Ebiz Ads

Sabtu, 11 Juni 2011

Modal Rp 2 Juta, Kini Punya 25 Pekerja


Belajar dari pembeli dan melihat tren di pasar, kini Wawan si perajin gelang kayu dari Situbondo, mampu memasarkan produknya hingga ke India. "Saya tahun 2002 mulai usaha ini, tapi dimulai dengan gantungan kunci," ujar Wawan.

Selang empat tahun setelahnya, ia pun mencoba untuk membuat gelang dari kayu. Pemilik Mentari Handycraft ini membuat produk ini karena melihat pasarnya di daerah Yogyakarta dan Bali cukup besar.

"Dari (gelang) polos, kita kreatif, ada ukir, ada gelang dengan menggunakan tambahan (penghias) pasir. Jadi gelang kayu dilapisi pasir laut," ungkapnya, yang memulai usaha dengan modal Rp 2 juta, untuk pembelian kayu.

Ia terus berinovasi dalam membuat gelang ini. Berbagai macam warna, hingga pemakaian gliter dicobanya. Bukan hanya gelang yang dihasilkannya, jika ada permintaan barang seperti tas, kalung, hingga cincin dari kayu akan diladeninya. "Kalau ada pesanan apapun, akan saya kerjain. Asal dari kayu," tuturnya.

Usaha yang dikerjakan bersama dengan adiknya ini, memiliki 25 orang pekerja. Di mana pekerja ini, ia rekrut dari masyarakat setempat. Bahkan mereka yang sedang pengangguran pun ia ajak.

Kayu yang ia pakai untuk kerajinan ini, disebut kayu mimbo. Namun, kalau di Situbondo sedang kosong untuk kayu tersebut, maka ia mendapatkannya dari Asembagus, hingga Banyuputih. Untuk ketersediaan kayu tersebut, ia memiliki 25 orang yang menjadi supliernya.

Mengenai persaingan di usaha sejenis, ia menyebutkan masing-masing daerah punya motif yang berbeda. Bahkan ada puluhan perajin yang berada di jenis usaha yang sama di kota asalnya, Situbondo. "Ya puluhan. Dan juga kebanyakan yang bikin itu dia jual mentahan juga. Kalau saya jual yang sudah jadi," tuturnya.

Sebagaimana usaha rakyat lainnya, modal menjadi kendala Wawan untuk mengembangkan usahanya. Karena setiap pesanan, ia butuh uang muka sekitar 50 persen dari jumlah pesanan untuk modal pembuatan. Nah, kesulitannya, ia menuturkan kalau pembeli mau bayar jika pesanan sudah selesai.

Ia mengungkapkan pernah masuk sebagai mitra binaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tidak bertahan lama karena jaminannya harus besar. Sedangkan pendapatan yang ia punya masih terbilang kecil.

Dari segi omzet, meski tidak menyebutkan angka pastinya, Wawan mengaku bisa memanen uang jika musim libur tiba. Saat liburan, menurutnya omzet bisa mencapai 200 persen dari normal karena permintaan dari Bali dan Jogja biasanya naik.

Mengenai produksi, ia menyebutkan bisa memproduksi 6.000 gelang per harinya dengan rentang harga jual dari Rp 5.000 hingga Rp 30.000. Angka tersebut merupakan produksi rata-rata mengingat produksinya biasanya berdasarkan pesanan. Dan, wilayah yang jadi pemasarannya di Indonesia, yaitu Jogjakarta, Surabaya, dan Bali. "Cuma dari Bali ya itu ada yang dikirim ke Malaysia (dan) India," sebutnya, yang dikirim melalui distributor.

Ia menuturkan, gelang banyak disukai turis asing karena bahannya yang alami. Selain pengiriman ke daerah tersebut, ia juga menitipkan barangnya di sejumlah rumah makan dan toko.

Pria yang pernah mencicipi dunia media selama 15 tahun ini pun mengungkapkan akan mencoba bahan tambahan lain seperti pelepah pisang dan kulit telur bagi karyanya. "Yang penting alam," serunya.

Ia juga akan coba membuat kalung berbahan kayu dan batok kelapa. Sementara bahan, ia akan tetap memakai kayu, sebagai bahan utama. "Karena ada (bahan) alam di tempat saya paling banyak itu kayu. Jadi kita manfaatin apa yang ada di alam kita, di Situbondo," sebutnya.

Mengolah Kresek Bekas Raup Rp 10 Juta


Siapa sangka, tas plastik alias kresek bekas bisa menjadi baju pengantin. Di tangan Erni S Nandang, limbah yang sulit terurai ini tak hanya bisa jadi bahan baju pengantin seharga jutaan rupiah, tetapi juga berbagai perlengkapan dan suvenir pernikahan. Dia pun dapat mengantongi omzet minimal Rp 10 juta per bulan dari bisnisnya tersebut.

Mungkin tidak ada dalam benak Anda, kantong plastik atawa kresek bekas bisa menjelma menjadi gaun pengantin. Tas kresek bekas juga dapat diolah menjadi aneka suvenir, kartu undangan, dan tempat hantaran prosesi pernikahan.

Beragam produk pernikahan berbahan baku kresek bekas itu lahir dari tangan Erni Suhaina Ilham Fadzry, atau populer dengan Erni S Nandang. Dia adalah pemilik Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Bu Nandang di Cilacap, Jawa Tengah. Erni membuat pernak-pernik pernikahan berbahan baku kresek bekas pertama kali pada awal 2010.

Saat itu, ada salah satu anak didiknya di LPK Bu Nandang yang akan menikah. Kebetulan, orang itu peserta terbaik LPK. Karena itu, "Saya putuskan untuk memberi hadiah berupa kartu undangan, suvenir, dekorasi, dan gaun pengantin dari kresek bekas," kata Erni. Ya, LPK Bu Nandang selama ini memang lebih banyak bergerak dalam pelatihan kerajinan dari bahan baku limbah.

Di luar dugaan, banyak pengunjung pesta pernikahan anak didiknya itu yang tertarik dengan karya-karya Erni dari kresek bekas. Sejak saat itu, permintaan produk-produk perlengkapan pernikahan dari kresek bekas terus berdatangan. Erni lalu menjadikan usaha kerajinan ini sebagai bisnis intinya.

Tren dan kesadaran masyarakat terhadap produk ramah lingkungan, menurut Erni, membuat orang menyerbu barang-barang berbau go green. "Inilah yang membuat usaha kerajinan dari kresek bekas saya maju pesat," ujar dia.

Walaupun terbuat dari kresek bekas, baju pengantin bikinan Erni dijamin tidak gampang sobek atau menimbulkan alergi di kulit. Bahkan, dia juga membuat model baju pengantin yang lagi tren saat ini.

Untuk membuat baju pengantin tersebut, Erni mengumpulkan kresek bekas dari warga sekitar. Untuk itu, dia menyediakan tempat sampah khusus untuk menampung kresek bekas di lingkungan tempat tinggalnya di daerah Cilacap.

Erni juga mendapat pasokan dari para peserta didik LPK Bu Nandang yang juga sering membawa kresek bekas dari rumah mereka masing-masing.

Walaupun lebih mudah mendapatkannya, Erni menolak menggunakan kresek baru sebagai bahan baku baju pengantin atau produk pernikahan lainnya. "Kalau memakai kresek yang baru, nilai penyelamatan lingkungannya tidak ada sama sekali," tuturnya.

Walaupun prosesnya lumayan panjang, Erni tak mengalami kesulitan dalam pembuatan gaun pengantin atau produk pernikahan lainnya dari plastik kresek bekas.

Setelah terkumpul, kresek bekas kemudian dibersihkan dan dipilah-pilah. Er
ni memilih plastik yang kuat sebab ada juga kresek yang terlalu rapuh untuk menjadi bahan baku utama. Dalam proses pembuatannya, Erni juga memanfaatkan alat khusus untuk mengubah kresek menjadi lembaran sehingga lebih rapih.

Kresek yang sudah berbentuk lembaran lalu digulung sampai kecil dan diikat dengan gelang karet. Setelah itu, ikatan plastik tersebut digabungkan hingga berbentuk segitiga.

Proses selanjutnya adalah menempelkan kresek yang telah berbentuk segitiga pada pola dengan cara dijahit. Pola-pola dasar itu kemudian disatukan hingga menjadi gaun pengantin.

Erni menambahkan glitter dan pernak-pernik lain, seperti mutiara yang terbuat dari kabel bekas untuk membuat baju pengantin lebih manis. "Saya banyak dibantu murid LPK Bu Nandang," katanya.

Untuk membikin satu set baju pengantin pria dan wanita, Erni membutuhkan kurang lebih 1.000 kresek bekas. Agar lebih alami, ia sengaja tidak menggunakan pewarna sama sekali.

Karena kebutuhan kresek bekas yang besar dan demi menjaga kelancaran produksi, Erni membangun tiga gudang penyimpanan kantong plastik bekas. Namun, ia mengungkapkan, keberadaan ketiga gudang itu pernah menyulut protes sang suami. "Akan tetapi, saya jawab nanti itu akan jadi uang," kata Erni tertawa.

Betul saja, kresek bekas kini memang jadi tambang uang. Pasalnya, harga jual satu set pakaian pengantin mencapai jutaan rupiah. Sayangnya, dia tidak mau blak-blakan mengungkap berapa harga pastinya. Alasannya, harga baju pengantin buatannya bergantung model yang diminta. "Memang mahal, karena ini langka. Kalau diibaratkan musik, ini termasuk jazz," kata Erni.

Namun, Erni menuturkan, masih banyak masyarakat yang ragu memakai baju pengantin dari kresek bekas. Makanya, pesanannya tak sebanyak produk pernikahan buatannya yang juga terbuat dari kresek bekas, seperti kartu undangan dan suvenir.

Dengan bahan bekas itu, Erni juga membuat tempat hantaran pernikahan dengan bentuk Candi Borobudur. Harga jualnya cuma Rp 35.000 per unit. Adapun harga produk suvenir mulai Rp 500 per unit. Dalam setiap pemesanan, dia minimal mendapat order pembuatan 10 hantaran dan 1.000 suvenir.

Jika ditambah pesanan pakaian pengantin, ia mendapat omzet paling sedikit Rp 10 juta setiap bulan. Pendapatannya akan lebih besar lagi kalau Erni memperoleh pesanan baju lebih banyak lagi. Maklum, "Marginnya besar sebab modalnya, kan, hanya keterampilan," katanya.

Berbagai pelatihan, baik tentang pembuatan produk dari limbah maupun mengenai kesadaran lingkungan, menjadi ajang promosi produk-produk Erni.

Rabu, 01 Juni 2011

Kemilau Prospek Toko Perhiasan Perak


Boleh jadi, lantaran harga emas semakin mahal, banyak orang yang melirik perhiasan berbahan perak sebagai alternatif. Lagi pula, kendati turut menanjak, laju harga perak lebih stabil ketimbang emas. "Bisnis perak juga tidak mengenal musim sehingga harganya cenderung stabil," kata Asep Mustafa, pemilik Amani Silver, Bandung.
Menurut dia, saat ini perak telah menjadi tren dalam dunia fashion. Karena itu, jika penjual bisa mengelola bisnis ini, keuntungan mencapai 100 persen bisa diperoleh. Selain sebagai perhiasan, perak juga bisa menjadi alternatif investasi berisiko relatif kecil dan modal terjangkau.

Perak asal Hongkong dan China

Potensi bisnis perak yang bisa tumbuh pesat itu menjadi alasan Asep menawarkan konsep kemitraan toko perhiasan perak, Amani Silver, pada Februari 2011. Saat ini Amani Silver menjual beraneka model perhiasan perak.

Berbeda dengan toko perak di Kota Gede, Yogyakarta, yang membuat kerajinan perak sendiri, Amani Silver hanya reseller. Toko ini menjual aneka kerajinan perak impor dari Hongkong dan China.

Nah, agar bisa menjadi mitra Amani Silver, Asep menawarkan tiga paket kemitraan. Pertama, paket A dengan investasi Rp 75 juta. Kedua, paket B dengan investasi Rp 100 juta. Ketiga, paket C dengan investasi Rp 125 juta. Nilai investasi tersebut belum termasuk sewa tempat, pajak, dan izin usaha.

Pada paket A, mitra akan memperoleh perhiasan perak sebesar 1,5 kg. Di paket B, mitra mendapat perhiasan perak seberat 2 kg. Mitra usaha Asep akan mendapat perak seberat 3 kg jika mengambil paket C. Selain perhiasan perak, mitra juga akan mendapat perangkat etalase, brankas, timbangan digital, seperangkat alat tulis kantor (ATK), hingga alat promosi.

Asep berjanji melatih mitranya yang tak mengerti soal perhiasan perak. Dia akan mengajarkan kepada mitra cara membedakan perak yang bagus serta cara menyepuh dan membersihkan perhiasan berbahan perak.

Asep menghitung, omzet per hari mitra bisa mencapai Rp 1,5 juta. "Asumsinya setiap hari bisa menjual lebih dari 50 gram," katanya. Sebagai catatan, saat ini harga jual perak berkisar antara Rp 25.000 dan Rp 30.000 per gram.

Dengan asumsi tersebut, Asep mengatakan, keuntungan mitra setiap bulan akan sekitar Rp 19 juta. Walhasil, masa balik modal akan tercapai dalam tiga bulan–empat bulan untuk paket A.

Asep memang tidak memungut franchise fee. Namun, ia mewajibkan mitra untuk membeli perhiasan perak dari Asep. "Harga pembelian perak sebesar Rp 22,5 juta untuk 1 kg perhiasan," katanya.

Amir Karamoy, Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), mengakui, perhiasan perak memang sedang menjadi tren. Hanya, "Pasarnya masih segmented dan dimiliki komunitas tertentu," ujar Amir.

Oleh karena itu, bagi masyarakat yang tertarik dengan tawaran ini disarankan mengambil lokasi di mal besar. Selain itu, karena masih baru, investor harus lebih aktif memasarkan perak.

Sabtu, 28 Mei 2011

Sukses Berbisnis Oleh-oleh Beromzet Miliaran


Membawa oleh-oleh bagi sebagian besar orang Indonesia seperti menjadi kewajiban saat baru pulang bepergian dari luar kota maupun luar negeri. Setiap wilayah, konsep oleh-oleh berbeda-beda dengan karakteristik yang khas, misalnya berupa makanan maupun minuman.

Menurut Syamsul Huda, pengusaha oleh-oleh makanan olahan apel asal Malang, berbisnis oleh-oleh sangat menjanjikan asalkan mengerti strateginya. Syamsul mengganggap, segmen pasar oleh-oleh harus dibedakan dengan segmen produk secara umum.

"Kalau produk oleh-oleh kualitasnya harus tinggi, maka harga jualnya juga tinggi, desain harus menarik. Tapi kalau produk lain harganya murah dengan kualitas di bawah (standar)," kata Syamsul kepada detikFinance beberapa hari lalu di Malang.

Menurutnya, kelebihan dari bisnis oleh-oleh, produknya pasti dicari banyak orang sehingga pemasarannya relatif mudah. Meskipun biasanya segmen pasar ini hanya terbatas pada wilayah tertentu saja.

"Kami mengincar pasar oleh-oleh, pasar oleh-oleh bagaimana mengangkat Kota Batu Malang sebagai kota wisata," katanya.

Dari sisi variasi produk, segmen pasar oleh-oleh memang mau tidak mau harus memiliki keterbatasan jenis. Produk yang dijual haruslah khas wilayah setempat, karena jika tidak, konsumen akan bingung menentukan produk apa yang pas untuk oleh-oleh.

Namun kondisi semacam seperti ini bukan berarti harus membatasi kreasi seorang pebisnis. Berdasarkan pengalaman Syamsul, untuk mengembangkan usaha, seorang pengusaha produk oleh-oleh harus juga memiliki produk non oleh-oleh untuk segmen pasar umum, dengan konsekuensinya harus bermain di harga yang lebih miring.

"Di samping ada kripik apel, kita juga ada pia apel khusus untuk semua segmen pasar. Ke depannya selain pia, kita juga mau mengembangkan biskuit apel, permen apel dan lain-lain," katanya.

Menurutnya saat ini oleh-oleh khas Batu Malang masih berkutat pada produk makanan olahan seperti kripik apel dan sari buah apel. Dengan masuk segmen produk di luar oleh-oleh, Syamsul mengaku harus menyiapkan perangkat modal yang lebih besar dan perizinan yang lebih kompleks.

"Sementara ini produk-produk saya masih di Jawa Timur, belum berani ke luar karena belum ada modal," katanya.

Keberhasilan Syamsul menggeluti produk makanan olahan apel bukan lah isapan jempol belaka. Bisnis produk olahannya terus berkembang, selain kripik apel, sari apel, jenang (dodol) apel, ia juga membuat kripik nangka, kripik nanas, kripik salak, kripik mangga, kripik rambutan, dodol nanas, dodol sirsak, dodol nangka, dodol strawberry dan lain-lain.

"Kebetulan setiap tahun naik, 5% sampai 15%. Dengan omset per bulan Rp 110 juta," katanya.

Syamsul yang memulai bisnis makanan olahan apel sejak 2001 ini, tertarik dengan bisnis oleh-oleh karena dihadapkan oleh kondisi suramnya sektor pertanian apel Batu Malang sepuluh tahun lalu.

"Yang menjadi latar belakang kondisi budidaya apel tahun 2001, terjadi penurunan, sudah jenuh tanah. Produktivitas turun dan kualitas juga. Ini merugikan petani. Perlu ada sentuhan teknologi pengolahan pangan," ucap pria lulusan Unisma Fakultas Pertanian ini.

Ia mengaku, produk olahan apel pertamanya adalah jenang atau dodol apel, pada waktu itu ia hanya bermodal Rp 4 juta. Selama dua tahun pertama bisnis jenang apelnya masih kembang kempis alias baru sampai tahap balik modal.

"Tahun berikutnya saya buat ekspansi pasar dan modal dengan minjam uang dari bank. Saya memulai beranikan diri pinjam dana Bank Mandiri dan Bank Jatim. Ternyata sebuah keberhasilan harus berani dulu dan mengambil risiko," kenang Syamsul.

Setelah dapat suntikan dana segar dari bank, bisnis Syamsul kian melaju pesat sejalan berkembangnya aneka produk yang ia buat. Mulai dari situ ia banyak mengembangkan berbagai aneka produk kripik termasuk kripik dan jus apel.

"Sekarang total variasi produk sudah ada 15 macam. Cara menembus pasar, saya melakukan kegiatan promosi di daerah Malang Raya. Saya ikut promosi kegiatan pameran di dinas," katanya.

Syamsul kini sudah memiliki 72 karyawan padahal awalnya hanya 2 orang karyawan. Produk-produk yang ia jual relatif terjangkau untuk segmen oleh-oleh yaitu dimulai dari Rp 2.000 sampai Rp 22.000 per bungkus.

Keberhasilan Syamsul bukan hanya dinikmati oleh dirinya dan karyawannya, namun para petani yang menyuplai bahan baku apel pun ikut kecipratan moncernya bisnis olahan apelnya. Misalnya dalam hal harga jual apel, Syamsul memberikan harga relatif lebih bagus dari pada harga pembelian dari tengkulak yaitu berkisar Rp 5000-7000 per Kg.

"Kita ada mitra kerja binaan kelompok tani apel yang menjadi mita kerja. Kalau dibeli tengkulak harganya murah. Ada tergabung 41 petani, kita juga ada paket wisata selain melihat produksi olahan apel, pengunjung juga bisa melihat perkebunan apel," jelasnya.

Selama ini Syamsul mampu menghabiskan 500 kg apel untuk dijadikan kripik dan sari buah. Menurutnya suplai apel tak menjadi masalah meski produksi turun hingga 25%.

"Justru yang jadi masalah adalah suplai nangka, salak, rambutan karena bukan musim, padahal permintaaan banyak," kata pria yang mengaku mengolah apel secara otodidak ini.

Menurutnya permintaan produk olahan apel dan buah lainnya terus naik, bahkan pada musim liburan bisa naik hingga 30%. Dengan margin hingga sampai 20-30%, Syamsul mengaku begitu menikmati masa keemasan bisnisnya saat ini.


Syamsul Huda
CV. Bagus Arista Mandiri
Jl. Kopral Kasdi 2 Bumiaji Kota Batu, Malang.
Email: huda_bagus@yahoo.co.id

Kamis, 26 Mei 2011

Juragan Lintah Beromzet Jutaan Rupiah


Menjijikkan tapi menguntungkan. Begitulah slogan Midin Muhidin, pengusaha dari Depok, Jawa Barat, dalam mengibarkan usaha lintahnya. Di tangannya, binatang penghisap darah ini justru membawa berkah dan rezeki. Baru setahun lebih usahanya berjalan, ia sudah bisa mengantongi omzet hingga Rp 120 juta per bulan.

Sebelum memulai bisnis lintah, Midin Muhidin adalah seorang karyawan di semuah perusahaan perakitan pompa minyak dan gas dengan jabatan document controller and HSE safety. Bosan menyandang status karyawan kantoran dengan rutinitas jam kantor dan penghasilan pas-pasan selama tujuh tahun, ia pun memutuskan untuk berwiraswasta.

Midin lantas meninggalkan pekerjaannya. "Dengan jam kerja yang fleksibel, membuat saya punya lebih banyak waktu luang bagi diri sendiri," kata Midin. Pria kelahiran 15 Juli 1972 ini kemudian berburu informasi mengenai komoditas yang paling menguntungkan untuk dibudidayakan. Sampai suatu ketika, Midin melihat peluang usaha lintah secara kebetulan.

Ceritanya, saat itu, dia mengantarkan orang tua angkatnya yang sakit stroke stadium tiga untuk terapi lintah di Depok. "Ajaib, setelah dua kali terapi, orang tua saya menunjukkan perubahan yang signifikan, hampir sembuh total dan bisa berjalan lagi," ujar Midin.

Sejak itu, ia mulai yakin khasiat terapi lintah. Dari hasil ngobrol sana-sini dengan banyak terapis lintah, ternyata mereka selama ini kesulitan mencari binatang penyedot darah itu karena pemasoknya masih jarang. Apalagi yang membudidayakan sendiri. "Saya pikir, ini peluang bisnis yang sangat bagus," kata Midin.

Akhirnya, Midin memulai usaha pada September 2009 dengan modal Rp 10 juta. Ia memakai dana ini untuk biaya renovasi lahan dan pembelian 500 indukan lintah seharga Rp 1,5 juta. Dia pun membangun badan usaha CV Enha Farm untuk peternakan lintahnya.
Beruntung, lahan budidaya lintah yang ia pakai seluas kurang dari satu hektare di daerah Limo, Depok milik saudaranya. Jadi, Midin tidak perlu membayar sewa. "Saya hanya menumpang lahan," ungkap dia.

Di awal-awal usaha, teman-temannya banyak meragukan keberhasilan budidaya lintah. "Bisnis lintah saat itu masih tergolong asing dan terapi lintah ketika itu juga belum banyak yang tahu," imbuhnya.

Tetapi, Midin jalan terus sambil mempelajari manfaat lintah sebagai alat terapi dari bermacam referensi secara otodidak. Hasilnya, terapi lintah ternyata sudah sangat populer dalam dunia kedokteran di pelbagai negara, seperti Rusia, China, Jerman, dan Prancis. Bahkan, menurutnya, bangsa Mesir kuno sudah mempraktekkan pengobatan alami ini. Fungsi lintah untuk mengisap darah kotor yang ada di dalam tubuh manusia. Itu sebabnya, terapi lintah bisa mengobati bermacam penyakit termasuk diabetes dan stroke. Saat lintah menyedot darah kotor, binatang tersebut juga melepas zat hirudinnya yang berfungsi sebagai antikoagulan yang dapat mencegah penggumpalan darah.

Tapi, tak sembarang lintah bisa dipakai untuk terapi. Hanya lintah jenis Hirudo medicinalis atau Hirudo spinalis yang bisa digunakan sebagai sarana terapi. Di Indonesia, lintah ini dikenal dengan nama lintah kerbau. Lintah kerbau hanya hidup di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Makanya, negara-negara barat selalu mencari lintah kerbau ke tiga negara tersebut dengan jumlah permintaan yang tinggi. "Thailand dan Malaysia sudah lebih dulu mengekspor lintah," tutur Midin.

Menurut Midin, budidaya lintah cukup mudah lantaran tidak membutuhkan lahan yang luas. Biaya budidaya pun sangat murah. Ia bisa menampung sekitar 1.000 ekor lintah dalam satu bak berukuran 2x3 meter hanya dengan memberi pompa oksigen. Air diganti setiap dua pekan sekali. Risiko paling besar hanya polutan seperti asap rokok yang mampu menimbulkan risiko kematian si lintah.

Pakan lintah antara lain belut hidup. Lintah menghisap darah belut saban dua pekan. Perhitungannya, 20.000 lintah butuh 4 kilogram belut yang harga sekilonya Rp 52.000. Pembiakan hewan hermaprodit ini gampang saja, karena cepat berkembang biak. Alhasil, dua bulan pertama mengawali usaha, Midin sudah mendapatkan banyak lintah. Panen pertama, dia meraih omzet Rp 50 juta.

Kewalahan memenuhi lintah kering

Permintaan lintah untuk terapi memang sangat banyak. Di bulan ketiga, Midin sudah mencetak omzet hingga Rp 75 juta. Sebulan kemudian, penjualannya mencapai Rp 100 juta. Di awal tahun 2010, CV Enha Farm sudah mencatat penjualan lintah Rp 120 juta per bulan.

Ia menjual 10.000 lintah per pekan untuk terapi dengan harga Rp 3.000 per ekor. Dari total penjualan Rp 120 juta sebulan, Midin mengantongi keuntungan hingga separuhnya, Rp 60 juta.

Kesuksesan yang diraihnya dalam waktu sekejap membuat banyak orang terinspirasi mengikuti jejaknya. Kini, bermunculan pembudidaya hewan pengisap darah ini. Namun, Midin tak menganggapnya sebagai saingan. "Saya yakin setiap pembudidaya sudah memiliki jaringan masing-masing," ujar pria 39 tahun ini.

Lagipula, ia yakin pasar untuk lintah dan berbagai produk turunannya masih terbuka lebar. "Pasokan dari pembudidaya masih belum cukup memenuhi permintaan," ujar Midin.
Midin sudah memasok lintah ini untuk banyak terapis di seluruh Indonesia. Para terapis sendiri lebih gampang mendapat pasokan. Sebelum Midin memasok secara rutin, para terapis ini harus mencari lintah dari alam. "Lintah-lintah itu harus dikarantina dulu supaya lebih higienis untuk terapi," kata Midin. Sementara lintah-lintah dari Enha Farm lebih terjaga kebersihannya.

Midin juga mempromosikan usahanya ke pasar ekspor melalui situs lintahindonesia.com. Dari situs inilah beberapa permintaan lintah kering masuk.
Awal tahun 2010, Midin pun sudah mengekspor lintah kering ke berbagai negara sambil memasok lintah untuk terapis lokal. Dalam sepekan, Midin menjual 10.000 lintah berumur delapan bulan hingga lima tahun ke terapis lokal. Selain itu, Midin pun menjalin kerjasama dengan produsen minyak lintah lokal. Kini, kerjasama dengan pengolah minyak lintah ini sudah berjalan dua tahun.

Midin pun pernah mengirim 50 kilogram lintah kering untuk bahan baku kosmetik ke China. Lintah-lintah kering ini akan diolah kembali menjadi tepung. Puas dengan lintah-lintah kering yang dikirim Midin, pembeli dari China ini menginginkan pasokan kontinyu. Midin pun mendapat pesanan satu ton lintah kering per bulan dengan masa kontrak dua tahun. "Tapi terpaksa saya tolak karena tidak ada stok," kata Midin.
Padahal, lintah-lintah yang berasal dari Indonesia termasuk lintah kelas mahal dan berkualitas. Kondisi lembab dan curah hujan yang cukup stabil membuat lintah betah tinggal di Indonesia. Lintah tumbuh baik pada wilayah beriklim tropis dengan kelembaban 30 persen.

Karena keterbatasan kapasitas produksi itulah kini Midin hanya mengekspor rutin ke Korea Selatan 500 kilogram lintah kering tiap bulan. Untuk mendapatkan 500 kilogram lintah kering, Midin harus menyediakan 2,5 juta lintah basah.

Proses pengeringan lintah ini cukup sederhana. Midin hanya perlu menjemur lintah yang minimal berusia enam bulan di basah terik matahari. Penjemuran ini memakan waktu sehari hingga kering. Midin bilang, harga lintah kering di pasar internasional berkisar antara 250 dollar AS hingga 400 dollar AS per kilogram. Jadi, sebulan Midin bisa mencetak pendapatan ekspor lintah kering ini hingga Rp 1,8 miliar.

Meski sudah mengekspor lintah kering, Midin tetap melayani para terapis lintah yang sudah menjadi langganannya. "Karena permintaan ini datang setiap hari," kata Midin. Lagipula, kalau dihitung-hitung, harga lintah segar untuk terapi ini lebih bagus daripada harga lintah kering ekspor.

Selain memasok bahan mentah dan setengah jadi, Midin pun berniat memproduksi produk turunan lintah. Saat ini, produk-produk turunan lintah Midin sedang dalam proses sertifikasi Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sejak November 2010 lalu Midin sudah tidak sendirian memasok lintah untuk berbagai kebutuhan dari peternakan sendiri. Ia mengajak puluhan petani umuk bermitra dengannya. Ia pun memberi pelatihan. Kini, para petani sudah memasok lintah secara rutin.

Jenuh Diperintah Orang, Raup Ratusan Juta di Rumah


Bisnis catering masih menjanjikan. Pasar yang luas, plus keuntungan yang menggoda. Meski demikian, bukan berarti bisa digarap asal-asalan. Cita rasa dan harga tetap menjadi modal utama agar bisnis ini bertahan. Keahlian meracik kuliner yang didapat Edy Purwanto di sejumlah kapal pesiar dan hotel berbintang menjadi modal awal pengusaha yang mengusung bendera Pandan Leaf Catering ini.

Semua bermula dari kejenuhannya bekerja di bawah perintah orang lain. Edy mengaku lebih dari 18 tahun menggeluti dunia kuliner dan merasa jenuh keliling dari satu kapal pesiar ke kapal pesiar lain, dari satu hotel ke hotel lain.

"Setelah punya jaringan, tahun 1997 saya beranikan diri membuka usaha pribadi dengan ikut tender Rumah Sakit Pelabuhan Surabaya atau Port Health Center. Saya menang tender, dari situlah semua berawal," kenang Edy saat ditemui di kediamannya di kawasan Wonosari Kidul, Surabaya.

Sampai saat ini order terus mengalir, tidak hanya dari instansi, tetapi juga dari paket pernikahan. Dalam sebulan, ia bisa meraup omzet rata-rata tak kurang dari Rp 200 juta. Harga untuk catering reguler mulai Rp 7.000 hingga Rp 15.000. Sedangkan paket wedding ditawarkan mulai Rp 25.000 per orang.

"Paling besar kontribusinya dari wedding service. Kalau yang reguler, saya melayani acara-acara instansi pemerintah dan perusahaan swasta serta buka kantin di Unesa (Universitas Negeri Surabaya)," ujar alumnus Akademi Perhotelan Satya Widya Surabaya, Jurusan Tata Boga, ini.

Edy menjalankan usaha catering ini dibantu 18 karyawannya. Menu yang ia racik mulai masakan Indonesia, Chinese food, Thailand food, hingga European food. "Saya menerima segala menu masakan. Soal pemasaran dan sumber permodalan, saya serahkan ke istri. Istri dulu kerja di tenaga pemasaran Bank Danamon, jadi saya punya akses untuk permodalan sampai sekarang," jelas pria kelahiran 13 Maret 1973 ini.

Suami Swary (40) ini melihat potensi bisnis catering yang masih terbuka lebar dengan perkembangan bisnis yang relatif mudah. Orang selalu butuh makan di setiap kesempatan. Tinggal bagaimana mengemas makanan itu dan membidik segmen yang pas, maka keuntungan akan terus mengalir.

"Tingginya permintaan catering untuk wedding membuat saya tertarik mengembangkan bisnis ke arah one stop wedding service. Jadi tidak hanya melayani catering, tapi juga meng-organize, mulai dekorasi, penyediaan electone dan penyanyinya," lanjut bapak satu putra ini.

Modal awal yang ia butuhkan pada 1997 cukup besar, sekitar Rp 200 juta. Sebagian hasil tabungan dan sisanya pinjam ke bank. Selain Bank Danamon, ia juga mengajukan pinjaman ke Bank Mandiri. "Kalau catering ditangani setengah-setengah, hasilnya tidak maksimal. Saya memang mau total menanganinya," imbuh Edy.

Setiap hari, ia melayani catering buat 450 karyawan di sebuah perusahaan swasta dan kantin di Universitas Negeri Surabaya. Untuk order wedding rata-rata 2-4 klien ditanganinya setiap minggu.

"Bahan baku semuanya lokal. Kalau harga bahan baku sedang mahal, harus pandai-pandai menyiasati. Seperti cabe rawit yang kemarin sampai Rp 100.000 per kg, kami siasati pakai cabe kering dan cabe merah besar," katanya.

Untuk urusan karyawan, Edy mengaku tak terlalu sulit mencari karyawan. "Karyawan sudah saya anggap keluarga. Makan dan tidur juga di rumah, karena bekerjanya kan mulai dini hari. Mereka juga tahu dapuran resep masakan saya gimana. Alhamdulillah mereka loyal. Persaingan karyawan catering saat ini juga ketat, jadi kita harus bisa beri perlakuan lebih agar mereka juga memberikan yang terbaik," ucapnya.

Kamis, 15 Juli 2010

Kripik 'Gangang Ulva' ala Mahasiswa Biologi UGM


JOGJAKARTA (KU) - Bila anda sering bepergian ke pantai, maka jangan heran sering menemukan bermacam-macam ganggang yang melekat di dasar batuan karang. Warnanya pun beragam, ada yang hijau, merah, atau coklat. Sekilas, memang tak ubahnya dengan tumbuhan liar lainnya di pantai. Namun di tangan mahasiswa Biologi UGM, Shinta Dewi, gangang yang berwarna hijau (ulva sp) ternyata diolah jadi makanan kripik. Tidak sekedar kripik, setelah diteliti makanan ini berkhasiat bagi kesehatan.

Tumbuhan ini sering dijumpai di pantai selatan Jawa. Bentuknya berupa lembaran yang berwarna hijau. Di Yogyakarta, ganggang ulva cukup melimpah dan banyak dijumapai di pantai Kukup, Grono, Sundak, Krakal dan Wediombo.

Berawal dari kegiatan program kreativitas mahasiswa, Shinta bersama teman-temannya meneliti ganggang ini. Mereka kemudian mengajak masyarakat nelayan yang hidup di sekitar pantai Kukup untuk mengolah gangang ulva menjadi kripik. Sesuai dengan namanya, kripik olahan ini pun dinamakan ‘kripik Ulva’.

"Kripik Ulva sebagai inovasi olahan makanan berupa kripik dengan bahan dasar ulva. Hal ini dilatar belakangi dari fakta inovasi yang telah dikembangkan oleh Negara Jepang, yang telah mengolah Ulva sebagai pembungkus makanan sejenis lemper," kata Shinta ditemui di sela-sela pameran penelitian "Research Week" di Grha Sabha Pramana, Rabu (14/7).

Berdasarkan hasil penelitian Shinta, kandungan gizi dari keripik ulva berupal mineral 2,59 persen, serat 11,5 persen, dan protein 4, 88 persen.
Pengolahan ganggang ulva jadi keripik dengan menggandeng kelompok usaha bersama masyarakat Forum Mitra Bahari yang berlokasi di areal pantai Kukup, kecamatan Tanjungsari, Gunung Kidul. Pemanfaatan ganggan ulva tentunya memberikan tambahan kesejahteraan bagi masyarakat nelayan yang tinggal di sekitar pantai. Saat ini, untuk ganggang ulva mentah dijual Rp 20.000,00 per kg, sedangkan dalam bentuk keripik dijual Rp 60.000,00 per kg.

"Untuk ukuran bungkusan kecil 40 gram, kita jual Rp 3.000,00," katanya.
Dihubungi secara terpisah, Dosen biologi UGM Ludmila Fitri Untari, M.Sc, menuturkan makanan ganggang ulva memang berkhasiat untuk anti kanker dan bio anti helmintika (obat cacing alami). "Selama ini belum dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai makanan alernatif. Di Negara lain seperti di Jepang , China dan Filipina sudah digunakan sebagai salad sayur," kata Untari.

Meski sudah mengajak masyarakat untuk membudidayakan ganggang ulva, menurut Untari masih menyisakan sedikit masalah. Salah satunya, masyarakat yang belum tahu cara memanen ganggang ini dengan cara mencungkil. "Mereka memanen seperti mencabut tanaman kacang saja, cabut hingga ke akarnya, akibatnya ganggang tidak tumbuh lagi. Seharusnya dipotong saja untuk disisakan beberapa cm saja agar bisa tumbuh lagi," kata pakar Fikologi ini. (UGM)

Jumat, 30 April 2010

Brand dan Manusia Bisa Saling Belajar di Social Media


Oleh Adhitia Sofyan

“Nanti siang meeting di brand x, mereka mau masuk ke social media”, kata seorang rekan di kantor pagi itu. Yak, meeting dengan agenda ini menjadi sangat sering terjadi sekarang. Semua brand mau masuk ke Facebook, semua brand mau nyemplung di Twitter. Kenapa? Ya simple, karena kita semua sedang ngumpul disitu sekarang, gak lagi melulu di depan tivi, atau radio atau baca media cetak.

Social media adalah tempat manusia biasa (baca : bukan brand) berkumpul dan berkomunikasi. Tentu saja caranya sangat bebas, apa adanya dan spontan, karena Facebook, Twitter dan Blog bukanlah milik brand seperti halnya product site. Cara biasa brand berkomunikasi yang kaku, sangat iklan, selalu ingin sempurna tanpa cacat tidak akan berhasil di social media. Brand harus menyesuaikan diri, melepas atribut-atribut korporatnya yang dinilai kaku dan tampil lebih luwes di social media; jujur, spontan, mendengarkan konsumen, mendengarkan konsumen, mendengarkan konsumen, ya, saya sebut 3 kali memang, dan engage dengan mereka.

Sebaliknya daripada yang diatas (lah…kok kayak srimulat), dengan berpartisipasinya kita (manusia biasa, non-brand) di social media; Facebook, Twitter, blog dsb, mau tidak mau kita sudah menempatkan diri sebagai brand. Kita menulis di online biodata, siapa kita, what we believe and stand for, dan berkomunikasi berdasarkan poin-poin tadi, terkadang kita juga jadi menjaga diri, berhati-hati pasang status FB atau pikir-pikir sebelum nge-tweet biar gak malu-maluin, nah…you’re acting like a brand now!

Sayangnya tidak sedikit manusia (non-brand) yang suka lupa bahwa social media adalah ruang publik; ada friends dan followers yang semuanya bisa melihat apa yang kita ‘sajikan’ di social media. Friends dan followers ini adalah jaringan besar daripada friends dan followers lain yang saling bisa berkomunikasi dan mem-forward konten. Mau tidak mau, dengan keikutsertaan kita di social media berarti kita dengan sukarela telah menjadikan diri kita sebagai bahan tontonan buat orang banyak. Tidak jarang masalah serta konflik personal muncul karena sang manusia kurang bisa menjaga, me-manage dan menahan diri di social media.

Nah, sebetulnya di social media, brand dan manusia bisa saling belajar dari masing-masing. Brand yang terlalu nge-brand; kaku, membosankan, korporatif, takut salah, gak mau dengerin orang, mau sempurna terus dll bisa belajar untuk agak santai dan luwes dari manusia (which I found this should be easy since brands are handled by humans anyway, is that they tend to forget that they are humans and become boring marketing machines when they go to office and become the brand they’re working for).

Now, manusia bisa belajar dari brand dalam berkomunikasi di social media. Mungkin bisa mulai mencantumkan data diri yang kredibel (or yeah..you can keep it as ‘weird space alien dorkface’ if you’d like), mulai me-manage diri dalam ber-social media; apa yang mesti atau tidak semestinya di share ke publik, info apa yang patut dipasang atau tidak, berpikir sebelum nge-tweet, safe atau tidak tweeting-an saya ini, bagaimana kalau dilihat followers, ingat-ingat siapa saja yang mem-follow atau friends kita, apakah kita sudah mempelajari dan memahami cara Facebook dan Twitter (misal) bekerja dll dsb.

- Misal :RT in Twitter does not mean Reply Tweet, and Twitter is not Yahoo Messenger (chatting hahahihi gak penting di Twitter) nor it is an sms-ing platform ,(“Eh, gue udah nyampe nih, lu dimana?” via Twitter). Ignore these and you might be perceived as annoying and ignorant.


Intinya common sense saja, you should act depending on where you are, kalau di kamar mandi, silakang bertingkah seperti di kamar mandi, kalau di warung, monggo bertingkah seperti di warung, kalau di masjid ya sadarlah kalau sedang di masjid, kalau di gala dinner ya you should now what to do, dan demikian pula kalau sedang di social media. Know where you are, brand, manusia, selamat datang di social media, mari saling belajar.

(sumber: www.virtual.co.id)

Menikmati Peluang Usaha Bubur Buah


Bubur atau puree memberikan banyak manfaat bagi para pengusaha buah. Dalam bentuk puree, selain tahan lama, buah juga mudah disimpan. Kepraktisan inilah yang membuat permintaan puree di dalam dan luar negeri cukup besar. Bahkan, pasokan yang ada belum mencukupi.

Kita tidak bisa menyimpan buah segar dalam waktu yang terlalu lama. Karena itu, saat panen melimpah, penyimpanan buah menjadi masalah. Banyak buah yang terbuang sia-sia karena membusuk.

Salah satu solusi masalah ini adalah dengan membuat bubur atau puree dari buah. Maklum, dalam bentuk puree, buah dapat disimpan dengan lebih mudah dan lebih tahan lama.

Sholeh BH Kurdi, pemilik CV Promindo Utama, sudah memproduksi puree buah sejak tahun 2004. Promindo Utama adalah salah satu binaan pengusaha Departemen Pertanian. Promindo juga menjadi proyek percontohan (pilot project) produsen puree di Jawa Barat.

Awalnya, Sholeh hanya ingin menampung sisa panen mangga yang berlimpah di Cirebon sebab buah ini tak dapat bertahan lama dan hanya berbuah pada musimnya.

Nah, dalam bentuk puree, produsen mangga bisa menyimpannya sampai tujuh bulan. "Bisa bertahan hingga musim panen mangga selanjutnya," kata Sholeh.

Untuk membuat puree itu, Sholeh melumatkan buah dan menyaringnya hingga menjadi berbentuk seperti bubur. Ia lalu memproses bubur dengan mesin pasteurisasi sebelum mengemas dan menyimpannya. Dia biasa mengemas puree dalam kemasan botol ataupun jeriken.

Sholeh tak hanya membuat puree dari Mangga. Dia juga memproduksi puree jambu biji, sirsak, stroberi, lemon, dan nanas.

Dia menjual hampir semua produknya dengan harga Rp 15.000 per liter. Cuma harga puree mangga gedong gincu dan stroberi yang berbeda, yakni Rp 20.000 per liter dan Rp 18.000 seliter.

Promindo membuat puree berdasarkan pesanan yang masuk. Tiap bulan, Sholeh menjual tiga sampai lima ton puree. Artinya, Sholeh kira-kira meraup omzet minimal Rp 45 juta per bulan.

Dia mendistribusikan puree ke pabrik jus buah di Jakarta dan Bandung. Konsumen puree lainnya adalah pembeli langsung.

Bubur buah ini memiliki banyak kegunaan, misalnya untuk membuat selai, campuran yoghurt, ataupun topping untuk puding. Bisa juga untuk membuat jus buah untuk konsumsi sendiri ataupun dijual di gerai eceran. Kita tinggal menambahkan gula dan air.

Adapun Sutomo, pemilik PT Semesta Alam Petro, hanya khusus membuat puree buah markisa. Cara pembuatannya sedikit berbeda.

Sutomo mengambil daging markisa dan memisahkan bijinya. Lalu, dia membekukan air sari buah markisa. "Selanjutnya, terserah mau membuat sirup atau jadi bahan kue," kata Sutomo.

Sutomo melihat bisnis puree markisa memiliki pasar yang potensial. Saat ini dia tengah melayani pengiriman puree markisa untuk pasar Australia. Setiap tiga bulan sekali dia mengirim 15 ton puree markisa ke Australia.

Untuk pasar ekspor, Sutomo menjual puree markisa itu seharga 1,9 dollar AS per kilogram. Alhasil, Sutomo meraup omzet Rp 90 juta-Rp 100 juta saban bulan dengan margin keuntungan 30 persen.

Untuk melayani kebutuhan pasar lokal, Sutomo memproduksi puree markisa dalam bentuk sirop. Sirop tersebut terbuat dari sari markisa murni yang dipanaskan dan ditambah gula sebagai pengawet.

Dia menjual sirop markisa ini di Jakarta dan Surabaya dengan harga grosir Rp 10.000 per botol ukuran 500 mililiter. Karena produk baru, Sutomo mengumpulkan omzet Rp 20 juta per bulan. "Marginnya sangat kecil, hanya sekitar 5 persen," kata Sutomo.

Sutomo melihat prospek bisnis puree markisa sangat cerah, khususnya untuk pasar mancanegara. Pasokannya ke Australia itu hanya separuh dari permintaan pasar di sana. Adapun kebutuhan puree markisa di Eropa mencapai 120.000 ton setahun. Kebutuhan tersebut merupakan 30 persen total dari kebutuhan dunia. Minat?

Rabu, 28 April 2010

Petersaysdenim, dari Bandung untuk Dunia


Sewaktu masih duduk di bangku sekolah menengah atas, Peter Firmansyah terbiasa mengubek-ubek tumpukan baju di pedagang kaki lima. Kini, ia adalah pemilik usaha yang memproduksi busana yang sudah diekspor ke beberapa negara.

Tak butuh waktu relatif lama. Semua itu mampu dicapai Peter hanya dalam waktu 1,5 tahun sejak ia membuka usahanya pada November 2008. Kini, jins, kaus, dan topi yang menggunakan merek Petersaysdenim, bahkan dikenakan para personel kelompok musik di luar negeri.

Sejumlah kelompok musik itu seperti Of Mice & Man, We Shot The Moon, dan Before Their Eyes, dari Amerika Serikat, I am Committing A Sin, dan Silverstein dari Kanada, serta Not Called Jinx dari Jerman sudah mengenal produksi Peter. Para personel kelompok musik itu bertubi-tubi menyampaikan pujiannya dalam situs Petersaysdenim.

Pada situs-situs internet kelompok musik itu, label Petersaysdenim juga tercantum sebagai sponsor. Petersaysdenim pun bersanding dengan merek-merek kelas dunia yang menjadi sponsor, seperti Gibson, Fender, Peavey, dan Macbeth.

Peter memasang harga jins mulai Rp 385.000, topi mulai Rp 200.000, tas mulai Rp 235.000, dan kaus mulai Rp 200.000. Hasrat Peter terhadap busana bermutu tumbuh saat ia masih SMA. Peter yang lalu menjadi pegawai toko pada tahun 2003 kenal dengan banyak konsumennya dari kalangan berada dan sering kumpul-kumpul. Ia kerap melihat teman-temannya mengenakan busana mahal.

”Saya hanya bisa menahan keinginan punya baju bagus. Mereka juga sering ke kelab, mabuk, dan ngebut pakai mobil, tapi saya tidak ikutan. Lagi pula, duit dari mana,” ujarnya.

Peter melihat, mereka tampak bangga, bahkan sombong dengan baju, celana, dan sepatu yang mereka dipakai. Harga celana jins saja, misalnya, bisa Rp 3 juta. ”Perasaan bangga seperti itulah yang ingin saya munculkan kalau konsumen mengenakan busana produk saya,” ujarnya.

Peter kecil akrab dengan kemiskinan. Sewaktu masih kanak-kanak, perusahaan tempat ayahnya bekerja bangkrut sehingga ayahnya harus bekerja serabutan. Peter pun mengalami masa suram. Orangtuanya harus berutang untuk membeli makanan.

Pernah mereka tak mampu membeli beras sehingga keluarga Peter hanya bergantung pada belas kasihan kerabatnya. ”Waktu itu kondisi ekonomi keluarga sangat sulit. Saya masih duduk di bangku SMP Al Ma’soem, Kabupaten Bandung,” kata Peter.

Sewaktu masih SMA, Peter terbiasa pergi ke kawasan perdagangan pakaian di Cibadak, yang oleh warga Bandung di pelesetkan sebagai Cimol alias Cibadak Mall, Bandung. Di kawasan itu dia berupaya mendapatkan produk bermerek, tetapi murah. Cimol saat ini sudah tidak ada lagi. Dulu terkenal sebagai tempat menjajakan busana yang dijual dalam tumpukan.

Selepas SMA, ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Widyatama, Bandung. Namun, biaya masuk perguruan tinggi dirasakan sangat berat, hingga Rp 5 juta. Uang itu pemberian kakeknya sebelum wafat. Tetapi, tak sampai sebulan Peter memutuskan keluar karena kekurangan biaya. Ia berselisih dengan orangtuanya—perselisihan yang sempat disesali Peter—karena sudah menghabiskan biaya besar.

Mulai dari nol

Ia benar-benar memulai usahanya dari nol. Pendapatan selama menjadi pegawai toko disisihkan untuk mengumpulkan modal. Di sela-sela pekerjaannya, ia juga mengerjakan pesanan membuat busana. Dalam sebulan, Peter rata-rata membuat 100 potong jaket, sweter, atau kaus. Keuntungan yang diperoleh antara Rp 10.000- Rp 20.000 per potong.

”Gaji saya hanya sekitar Rp 1 juta per bulan, tetapi hasil dari pekerjaan sampingan bisa mencapai Rp 2 juta, he-he-he…,” kata Peter. Penghasilan sampingan itu ia dapatkan selama dua tahun waktu menjadi pegawai toko hingga 2005.

Pengalaman pahit juga pernah dialami Peter. Pada tahun 2008, misalnya, ia pernah ditipu temannya sendiri yang menyanggupi mengerjakan pesanan senilai Rp 14 juta. Pesanannya tak dikerjakan, sementara uang muka Rp 7 juta dibawa kabur. Pada 2007, Peter juga mengerjakan pesanan jins senilai Rp 30 juta, tetapi pemesan menolak membayar dengan alasan jins itu tak sesuai keinginannya.

”Akhirnya saya terpaksa nombok. Jins dijual murah daripada tidak jadi apa-apa. Tetapi, saya berusaha untuk tidak patah semangat,” ujarnya.

Belajar menjahit, memotong, dan membuat desain juga dilakukan sendiri. Sewaktu masih sekolah di SMA Negeri 1 Cicalengka, Kabupaten Bandung, Peter juga sempat belajar menyablon. Ia berprinsip, siapa pun yang tahu cara membuat pakaian bisa dijadikan guru.

”Saya banyak belajar sejak lima tahun lalu saat sering keliling ke toko, pabrik, atau penjahit,” katanya. Ia juga banyak bertanya cara mengirim produk ke luar negeri. Proses ekspor dipelajari sendiri dengan bertanya ke agen-agen pengiriman paket.

Sejak 2007, Peter sudah sanggup membiayai pendidikan tiga adiknya. Seorang di antaranya sudah lulus dari perguruan tinggi dan bekerja. Peter bertekad mendorong dua adiknya yang lain untuk menyelesaikan pendidikan jenjang sarjana. Ia, bahkan, bisa membelikan mobil untuk orangtuanya dan merenovasi rumah mereka di Jalan Padasuka, Bandung.

”Kerja keras dan doa orangtua, kedua faktor itulah yang mendorong saya bisa sukses. Saya memang ingin membuat senang orangtua,” katanya. Jika dananya sudah mencukupi, ia ingin orangtuanya juga bisa menunaikan ibadah haji.

Meski kuliahnya tak rampung, Peter kini sering mengisi seminar-seminar di kampus. Ia ingin memberikan semangat kepada mereka yang berniat membuka usaha. ”Mau anak kuli, buruh, atau petani, kalau punya keinginan dan bekerja keras, pasti ada jalan seperti saya menjalankan usaha ini,” ujarnya.

Merek Petersaysdenim berasal dari Peter Says Sorry, nama kelompok musik. Posisi Peter dalam kelompok musik itu sebagai vokalis. ”Saya sebenarnya bingung mencari nama. Ya, sudah karena saya menjual produk denim, nama mereknya jadi Petersaysdenim,” ujarnya tertawa.

Peter memanfaatkan fungsi jejaring sosial di internet, seperti Facebook, Twitter, dan surat elektronik untuk promosi dan berkomunikasi dengan pengguna Petersaysdenim. ”Juli nanti saya rencana mau ke Kanada untuk bisnis. Teman-teman musisi di sana mau ketemu,” katanya.

Akan tetapi, ajakan bertemu itu baru dipenuhi jika urusan bisnis selesai. Ajakan itu juga bukan main-main karena Peter diperbolehkan ikut berkeliling tur dengan bus khusus mereka. Personel kelompok musik lainnya menuturkan, jika sempat berkunjung ke Indonesia ia sangat ingin bertemu Peter. Ia melebarkan sayap bisnis untuk memperlihatkan eksistensi Petersaysdenim terhadap konsumen asing.

”Pokoknya, saya mau ’menjajah’ negara-negara lain. Saya ingin tunjukkan bahwa Indonesia, khususnya Bandung, punya produk berkualitas,” ujarnya.