Ebiz Ads

Sabtu, 20 Februari 2010

Emily, Dara Peretas Ekspor Beras Organik


Tak ada yang mengira kalau dara ini salah satu sosok penting di balik suksesnya Indonesia mengekspor beras organik untuk pertama kali. Dia akrab dengan petani. Ia bersentuhan langsung dengan mereka. Dia juga bukan tipikal pengusaha yang gemar menekan petani kecil.

Dengan bendera PT Bloom Agro yang ia dirikan setahun lalu, Emily mengekspor beras organik bersertifikat ke Amerika Serikat. Tahap awal pengiriman sebanyak 18 ton. Pengapalan ekspor beras organik perdana ini dilakukan melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Beras organik yang diekspor tak sembarang organik, tapi organik bersertifikat. Kata ”bersertifikat” sekadar membedakan produk beras organik ini dengan beras ”organik” yang ada di pasaran, tetapi sesungguhnya tak mengikuti standar produksi beras organik.

Sertifikat beras organik dikeluarkan Institute for Marketecology, lembaga sertifikasi organik internasional, berbasis di Swiss, yang terakreditasi mendunia.

Logo sertifikat yang dikeluarkan pun tak tanggung-tanggung, langsung untuk tiga negara, yakni AS dengan US Department of Agricultural National Organic Program, Uni Eropa, dan Jepang dengan Japanese Agricultural Standard.

Dengan kata lain, beras organik itu sudah mendapatkan ”paspor” untuk masuk ke negara-negara yang paling ketat memberlakukan sistem keamanan pangannya di dunia.

Beras organik ini diproduksi oleh para petani kecil di tujuh kecamatan di Tasikmalaya, Jabar. Mata rantai dalam sistem perdagangan pun mengadopsi prinsip fair trade, yang oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono disebut-sebut sebagai yang pertama dilakukan oleh pengusaha beras ekspor Indonesia.

Dengan mengadopsi prinsip fair trade atau sistem perdagangan berkeadilan, tujuan menyejahterakan petani bukan lagi omong kosong. Bila suatu kali kedapatan petani organik mengalami tekanan harga, pemutusan kontrak kerja sama ekspor terjadi.

Oleh karena alasan fair trade dan kemanusiaan itulah, Emily tak akan mau menekan harga beli beras. Usaha penggilingan padi yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani yang dikelola Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik bantuan Departemen Pertanian ini dibiarkan tumbuh bersama.

Dia tak harus membeli beras dari petani, tetapi cukup melalui Gapoktan Simpatik agar petani mendapat nilai tambah. Gabah organik setelah diproses di penggilingan milik petani menjadi beras dibeli Emily dengan harga Rp 8.000 per kilogram.

Dengan harga beli yang tinggi, Gapoktan membeli gabah kering pungut dari petani anggotanya dengan harga Rp 3.500 per kilogram atau lebih tinggi Rp 1.500 dibandingkan gabah nonorganik. Pada tahap ini jalur perdagangan semakin pendek dan tidak ada celah bagi tengkulak.

Semakin mantap lagi posisi petani ketika model penanaman padi dengan sistem intensif membuat ada petani yang mampu meningkatkan produktivitas padinya hingga menghasilkan 10 ton gabah kering panen.

Dengan produktivitas setinggi itu, pendapatan kotor petani dalam satu musim tanam (empat bulan) bisa sekitar Rp 35 juta. Apabila dalam setahun padi bisa ditanam tiga kali, pendapatan kotor petani dengan lahan 1 hektar dapat menembus Rp 105 juta.

Kisah perjumpaan Emily dengan beras organik terjadi secara tidak sengaja. Peraih gelar master bidang Manajemen Internasional dan Mass Communication dari Pepperdine University, Los Angeles, California, dan Bond University, Australia, ini pada awal 2008 ditawari Solihin GP, yang dia sebut sahabat keluarganya.

Kala itu Emily masih ragu. Dia sangsi, apa benar ada beras yang benar-benar organik di Indonesia. Karena gamang, ia lalu pergi ke Tasikmalaya, dan melihat langsung proses produksi beras organik.

Emily terpana. Mengapa selama ini konsumen beras organik dunia hanya tahu beras organik Thailand saja? Padahal, di Indonesia beras organiknya jauh lebih bagus. Produk beras organik yang dihasilkan begitu orisinal. Secara fisik, beras organik itu lebih empuk dan berat, pertanda banyak kandungan serat dan vitamin.

Proses produksinya juga penuh cinta karena dilakukan secara tradisional. Makin terpikat lagi Emily ketika tahu semangat petani yang berapi-api untuk mengekspor beras organik itu. Namun, mereka tak tahu bagaimana caranya.

”Kalau beras organik dari petani bisa diekspor, ini bisa memacu semangat petani untuk lebih maju,” katanya.

Langkah selanjutnya giliran sertifikasi. Emily menjalani proses ini sampai tiga bulan. Dia memerlukan sertifikasi itu, dengan pertimbangan agar ke depan produksi beras organik bisa berkelanjutan. Di sini perlu diterapkan sistem pengawasan yang dilakukan internal dalam kelompok antarpetani. Dalam hal ini kejujuran petani benar-benar diuji.

Setelah produknya beres, mulailah ia melirik pasar ekspor. Kebetulan dari Cornell University, AS, juga sedang menggarap produk pertanian organik. Jadilah dia dipertemukan dengan calon pembeli, Lotus Foods, yang sangat mendukung program pelestarian lingkungan.

Bagi Emily, merintis jalan ekspor tidak mudah. Apalagi, sejak usia sembilan tahun ia tinggal di Singapura, AS, dan Australia untuk belajar. Baru sekitar dua tahun lalu dia kembali ke Indonesia. Untuk berkomunikasi dia tak hanya terkendala budaya, tetapi juga bahasa.

Kemal Arsjad, Bangkit lewat Tombol BlackBerry


Bangkit dari masa lalu yang kelam. Begitulah tekad yang dijalankan Kemal Arsjad hingga sukses mendirikan Better-B, perusahaan pembuat aplikasi telepon seluler BlackBerry.

Sekalipun lahir dari keluarga yang mapan dan kuliah di Universitas Pelita Harapan (UPH) yang mahal, Kemal harus menjalani masa muda yang kelabu.

Sembari kuliah di Jurusan Marketing UPH, pada 1994, Kemal menjalankan bisnisnya, mengelola gokart off road dan berbagai event organizer di Bukit Sentul. Bisnisnya lumayan sukses. Tapi, sayang, Kemal terjerumus dalam dunia obat-obatan terlarang. Alhasil, kuliahnya pun molor tujuh tahun dan hampir drop out (DO).

Bukan itu saja. Duitnya nyaris habis. “Pada tahun 2000, saya bangkrut dan sempat tidak punya apa-apa lagi,” kenang Kemal. Untungnya, ia bisa lulus kuliah pada 2001.

Biarpun sudah bangkrut, Kemal masih belum putus asa. Ia ingin membangun kembali bisnisnya. Hanya, pintu jaringan sudah tertutup baginya. “Cap anak bengal sudah melekat. Kala itu benar-benar saya terpuruk,” kenang Kemal, pahit.

Kemal lalu memutuskan untuk menjalani rehabilitasi di sebuah pondok pesantren. “Saya mulai menyadari kesalahan,” ujar Kemal, sembari senyum.

Setelah lulus kuliah pada 2001, Kemal sempat kerja di Elnusa. Saat bertugas ke Dumai, Riau, kepekaan sosial Kemal disentil. Ia melihat masyarakat Dumai tidak banyak menikmati kekayaan minyak di tanah mereka sendiri. Melihat kondisi itu, Kemal termotivasi untuk bangkit dan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Ia pun memberanikan diri keluar dari pekerjaannya.

Titik balik kehidupan Kemal lahir dari sebuah ketidaksengajaan. Karena sangat menggemari gadget, Kemal tertarik untuk menjalankan bisnis yang berkaitan dengan gadget.

Memang, latar belakang pendidikannya bukan di dunia teknologi informasi. Tapi, Kemal paham benar mengenai gadget. Maklum, ia ganti ponsel setiap dua bulan–tiga bulan sekali.

Nah, ide untuk berbisnis TI berawal dari ponsel pintar BlackBerry, yang dibeli Kemal pada tahun 2006. Dari pengalaman memakai BlackBerry, Kemal tahu bahwa terjadi pergeseran pada para pemakai ponsel pintar tersebut. Pasalnya, orang tidak hanya menggunakan BlackBerry untuk berkomunikasi belaka, namun juga untuk menikmati hiburan. “Itu menjadi celah bisnis,” ujar lelaki kelahiran 1976 ini.

Kemal lalu bergabung dengan milis BlackBerry dunia. Dari hasil diskusi dengan beberapa anggota komunitas BlackBerry, ia menggali kebutuhan konsumen ponsel. Bersama teman-temannya, Kemal lalu mulai mengeksplorasi dan mencoba membuat beberapa aplikasi untuk layanan smartphone itu.


Kemal kemudian mencoba mencari informasi bagaimana cara menjadi rekanan Research in Motion (RIM) selaku produsen BlackBerry yang berbasis di Kanada. Ia mengirim e-mail permohonan ke Kanada.

Sayang, usaha Kemal tidak membuahkan hasil. Tidak ada satu pun pejabat RIM yang menjawab e-mailnya. Sampai suatu ketika di tahun 2008, Kemal bertemu dengan manajer marketing senior RIM Asia Pasifik pada acara BlackBerry di Senayan City, Jakarta.

Kemal memberanikan diri menyampaikan ide untuk membuat aplikasi BlackBerry. Dengan bekal pengetahuan di bidang pemasaran dan hobi gadget-nya, Kemal menjelaskan secara singkat tentang hitung-hitungan potensi pasar dan pendapatan secara umum. “Hebatnya, mereka percaya dan tertarik. Benar-benar pengalaman yang luar biasa,” kata bapak satu anak tersebut.

Pada akhir 2008, Kemal bersama ketiga temannya mendirikan PT Diantara Kode Digital, pengembang software aplikasi BlackBerry dengan nama Better-B. Perusahaan ini pun kemudian menjadi rekanan RIM. “Kami menyediakan aplikasi BlackBerry untuk pelanggan ritel dan korporat,” katanya.

Kemal juga menyambangi tiga operator telekomunikasi besar untuk bekerjasama melengkapi konten aplikasi mereka. Salah satunya, Better-B membuat sistem belanja dengan ponsel alias virtual mall.

Dengan virtual mall, pelanggan bisa mengunduh aplikasi, wallpaper, ring tone, info merchant yang menawarkan diskon, sampai tip bermanfaat. “Kami akhirnya bekerjasama dengan PT Excelcomindo Pratama (XL) dengan nama layanan XL Mall,” tutur Kemal.

Total, Better-B menyediakan sebanyak 30 aplikasi untuk pelanggan BlackBerry XL, baik ritel maupun korporat. Saat ini, menurut Kemal, lebih dari 40.000 pelanggan BlackBerry XL aktif mengakses aplikasi XL Mall setiap bulan.

Walhasil, dengan tarif berkisar Rp 5.000–Rp 15.000 setiap kali download, total pendapatan dari aplikasi itu mencapai Rp 500 juta per bulan. Karena Better-B mendapat jatah bagian 40 persen, omzet Kemal mencapai Rp 200 juta sebulan, hanya dari satu aplikasi itu saja.

Jumat, 19 Februari 2010

Rohprihati, Keset "The Power of Kepepet"


Kegundahan Rohprihati menyaksikan banyak tetangga di desanya terkena pemutusan hubungan kerja massal pada tahun 1998 berujung manis. Ia memotori kerajinan keset dari kain limbah industri garmen yang menyerap korban PHK di sekitar rumahnya. Kini sudah lebih dari 700 orang yang menggeluti usaha keset itu.

Pengaruh krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1997 begitu terasa di Desa Wonoyoso, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Banyak perusahaan gulung tikar dan memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya. Akibatnya, banyak orang yang merupakan tulang punggung keluarga kehilangan mata pencarian.

Para orangtua bingung kehabisan uang untuk membeli makanan, sedangkan anak-anak terpaksa putus sekolah. Efek tak langsung juga mulai dirasakan. Persoalan sosial muncul. Keluarga menjadi tidak harmonis, banyak anak-anak kongko dan minum minuman keras. Meski tak terlalu kentara, terindikasi pula perempuan yang ”dijual” di luar Jawa.

Kondisi lingkungannya yang memprihatinkan itulah yang memancing Rohprihati berbuat sesuatu. Dia mengakui tindakannya bukan didasari keinginan mencari keuntungan. Secara ekonomi ia tak bermasalah karena usaha mebel dan kasur kapuk yang dirintis sejak tahun 1989 masih mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Omzet usaha kasurnya saat itu mencapai Rp 12 juta per pekan.

Ibu dua anak itu kemudian mulai mengajak tetangganya membuat kerajinan. Keset menjadi pilihan karena komoditas itu bisa diserap oleh seluruh lapisan masyarakat. Bahan baku kain perca limbah industri juga mudah didapat karena di sekitar Pringapus terdapat banyak industri garmen. Usaha ini juga dianggap ramah lingkungan karena memanfaatkan barang-barang yang sesungguhnya sudah dianggap sebagai ”sampah” industri.

”Saat itu, karena belum tahu cara membuat keset, kami membeli di pasar. Kami preteli satu per satu supaya tahu bagaimana cara membuatnya,” ungkap Rohprihati.

Merintis usaha itu ternyata sukar-sukar mudah. Korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari industri garmen bisa cepat menyesuaikan diri, tetapi ada pula ibu-ibu yang masih kewalahan akibat belum terbiasa menjahit secara cepat dan rapi. Awalnya, setiap orang baru bisa memproduksi tiga hingga empat keset per hari. Namun, setelah mahir bisa mencapai 10 hingga 15 keset per hari.

Wilayah pemasaran keset itu sudah menembus Bali, Kalimantan, dan Sumatera. Harga jualnya juga bervariasi, mulai dari Rp 1.500 hingga Rp 35.000 per buah. Harga jual ini tergantung kerapian jahitan ataupun motif dan bentuk keset. Sementara itu, harga bahan baku rata-rata Rp 700 per keset.
Dengan harga jual itu, perajin sudah bisa mendapatkan penghasilan yang tidak terlalu kecil, sekitar Rp 25.000 per hari jika hanya membuat keset tanpa motif rumit. Perajin yang digerakkan Rohprihati diminta terus berinovasi menciptakan bentuk-bentuk keset menarik, misalnya berbentuk ikan, kura-kura, kupu-kupu, ataupun panda.

Rohprihati mengenang masa-masa awal itu. Dia menuturkan, kemampuan tetangganya membuat keset itu sebagai the power of ”kepepet”. Saat sudah tak ada lagi jalan lain yang terpikirkan, mereka akhirnya hanya bisa mengeluarkan seluruh daya kemampuan agar bisa membuat keset.

Rohprihati yang menjadi ”provokator” warga membuat keset akhirnya membeli produk itu dengan modal pinjaman. Namun, muncul beberapa persoalan lanjutan. Kesulitan pasar, misalnya, sempat menjadi kendala serius. Ia akhirnya menggunakan relasi dan saudara-saudaranya untuk memasarkan keset. Dia menitipkan keset kepada kenalan yang mau membantu. Usaha itu tidak sia-sia. Pemasaran mulai berjalan baik.

Selain kendala itu, usaha ini juga sangat rentan karena tingkat ketergantungan bahan baku dengan industri sangat tinggi. Hal ini coba diatasi dengan mencari bahan baku tidak hanya dari satu perusahaan. Bahkan, dia juga mencoba mencari bahan baku hingga ke luar Jawa Tengah.

Melihat keberhasilan usaha itu, jumlah perajin yang bergabung dalam UD Anugerah binaan Rohprihati bertambah banyak. Saat ini para perajin tak lagi hanya ibu-ibu, tetapi juga remaja. Pada tahun 2006 ada 400 perajin, tak hanya di Kecamatan Pringapus, tetapi meluas ke Kecamatan Bawen. Bahkan, saat ini jumlahnya sudah menembus 700 perajin hingga di Kecamatan Tuntang yang berbatasan dengan Kota Salatiga. Sebagian sudah mandiri, tak lagi menginduk ke UD Anugerah.

”Saya juga tidak pernah menghalangi kalau mereka mau mandiri atau menjual sendiri keset itu. Saya tetap menampung dan memasarkan keset untuk jalan keluar bila mereka menemui masalah. Jadi usaha ini bisa jalan terus,” katanya.

Sepak terjang dan sentuhan langsung dengan masyarakat itu yang memuluskan langkahnya saat mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Semarang dari Partai Demokrat, April 2009. Dia mampu meraih 4.848 suara pemilih dari Kecamatan Pringapus, Bawen, dan Tuntang. Suara yang diraihnya lebih dari separuh suara untuk partainya di daerah pemilihan itu yang sekitar 9.000 pemilih. Tiga daerah itu merupakan wilayah ”gerilya” Rohprihati dalam memberikan pelatihan kerajinan tangan.

Dia mengaku ingin memanfaatkan posisinya sebagai anggota Komisi B DPRD Kabupaten Semarang untuk mendorong perkembangan usaha kecil. Hal ini sesuai dengan kewenangan komisi yang didudukinya. Rohprihati mengatakan, selama ini dengan berada di luar sistem dia hanya bisa mendorong perkembangan usaha kecil dalam lingkungan terbatas.

Rabu, 17 Februari 2010

Adji, dari Studio Menjelma Perusahaan Iklan Terkemuka


Bagaimana membalik citra produk rokok yang identik dengan gaya kampungan, murah, dan ketua-tuaan bisa menjadi tren anak muda? Maka, tengoklah iklan Djarum Coklat yang menggandeng penyayi Padi, Nugie, dan Gigi yang tampil dengan jingle-nya yang akrab di telinga.

Atau lihat pula iklan Jamu Tolak Angin yang muncul dengan tagline-nya 'Orang pintar minum Tolak Angin', telah meninggalkan jauh-jauh kesan sebagai produk pinggiran. Di balik iklan-iklan itu, ada PT Dwi Sapta Pratama yang dinahkodai oleh Aloysius Adji Watono yang sukses membalik citra produk-produk tersebut. 

Mestinya, iklan-iklan buatan Adji sudah akrab bagi pemirsa televisi. Sebut saja, Djarum Coklat, Vegeta, Mixagrip, Tolak Angin, Adem Sari, Twister, dan masih banyak iklan televisi lainnya yang berhasil ditelurkan oleh pria kelahiran Kudus, 60 tahun lalu ini. Hasilnya pun sangat maksimal dan iklan buatannya mendapat sambutan hangat di tengah masyarakat.

Namun, siapa sangka bahwa perusahaan agensi periklanan beromzet ratusan miliar rupiah ini dulunya hanya berupa studio fotografi. Saat itu, dengan bekal Rp 10 juta, Adji nekat mendirikan Studio 27 di kawasan Rawamangun, Jakarta, pada 1981.

Alasannya, hanya lantaran dirinya hobi jepret-jepret dan memotret model yang cantik.
"Karena saya suka wong wedok ayu (cewek cantik). Karena saya senang motret-motret, terus ya tak buka aja Studio Foto 27," ujar Adjie

Awal berdiri, Dewi Fortuna seolah enggan datang lantaran order foto tak menghampiri setiap hari. Akhirnya, baru setahun kemudian order besar datang dari raksasa produk rokok nasional, PT Djarum, yang memberikan order pemotretan foto-foto produk untuk iklan, brosur, dan company profile.

Hasil foto yang bagus ternyata memberikan kepuasan terhadap Djarum hingga akhirnya produsen rokok ini tak lagi sekadar meminta jasa foto untuk brosur, tetapi juga order untuk membuat stiker, umbul-umbul, serta sejumlah spanduk promosi.

Usahanya terus berkembang dan Adji pun mulai mengembangkan sayapnya. Tahun 1985 dia mulai mendirikan perusahaan screen printing, PT Intan Gading Kencana Persada atau yang akrab di sebut In Ad karena semakin banyaknya permintaan pembuatan spanduk serta bentuk iklan untuk media cetak lainnya.

Dari situlah Adji terus berekspansi dan mendirikan PT DSP sebagai full service advertising agency pada tahun 1989 ."Waktu itu, dunia pertelevisian nasional melahirkan RCTI dan saya melihat ada peluang lain yang lebih terbuka. Kemudian, tak hanya menggeluti below the line, namun saya nekat untuk merambah above the line lewat pembuatan TV komersial," ungkap alumnus SMP Pangudi Luhur Ambarawa itu.
Pada tahun yang sama, Adji memutuskan untuk pindah kantor dari kawasan Rawamangun ke kawasan Kelapa Gading.

Djarum kembali menjadi klien pertamanya untuk promosi above the line yang ditangani Dwi Sapta. Selepas tahun 1990, usahanya terus berkembang dan banyak klien mulai berdatangan. Tahun 1991-1992, misalnya, produk Minigrip dan Mixadin dari PT Dankos Laboratories memercayakan Dwi Sapta menggarap TV komersilnya.

Diikuti oleh PT Ceres produsen meises Ceres dan biskuit Selamat yang menghampirinya tahun 1993. Tak cukup di situ, bahkan salah satu karya Dwi Sapta, Djarum Classic, sukses terpilih sebagai The Best Print Ad di majalah Gatra pada tahun 1995.

Berdatangannya klien membuat pundi-pundi Dwi Sapta tanpa terasa terus menggembung. Sementara tak sedikit agensi lainnya yang kehilangan klien karena merapat ke Dwi Sapta.

Tahun 1997, Dwi Sapta sanggup meraih billing cukup besar. Di tahun itu, iklan Djarum Super hasil garapannya mendapat penghargaan 'Iklan Tervaforit' versi pembaca Bintang Indonesia.

Sayangnya, krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 mulai menghantam usaha Dwi Sapta. Tahun 1998 pun omzetnya turun drastis karena banyak perusahaan yang memotong anggarannya untuk beriklan. Praktis, ini membuat Dwi Sapta tidak ada pekerjaan sama sekali. "Itu masa-masa yang menyesakkan. Gaji karyawan rela dipotong 25-35 persen karena saya tidak ingin menerapkan kebijakan lay-off," kenangnya.

Meski demikian, angin segar lantas menghampiri Dwi Sapta lewat kesuksesan iklan permen Kino. Tahun 1999, berdasarkan hasil riset Frontier dengan 5.000 responden di lima kota besar itu menyebut bahwa iklan Kino sebagai iklan permen yang paling disukai masyarakat dan dinilai sebagai iklan permen yang paling jenaka. Kesuksesan iklan permen Kino ini berbuah manis. Terbukti, sepanjang tahun-tahun krisis antara 19dan98  1999, Dwi Sapta mampu mengerjakan lebih dari 30 iklan televisi, yang 90 persen di antaranya adalah iklan baru.

Melihat iklan produksi Dwi Sapta, akan terpetik ciri khasnya yang lugas, materi pesan tunggal, fokus pada segmen tertentu, dan simpel. Sederet merek kondang pun berhasil meroket di pasarnya. Menurut Adji, iklan harus komunikatif dan gampang dipahami konsumen. "Apa artinya kreativitas iklan bila akhirnya tak mampu menjual ke pasar," ungkapnya,

Pascakrisis itulah masa-masa emas menghampiri Dwi Sapta dengan jumlah karyawan dan pendapatan perusahaan terus bertambah. Total jenderal, kini telah berdiri tujuh perusahaan di bawah bendera Dwi Sapta. Ketujuhnya adalah Dwi Sapta Advertising, In Ad Below The Line, Netracom Film, Neo Post Productions, Maid Ad Advertising, DSP Media, dan Bee Activator. Tahun depan, Dwi Sapta bakal kembali berekspansi dan membuka perusahaan baru yang bergerak di bidang public relations atau PR.

Selasa, 16 Februari 2010

Meracik Bisnis Minuman Kesehatan Teh Rosella


Tanaman rosella sudah banyak dikenal sebagai tanaman yang berkhasiat mengobati hipertensi, diabetes maupun kolesterol. Namun tak banyak orang yang tahu tanaman rossela kini sudah menjadi bisnis minuman olahan sejenis teh yang dikembangkan secara kemitraan.

Bayu Joko Waluyojati (50 tahun), seorang lulusan sarjana ekonomi mencoba keberuntungannya dengan mengembangkan usaha kemitraan minuman teh rosella sejak beberapa tahun lalu. Ide awal bisnisnya ternyata terinpirasi dari menggeliatnya permintaan bunga rosella ke Jepang sedangkan di dalam negeri belum banyak dikembangkan.

"Waktu di Surabaya saya dapat informasi rosella diekspor mentah-mentah ke Jepang, 10 kontaiter per minggu dari Surabaya, di Jepang rosella untuk obat," kata Bayu

Dari situlah ia mencoba mengembangkan informasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) maupun kampus Universitas Airlangga. Hasilnya mengejutkan, kembang rosella memang sangat berkhasiat mengobati penyakit-penyakit organik seperti darah tinggi, kolesterol, kencing manis, asam urat dan lain-lain.

Menurutnya masyarakat di wilayah Sumatera sudah akrab dengan kembang rosella yang dipakai sebagai bumbu dapur sedangkan di wilayah Jawa digunakan sebagai manisan. Bahkan di lokasi-lokasi pabrik gula di Jawa, tanaman rosella sering dijumpai.

"Rosella tahun 2007 sempat booming. Sayangnya banyak orang yang mencederai dengan menjual produk daur ulang maka setelah itu pamor rosella sempat jatuh lagi," katanya.

Meskipun begitu, pada tahun 2008 ia nekad mulai mengembangkan usaha kemitraan kembang rosella yang ia sulap menjadi minuman populer teh rosella. Saat ini setidaknya sudah ada 15 mitra yang bergabung diantaranya 12 outlet di Jakarta, 1 outlet di Pekan Baru, 1 outlet di Cilegon dan 1 outlet di Batam.

"Ada paket yang bisa diperoleh mitra yaitu paket Rp 3 juta atau Rp 4 juta plus teh hijau rosella," katanya.

Bagi mitra yang bergabung dengan berinvestasi Rp 3 juta, akan mendapatkan fasilitas antaralain: meja display lengkap, satu termos es, satu dispenser dan tutupnya, dua seragam, 100 buah gelas untuk promosi dan 100 paket gelas teh kering untuk promosi.

Ia menuturkan berdasarkan pengalaman mitra-mitranya yang sudah bergabung, balik modal bisa terjadi 2-3 bulan saja, dengan rata-rata penjualan 80-100 gelas per hari. Bayu menyarankan lokasi-lokasi yang cocok antaralain pasar tradisional, mal, sekolahan, kantin umum, bahkan lokasi-lokasi di rumah sakit.

"Lokasi bisnis ini yang penting yaitu arus lintas orangnya tinggi dan pengelolaannya. Saran saya nggak bisa sampingan harus ditangani secara langsung," katanya.

Bayu menjelaskan si mitra juga akan mendapatkan fasilitas pelatihan dalam meracik teh rossela agar standar yang dihasilkan memiliki cita rasa yang sama. Mengenai harga jual, pihaknya memberikan harga Rp 1100 per cup minuman termasuk teh dan gelasnya. Para mitra boleh menjual secara bebas, namun harga pasaran saat ini mencapai Rp 2500-3000 per gelas teh rosella.

"Setiap mitra yang baru buka kita berikan 100 gelas gratis," katanya.

Mengenai rasa, teh rosella sejatinya memiliki rasa yang sangat asam, namun pencampuran teh rosella dengan gula memberikan citarasa seperti lemon tea.

Rosella Teh Hijau
Bayu

Anggara, Bakul Bakso Beromzet Miliaran Rupiah


Bisnis kuliner tampaknya menjadi salah satu pilihan untuk menanamkan investasi. Pasalnya, selain terbilang tahan krisis, bisnis kuliner juga tidak mengenal musiman.

Anggara Kasih Nugraha Jati, pemilik bisnis bakso kepala sapi, memulai usahanya sejak 2006 lalu. Anggara berkisah, saat itu dirinya memang harus merogoh kocek cukup dalam sekitar Rp 50 juta untuk merintis usahanya ini. Namun, kerja kerasnya berbuah manis dan akhirnya dia bisa meraup omzet miliaran rupiah. Tahun 2009, usahanya yang memiliki brand "Bakso Kepala Sapi" ini beromzet Rp 2,1 miliar.

Sebelum mendirikan usaha ini, Anggara yang waktu itu masih mahasiswa memiliki bisnis yang seabrek, mulai dari menjual pernak-pernik hingga kartu kredit. Semua bisnisnya ini dilakukan untuk mengumpulkan pundi-pundi uang demi investasi untuk bisnis baru.

Benar saja, uang hasil kerja keras dari bisnisnya itu dia investasikan untuk membuka kedai bakso di Kebon Pedes, Bogor. Modal awalnya habis untuk membeli bahan keperluan kedai. "Modalnya hanya saya gunakan untuk keperluan dapur. Kalau gedungnya kan sudah ada, milik keluarga," kata Anggara

Akhirnya, bisnis bakso Anggara berkembang dengan pesat. Produknya kini telah dipasarkan di Sumatera dan Jawa.

Anggara juga memiliki beberapa merek dagang untuk usaha baksonya. Salah satunya adalah "Warung Bakso" yang dipasarkan dengan pola kemitraan.

Minggu, 14 Februari 2010

Santoso Empu Emping Jagung dari NTT


Samuel Santoso tampak begitu sibuk. Setiap hari, sejak jarum jam menunjukkan pukul 04.00 sampai pukul 22.30 waktu Indonesia tengah, ia terus bekerja di tempat kerjanya di Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur. Daerah ini harus diangkat melalui kerja keras untuk mendayagunakan potensi sumber daya lokal yang ada.

Santoso menyadari, tidak mudah memulai usaha di NTT. Banyak soal harus dihadapi, mulai dari sumber daya manusia, modal, pemasaran, sampai transportasi.

"Tahun 2004 saya tiba di Kupang. Saya mempelajari sejumlah peluang usaha di sejumlah kabupaten. Lalu, saya putuskan menekuni usaha emping jagung. Seluruh daerah di NTT menanam jagung dan jagung menjadi makanan pokok masyarakat," kata Santoso di Kupang, Sabtu (16/1/2010).

Namun, pengolahan jagung di kalangan masyarakat masih sederhana. Biji jagung digoreng dan dimakan begitu saja atau ditumbuk menjadi emping seadanya. Ada pula biji jagung digiling, lalu dimasak sebagai pengganti beras. Kebiasaan ini berlangsung ratusan tahun.

Berbekal pengetahuan tentang emping jagung yang dipelajari di Yogyakarta, Santoso memberikan inspirasi baru tentang emping jagung yang gurih, higienis, berkualitas, dan mampu bersaing di pasaran.

Provinsi Gorontalo mengakui keunggulan kualitas emping jagung Santoso. Mereka minta Santoso membantu melatih petani setempat dan mengadakan mesin pemroses emping berkualitas hasil rakitan Santoso.

Setiap hari, 100 sampai 200 kilogram (kg) biji jagung bulat diproses menjadi emping. Ia menghasilkan 80 kg-180 kg emping, susut 20 persen karena kulit dan mata biji jagung dibuang.

Bahan baku jagung dibeli dari petani dengan harga Rp 2.000- Rp 3.000 per kg. Semua jenis jagung di NTT dapat dijadikan emping dengan ukuran pengembangan 2-3,5 cm setelah ditumbuk dengan mesin.

"Jagung NTT jauh lebih berkualitas dibandingkan daerah lain. Saat diolah biji jagung tidak hancur, bahkan mengembang semakin lebar meski ditumbuk dengan kekuatan 8-10 kg berat. Tetapi, jagung dari luar selalu hancur," katanya.

Lagi pula, emping jagung ini lebih gurih dari daerah lain. Padahal, Santoso hanya menggoreng dengan bawang putih tanpa bahan pengawet.

Produk emping jagung milik Santoso kini bisa ditemui di swalayan, toko, kios, dan warung makan. Emping ini tersebar di 21 kabupaten/kota se-NTT.

Padahal, Santoso hanya mendistribusikan emping itu ke Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Sikka. Semuanya semata karena keterbatasan sumber daya manusia dan modal. Kebanyakan pengusaha dari kabupaten lain membeli emping di Kupang untuk dijual di kabupaten bersangkutan.

Permintaan di Kota/Kabupaten Kupang 500-1.000 kg emping jagung per hari, Timor Tengah Selatan 200 kg per hari, dan Sikka 500 kg per hari. Pengiriman emping ke tempat-tempat ini pun sesuai dengan transportasi ke daerah itu.

Emping yang didistribusikan ke setiap swalayan dan toko di empat kabupaten/kota itu dalam 1-3 hari habis diserbu konsumen. Biasanya emping itu untuk sarapan pagi, juga untuk bekal perjalanan dan oleh-oleh khas NTT. "Permintaan dari kabupaten lain di NTT sampai 2.000 kg, tapi saya tak bisa layani. Saya biarkan usaha ini berjalan secara alamiah," ujarnya.

Emping dikemas dalam plastik dan dapat dibawa ke mana saja. Emping buatan Santoso ini bisa bertahan sampai 5 bulan.

Ukuran 450 gram dijual Rp 8.000-Rp 8.500 per kantong, sementara ukuran 250 gram dijual Rp 5.000 per kantong. Namun, di swalayan atau toko, emping dijual Rp 10.000-Rp 15.000 per kantong. Ukuran 250 gram dijual Rp 8.000 per kg.

Santoso menawarkan emping jagung dengan rasa gurih (renyah), manis madu, dan pedas manis. Semua rasa ini yang paling disukai konsumen.

Usaha emping jagung ini kini dikelola CV El Shahadai, di mana Santoso menjadi direkturnya. Ke depan, Santoso optimistis usahanya bakal sukses karena kini warga negara Timor Leste dan Australia pun mulai tertarik. Hanya keterbatasan modal dan tenaga membuat permintaan ini belum terlayani.

Santoso mempekerjakan 10 tenaga kerja lokal dengan gaji Rp 650.000-Rp 1,5 juta per bulan. Akan tetapi, mereka sangat sulit beradaptasi. Meski sudah kerja 1-3 tahun bekerja, mereka harus terus dituntun.

Santoso berencana membangun pabrik emping jagung di Kota Kupang dengan produksi 30 ton jagung butir per hari dan menyerap tenaga kerja sekitar 3.000 orang.