksi, meninjau perusahaan, sampai memerhatikan kebersihan ruangan, termasuk peralatan dan meja kerja.

Menurut pengamatan Rustono, makanan adalah kebutuhan paling pokok kehidupan manusia. Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan diproduksi di Jepang dan industrinya sangat maju. Terbetik dalam pikiran Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang belum ada di Jepang. Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa makanan dari kedelai yang rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.

Jadilah dia mencoba membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang pernah dia kenal. Selama empat bulan dia berkutat mencoba membuat tempe, dengan ragi dari Indonesia dan kedelai Jepang, tetapi selalu gagal. Hingga kemudian dengan menggunakan air dari sumber mata air di kediaman mertua, dia berhasil membuat tempe.

Perjalanan panjang

Jalan untuk mencapai keberhasilan usaha yang dia tempuh sangatlah panjang dan terjal. Meskipun berhasil dalam percobaan membuat tempe, dia belum yakin benar. Pastilah itu bukan hanya karena menggunakan air asli dari mata air langsung.

Setelah anak pertamanya, Noemi Kuzumoto, berusia tiga tahun, dengan izin istrinya Rustono kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk belajar membuat tempe kepada 60 perajin tempe di seluruh Jawa.

Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi rahasia pembuatan tempe, tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman para perajin tempe di Jawa Tengah. Misalnya, kenapa tempe bisa lebih terasa gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus dengan daun bambu atau daun pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa menghasilkan fermentasi tempe dengan baik.

Yang kemudian tak kalah berat adalah memperoleh izin produksi di Jepang. Dia harus melalui penelitian dan tes di laboratorium, hingga harus memenuhi kesanggupan bertanggung jawab atas kualitas dan kandungan bahan produksi sesuai dengan yang tertera di kemasan bahwa kandungan gizi tempe kedelai setara dan kandungan gizi daging, termasuk mematuhi peraturan daur ulang kemasan.

Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui adalah soal menghadapi iklim alam di Jepang. Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam cuaca kelembaban 60 persen hingga 90 persen, yang tentu saja tidak masalah di Indonesia. Di Jepang yang mempunyai empat musim, mempunyai kelembaban udara yang dibutuhkan tempe hanya pada musim panas. Tetapi, lewat penelitian kecil-kecilan dan telaten, hasilnya sangat besar. Dia bisa mengatur kelembaban pada segala musim di dalam ruangan produksi.

Peralatan produksi juga hasil inovasi Rustono sendiri. Alat pencuci kedelai dia modifikasi dari bekas mesin pencuci cumi-cumi yang dia dapat dari perusahaan perikanan. Begitu pula untuk pengemasan, dia datangkan mesin bikinan Bantul dan Surabaya.

The King of Tempe

Meskipun julukan ini hanya gurauan teman-teman sejawatnya, rasanya memang tak ada yang salah. Kini kapasitas produksi Rustono setiap lima hari bisa mencapai 16.000 bungkus tempe dengan kemasan 200 gram. Untuk mendukung produksi, dia mengadakan kontrak kerja sama dengan petani kedelai di Nagahama, kawasan Shiga.

Dari peta penyebaran Rusto’s Tempeh yang tertera di ruang kerjanya, terlihat konsumennya tersebar di kota-kota hampir seluruh Jepang. Selain masyarakat Indonesia di Jepang dan masyarakat Jepang sendiri, konsumennya juga meliputi perusahaan jasa boga, rumah makan vegetarian, toko swalayan, sekolah, hingga rumah sakit di Fukuoka.

Memang usahanya berawal dari skala kecil dengan pemasaran dari pintu ke pintu. Rumah produksi dia bangun sendiri tanpa tukang bangunan dan tanpa pemikiran arsitektural, tetapi hanya dengan intuisi yang mirip intuisi seniman. Dan dari usaha rumahan itu sekarang Rustono mencapai taraf pembangunan pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata air, di atas lahan 1.000 meter persegi.

Penghargaan

Di Jepang sudah banyak buku mengupas tentang tempe. Di antaranya yang terkenal adalah The Book of Tempeh, tulisan William Shurtleft dan Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap dengan uraian dan ilustrasi menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar belakang budaya Indonesia, terutama Jawa.

Ada juga buku terbitan Asosiasi Tempe di Jepang yang dikelola para profesor dan ahli gizi. Asosiasi ini mengadakan penelitian dan setiap tahun mengadakan seminar tentang tempe. Salah satu kajiannya adalah kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi.

Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe dengan berbagai bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe dan tempura tempe. Yang paling terkenal adalah burger tempe.

Mereka memperkenalkan tempe dengan semboyan ”Makanan enak belum tentu menyehatkan, makanan tidak enak bisa menyehatkan. Tetapi, makanan enak dan menyehatkan adalah tempe!” Terberitakan pula sebuah perusahaan kosmetik memproduksi bahan kecantikan dengan jamur hasil fermentasi tempe ke dalam kapsul yang konon bisa menghaluskan kulit.

Soal hak paten yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa tempe diklaim Jepang, Rustono menjelaskan, ”Ah, itu kesalahpahaman. Bagaimana kita mematenkan tempe yang semua orang sampai di Amerika pun tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah Jepang juga akan mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan burgernya, bukan tempenya.”