Ebiz Ads

Sabtu, 11 Juni 2011

Modal Rp 2 Juta, Kini Punya 25 Pekerja


Belajar dari pembeli dan melihat tren di pasar, kini Wawan si perajin gelang kayu dari Situbondo, mampu memasarkan produknya hingga ke India. "Saya tahun 2002 mulai usaha ini, tapi dimulai dengan gantungan kunci," ujar Wawan.

Selang empat tahun setelahnya, ia pun mencoba untuk membuat gelang dari kayu. Pemilik Mentari Handycraft ini membuat produk ini karena melihat pasarnya di daerah Yogyakarta dan Bali cukup besar.

"Dari (gelang) polos, kita kreatif, ada ukir, ada gelang dengan menggunakan tambahan (penghias) pasir. Jadi gelang kayu dilapisi pasir laut," ungkapnya, yang memulai usaha dengan modal Rp 2 juta, untuk pembelian kayu.

Ia terus berinovasi dalam membuat gelang ini. Berbagai macam warna, hingga pemakaian gliter dicobanya. Bukan hanya gelang yang dihasilkannya, jika ada permintaan barang seperti tas, kalung, hingga cincin dari kayu akan diladeninya. "Kalau ada pesanan apapun, akan saya kerjain. Asal dari kayu," tuturnya.

Usaha yang dikerjakan bersama dengan adiknya ini, memiliki 25 orang pekerja. Di mana pekerja ini, ia rekrut dari masyarakat setempat. Bahkan mereka yang sedang pengangguran pun ia ajak.

Kayu yang ia pakai untuk kerajinan ini, disebut kayu mimbo. Namun, kalau di Situbondo sedang kosong untuk kayu tersebut, maka ia mendapatkannya dari Asembagus, hingga Banyuputih. Untuk ketersediaan kayu tersebut, ia memiliki 25 orang yang menjadi supliernya.

Mengenai persaingan di usaha sejenis, ia menyebutkan masing-masing daerah punya motif yang berbeda. Bahkan ada puluhan perajin yang berada di jenis usaha yang sama di kota asalnya, Situbondo. "Ya puluhan. Dan juga kebanyakan yang bikin itu dia jual mentahan juga. Kalau saya jual yang sudah jadi," tuturnya.

Sebagaimana usaha rakyat lainnya, modal menjadi kendala Wawan untuk mengembangkan usahanya. Karena setiap pesanan, ia butuh uang muka sekitar 50 persen dari jumlah pesanan untuk modal pembuatan. Nah, kesulitannya, ia menuturkan kalau pembeli mau bayar jika pesanan sudah selesai.

Ia mengungkapkan pernah masuk sebagai mitra binaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tidak bertahan lama karena jaminannya harus besar. Sedangkan pendapatan yang ia punya masih terbilang kecil.

Dari segi omzet, meski tidak menyebutkan angka pastinya, Wawan mengaku bisa memanen uang jika musim libur tiba. Saat liburan, menurutnya omzet bisa mencapai 200 persen dari normal karena permintaan dari Bali dan Jogja biasanya naik.

Mengenai produksi, ia menyebutkan bisa memproduksi 6.000 gelang per harinya dengan rentang harga jual dari Rp 5.000 hingga Rp 30.000. Angka tersebut merupakan produksi rata-rata mengingat produksinya biasanya berdasarkan pesanan. Dan, wilayah yang jadi pemasarannya di Indonesia, yaitu Jogjakarta, Surabaya, dan Bali. "Cuma dari Bali ya itu ada yang dikirim ke Malaysia (dan) India," sebutnya, yang dikirim melalui distributor.

Ia menuturkan, gelang banyak disukai turis asing karena bahannya yang alami. Selain pengiriman ke daerah tersebut, ia juga menitipkan barangnya di sejumlah rumah makan dan toko.

Pria yang pernah mencicipi dunia media selama 15 tahun ini pun mengungkapkan akan mencoba bahan tambahan lain seperti pelepah pisang dan kulit telur bagi karyanya. "Yang penting alam," serunya.

Ia juga akan coba membuat kalung berbahan kayu dan batok kelapa. Sementara bahan, ia akan tetap memakai kayu, sebagai bahan utama. "Karena ada (bahan) alam di tempat saya paling banyak itu kayu. Jadi kita manfaatin apa yang ada di alam kita, di Situbondo," sebutnya.

Mengolah Kresek Bekas Raup Rp 10 Juta


Siapa sangka, tas plastik alias kresek bekas bisa menjadi baju pengantin. Di tangan Erni S Nandang, limbah yang sulit terurai ini tak hanya bisa jadi bahan baju pengantin seharga jutaan rupiah, tetapi juga berbagai perlengkapan dan suvenir pernikahan. Dia pun dapat mengantongi omzet minimal Rp 10 juta per bulan dari bisnisnya tersebut.

Mungkin tidak ada dalam benak Anda, kantong plastik atawa kresek bekas bisa menjelma menjadi gaun pengantin. Tas kresek bekas juga dapat diolah menjadi aneka suvenir, kartu undangan, dan tempat hantaran prosesi pernikahan.

Beragam produk pernikahan berbahan baku kresek bekas itu lahir dari tangan Erni Suhaina Ilham Fadzry, atau populer dengan Erni S Nandang. Dia adalah pemilik Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Bu Nandang di Cilacap, Jawa Tengah. Erni membuat pernak-pernik pernikahan berbahan baku kresek bekas pertama kali pada awal 2010.

Saat itu, ada salah satu anak didiknya di LPK Bu Nandang yang akan menikah. Kebetulan, orang itu peserta terbaik LPK. Karena itu, "Saya putuskan untuk memberi hadiah berupa kartu undangan, suvenir, dekorasi, dan gaun pengantin dari kresek bekas," kata Erni. Ya, LPK Bu Nandang selama ini memang lebih banyak bergerak dalam pelatihan kerajinan dari bahan baku limbah.

Di luar dugaan, banyak pengunjung pesta pernikahan anak didiknya itu yang tertarik dengan karya-karya Erni dari kresek bekas. Sejak saat itu, permintaan produk-produk perlengkapan pernikahan dari kresek bekas terus berdatangan. Erni lalu menjadikan usaha kerajinan ini sebagai bisnis intinya.

Tren dan kesadaran masyarakat terhadap produk ramah lingkungan, menurut Erni, membuat orang menyerbu barang-barang berbau go green. "Inilah yang membuat usaha kerajinan dari kresek bekas saya maju pesat," ujar dia.

Walaupun terbuat dari kresek bekas, baju pengantin bikinan Erni dijamin tidak gampang sobek atau menimbulkan alergi di kulit. Bahkan, dia juga membuat model baju pengantin yang lagi tren saat ini.

Untuk membuat baju pengantin tersebut, Erni mengumpulkan kresek bekas dari warga sekitar. Untuk itu, dia menyediakan tempat sampah khusus untuk menampung kresek bekas di lingkungan tempat tinggalnya di daerah Cilacap.

Erni juga mendapat pasokan dari para peserta didik LPK Bu Nandang yang juga sering membawa kresek bekas dari rumah mereka masing-masing.

Walaupun lebih mudah mendapatkannya, Erni menolak menggunakan kresek baru sebagai bahan baku baju pengantin atau produk pernikahan lainnya. "Kalau memakai kresek yang baru, nilai penyelamatan lingkungannya tidak ada sama sekali," tuturnya.

Walaupun prosesnya lumayan panjang, Erni tak mengalami kesulitan dalam pembuatan gaun pengantin atau produk pernikahan lainnya dari plastik kresek bekas.

Setelah terkumpul, kresek bekas kemudian dibersihkan dan dipilah-pilah. Er
ni memilih plastik yang kuat sebab ada juga kresek yang terlalu rapuh untuk menjadi bahan baku utama. Dalam proses pembuatannya, Erni juga memanfaatkan alat khusus untuk mengubah kresek menjadi lembaran sehingga lebih rapih.

Kresek yang sudah berbentuk lembaran lalu digulung sampai kecil dan diikat dengan gelang karet. Setelah itu, ikatan plastik tersebut digabungkan hingga berbentuk segitiga.

Proses selanjutnya adalah menempelkan kresek yang telah berbentuk segitiga pada pola dengan cara dijahit. Pola-pola dasar itu kemudian disatukan hingga menjadi gaun pengantin.

Erni menambahkan glitter dan pernak-pernik lain, seperti mutiara yang terbuat dari kabel bekas untuk membuat baju pengantin lebih manis. "Saya banyak dibantu murid LPK Bu Nandang," katanya.

Untuk membikin satu set baju pengantin pria dan wanita, Erni membutuhkan kurang lebih 1.000 kresek bekas. Agar lebih alami, ia sengaja tidak menggunakan pewarna sama sekali.

Karena kebutuhan kresek bekas yang besar dan demi menjaga kelancaran produksi, Erni membangun tiga gudang penyimpanan kantong plastik bekas. Namun, ia mengungkapkan, keberadaan ketiga gudang itu pernah menyulut protes sang suami. "Akan tetapi, saya jawab nanti itu akan jadi uang," kata Erni tertawa.

Betul saja, kresek bekas kini memang jadi tambang uang. Pasalnya, harga jual satu set pakaian pengantin mencapai jutaan rupiah. Sayangnya, dia tidak mau blak-blakan mengungkap berapa harga pastinya. Alasannya, harga baju pengantin buatannya bergantung model yang diminta. "Memang mahal, karena ini langka. Kalau diibaratkan musik, ini termasuk jazz," kata Erni.

Namun, Erni menuturkan, masih banyak masyarakat yang ragu memakai baju pengantin dari kresek bekas. Makanya, pesanannya tak sebanyak produk pernikahan buatannya yang juga terbuat dari kresek bekas, seperti kartu undangan dan suvenir.

Dengan bahan bekas itu, Erni juga membuat tempat hantaran pernikahan dengan bentuk Candi Borobudur. Harga jualnya cuma Rp 35.000 per unit. Adapun harga produk suvenir mulai Rp 500 per unit. Dalam setiap pemesanan, dia minimal mendapat order pembuatan 10 hantaran dan 1.000 suvenir.

Jika ditambah pesanan pakaian pengantin, ia mendapat omzet paling sedikit Rp 10 juta setiap bulan. Pendapatannya akan lebih besar lagi kalau Erni memperoleh pesanan baju lebih banyak lagi. Maklum, "Marginnya besar sebab modalnya, kan, hanya keterampilan," katanya.

Berbagai pelatihan, baik tentang pembuatan produk dari limbah maupun mengenai kesadaran lingkungan, menjadi ajang promosi produk-produk Erni.