Ebiz Ads

Jumat, 08 Januari 2010

Limbah Kayu Kreasi Gatot dan Jumadi Mejeng di Eropa


Kecanggihan teknologi komunikasi kini menjadi sarana penting dalam dunia usaha. Transaksi bisnis berlangsung di depan layar kaca. Cara itu yang dijalani Gatot Mujiyana (44), pemilik usaha Amarta Furniture di Jalan Wates Km 3,5 Ngepreh RT 01 /30 No 69, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Ayah tiga anak ini nekat memilih keluar dari perusahaan furnitur tempatnya bekerja pada tahun 1994 dan berniat membuka usaha sendiri. Bekal pengalaman kerjanya itu yang membuatnya menjalani bisnis furnitur dan kerajinan tangan.

Alumnus Pascasarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu lalu memanfaatkan jaringan internet untuk menjual produknya ke luar negeri. Itu dilakukan bukan karena pasar lokal tidak menjanjikan. Menurutnya, banyak negara di Eropa menyenangi hiasan atau furnitur yang terbuat dari kayu jati.

Yang menarik dari bisnis Ketua Umum Komunikasi Ketoprak Kabupaten Bantul (FKKKB) itu adalah pemanfaatan limbah kayu jati. "Saya memanfaatkan limbah kayu jati, seperti akar kayu jati yang dijadikan kursi, tiang lampu hias. tempat buah, bola, dan sebagainya," kata Gatot saat ditemui di kediamannya di Bantul, Yogyakarta, pekan lalu.

Modal awal Gatot hanya sekitar Rp 8 juta, yang digunakan untuk biaya merakit mesin pemotong. Harga barang buatannya yang dijualnya tergolong murah di pasaran luar negeri, namun kualitas tetap terjaga.

Dari bisnis itu, Gatot membawahi sekitar 300 tenaga pengrajin. Tetapi, enam tahun kemudian, bisnisnya ambruk. Pemicunya adalah bom Bali pada 2002. Kondisi itu tak membuat pria bertubuh tambun itu menghentikan produksinya. Hal itu yang, membuat usahanya perlahan bangkit hingga sekarang. Dalam sebulan, Gatot mengekspor tiga kontainer produk furniture dan kerajinan tangan yang senilai Rp 300 juta. "Profit yang saya peroleh minimal 25 persen," kata pria berjenggot itu.

Hampir semua produknya terpajang di Belgia, Jerman, Perancis, Inggris, dan Singapura, mulai dari rumah penduduk, perkantoran, sampai hotel berbintang.

Bisnis perkayuan juga dilakoni oleh Jumadi, pemilik Jatisae Handicraft Industries di Jalan Parangtritis Km 5, Bangunharjo, Bantul, Yogyakarta. Pria yang hanya lulusan STM jurusan pembangunan di Yogyakarta ini sukses memasarkan produk puzzle dari limbah kayu ke negara-negara di Eropa.

"Ada sekitar 156 model yang saya buat sejak tahun 1996 usaha ini dirintis. Sebagian besar model dari keinginan klien," kata Jumadi. Hanya saja, dia menjual produknya separuh ke luar negeri dan separuh lagi ke pasar lokal. Omsetnya saat ini sebesar Rp 75 juta per bulan.

Komitmen Delia, Gatot Mujiana, dan Jumadi dalam berbisnis hanya satu, yakni terus bersemangat dalam menjalani usaha. Sebab, dari semangat itu lah banyak jalan keluar diperoleh dalam perjalanan bisnisnya

Limbah Kayu Jadi Puzzle Penghasil Laba


Tak semua mainan anak bersifat mendidik. Orang tua memang harus selektif memilih mainan yang tepat bagi si buah hati. Berbekal hal ini, Jumadi menciptakan puzzle sebagai mainan perangsang otak si kecil. Tak disangka, mainan ini laris sampai luar negeri.

Bisnis yang berkaitan dengan kebutuhan anak, termasuk mainan anak, jelas merupakan bisnis menjanjikan. Selama manusia masih berkembang biak di muka bumi ini, maka bisnis yang menyasar anak-anak sebagai konsumen tak akan pernah kehilangan pembeli. Sudah begitu, setiap anak pasti membutuhkan mainan.

Biasanya para orang tua tak keberatan keluar duit untuk membelikan mainan untuk sang buah hati. Bahkan, ayah bunda rela keluar duit banyak jika mainan tersebut bisa merangsang kecerdasan si kecil. Masalahnya, bukan perkara mudah mencari mainan anak yang mendidik. Beberapa jenis mainan malah membuat anak semakin konsumtif.

Bagi Jumadi, seorang pengusaha asal Bantul, Yogyakarta, kondisi tersebut adalah sebuah peluang bisnis. Dia pun membuat mainan puzzle sebagai salah satu mainan alternatif bagi anak. Tak disangka, puzzle berbahan kayu jati buatannya laris manis. Jumadi pun bisa meraup omzet ratusan juta rupiah saban bulannya.

Awalnya, Jumadi merupakan pengusaha mainan anak-anak dan barang rumah tangga dari tempurung kelapa. Waktu itu masih tahun 1991 dan umur Jumadi baru menginjak 36 tahun. Sayang, bisnis kerajinan tempurung kelapa Jumadi kurang berkembang.

Ia pun mencari peluang bisnis lain. Tapi lagi-lagi dia tertambat pada bisnis mainan anak. Muasalnya, tahun 1994 ia bertemu dengan Puji Santoso, yang ternyata gemar menciptakan puzzle kayu berbentuk bola. Darah bisnis Jumadi langsung berdenyut kencang melihat ide bisnis tersebut. Ia pun mengajak rekannya bergabung dalam perusahannya yang dinamakan Jatisae Handicraft.

Seiring berjalannya waktu, Jumadi ikut menciptakan kreasi berbagai puzzle. “Modalnya adalah ketekunan dan pantang menyerah untuk terus mencoba menciptakan model puzzle baru,” ujarnya.

Puzzle buatan Jumadi memang unik. Ada yang berbentuk bola, kubus, silinder, dan sebagainya. Semuanya terbuat dari bahan baku kayu limbah pabrik mebel di Semarang. “Setiap bulan saya butuh lima truk limbah kayu. Harga per truknya Rp 5 juta,” ujarnya.

Merambah alat musik

Di bengkel kerjanya, Jumadi dibantu 30 karyawan mengolah limbah kayu menjadi puzzle. “Ada sebelas tahapan membuatnya,” ujar Jumadi. Ada tahap pemotongan, pencetakan, pengamplasan, sampai tahap memperhalus serat kayu.

Saat ini Jumadi bisa membuat 156 jenis puzzle dengan kapasitas produksi 33.000 unit per bulan. Seluruh produksinya itu habis terjual. Harga puzzle-nya beragam mulai dari Rp 3.000 hingga Rp 150.000 per unit, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan membuatnya. “Omzet saya per bulan sekitar Rp 100 juta,” katanya. Dari omzet segitu, Jumadi mengaku menikmati margin sekitar 30 persen-35 persen.

Usaha puzzle milik Jumadi perlahan tapi pasti terus berkembang. Salah satu kiatnya, ia rajin mengikuti pameran dan festival di Jakarta maupun di kampung halamannya, Yogyakarta. Dengan cara ini, ia kerap mendapatkan pembeli dari luar kota dan luar negeri. Antara lain dari Bali, Surabaya, serta Singapura, Prancis, dan Malaysia. “Kebanyakan, pembeli dari Bali-lah yang menyalurkan puzzle saya ke negara-negara tersebut,” ujarnya kalem.

Sejak 2001, Jumadi berinovasi dengan membuat alat musik, seperti jimbe, gendang, dan alat musik suku aborigin, didgeridoo. “Bahan bakunya dari kayu mahoni di Blitar,” ujarnya. Dalam sebulan, alat musik bikinannya menyumbang omzet Rp 75 juta. “Purwacaraka juga kerap membeli alat musik dari saya,” pungkasnya ceria

Rabu, 06 Januari 2010

Suwarno Klitikan: Telaten, Untung-untungan, dan Kepuasan Diri


Awalnya, Suwarno (60) merasa tertipu saat membeli sebuah keris karatan dengan harga Rp 75.000 dari seseorang. Sepuluh tahun lalu, uang segitu adalah setara dengan penghasilannya selama tiga hari. Sang istri pun ikut memarahinya.
Semakin kuat keyakinannya bahwa ia tertipu karena selama tiga bulan, keris itu tak laku-laku juga. Namun ia heran ketika pada suatu hari seseorang membeli keris tersebut Rp 450.000. Dengan senang hati, keris jelek itu pun dilepasnya.
Namun selang beberapa hari si pembeli keris balik lagi dan bertanya apakah Suwarno punya keris lain. Ternyata, dia pedagang yang paham seluk-beluk keris, dan baru saja menjual keris tersebut Rp 30 juta lebih. Tercenganglah Suwarno mendengar itu.
Ia berburu benda-benda kuno itu sampai ke seluruh penjuru Jawa, dan banyak menemukannya di Jawa Tengah dan Yogyakarta. "Namun ada juga yang belum saya dapat, padahal sudah berbulan-bulan menyambangi si pemilik di Wonosari. Tak mempan-mempan juga usaha saya merayunya," kata Suwarno sembari tertawa. Benda yang dicari itu adalah lampu gantung buatan Amerika Serikat tahun 1800-an.
Ia pun mulai belajar tentang keris. Beranjak dari pengalaman itu, ilmu tentang radio dan lampu gantung kuno pun didalami. Suwarno pun tak lagi berjualan onderdil motor dan sepeda atau kembali ke pekerjaannya dulu sebagai sopir mobil pribadi. Kini, di Pasar Klitikan Pakuncen, Yogyakarta, Suwarno dikenal sebagai penjual keris, radio, dan lampu kuno yang bisa dibilang belum ada saingannya.
Slamet (37), pedagang di pasar klitikan Pakuncen, juga punya kisah menarik. Tahun 1994 lalu, seorang teman di Sambas, Kalimantan memberi informasi bahwa kenalannya mempunyai samurai Jepang. Slamet langsung berangkat naik kapal dan seminggu bernegosiasi harga secara alot dengan si pemilik.
Samurai yang masih mengkilat itu akhirnya sukses dibawa pulang dengan tebusan Rp 130.000. Ia bisa menjualnya kembali Rp 400.000. Tahun 1994, jumlah itu sangat banyak, sehingga Slamet bisa kulakan banyak barang dan membeli perabotan rumah.
"Kalau cerita mendapatkan barang yang mudah, ada. Misalnya mobil ini. Saya membelinya dari tetangga, dan saya membayarnya dengan mobil plastik plus beberapa ribu rupiah," ujar Slamet sambil menunjuk mobil-mobilan berbentuk bus kecil terbuat dari lempeng besi.
Mobil buatan Cina tahun 1960-1970 itu, dijualnya dengan harga fantastis, Rp 750.000! Apakah mahal? "Wah, jawabannya karena ini barang kuno, nggak dibikin lagi. Coba saja cari mobil seperti ini, pasti nggak dapat. Hehehe,"
begitu kata Slamet yang awalnya berbisnis jual beli kayu ini, dengan nada promosi berbalut bangga.
Jika Slamet dan Suwarno mempunyai lapak untuk berjualan, Yadi (37) tidak. Yadi cukup menggelar jualannya, yakni sepeda kuno (onthel) dan onderdilnya, di rumahnya yang terletak persis di sebelah barat Pura Pakualaman. Sejak tahun 1994 ia menekuni pekerjaan ini, yang kebetulan sesuai dengan hobinya.
Jika mendengar informasi terpercaya tentang onthel dan onderdil onthel, Yadi langsung meluncur. Tak peduli harus sampai Magelang, Muntilan, hingga Madiun. Sering si pemilik yang awalnya ingin menjual onthel, lantas berubah pikiran. "Tapi sering juga si pemilik yang awalnya nggak mau menjual, eh, malah menjual. Ini bisnis unik dan tidak bisa ditebak. Tapi asyik," paparnya.
Suwarno mengutarakan, ia sangat bahagia bisa menyekolahkan empat anaknya walau hanya sampai SMA dengan berjualan barang kuno. "Saya akan tetap menekuni usaha ini. Namun satu hal saya pegang, yakni jangan berjualan ngawur, maksudnya memberi patokan harga mahal banget atau menipu pembeli yang nggak paham," ujar Suwarno.
Jual-beli barang kuno, diyakini mereka tetap akan menjadi bisnis menjanjikan di tahun-tahun depan. Seiring bertambahnya tahun, seiring barang-barang tertentu tak lagi dibikin, selama itulah bisnis mereka bertiga bertahan. Hal-hal yang tak terduga dan untung-untungan, adalah resiko yang mesti dilihat sebagai bumbu dalam berbisnis.

Zainal Abidin: Genius Enterpreneur dari Betawi


Zainal Abidin, Betawi tulen. Akrab dipanggil Jay. Lahir di Jakarta, 20 Oktober 1968. Pendidikan dasar dan menengahnya diselesaikan di Jakarta. Lepas SMA, ia memutuskan melanjutkan pendidikan tingginya di luar kota kelahirannya.

Sekembalinya dari Melbourne, Australia, dimana ia memperdalam pendidikan di bidang Perdagangan Internasional sekaligus belajar ilmu kehidupan, ia memulai karirnya sebagai konsultan bisnis. Sebuah situs Islam mengakomodasinya secara Gratisan menjadi konsultan dan penjaga gawang Klinik Bisnis selama hampir 5 tahun. Seiring dengan waktu mulai jadi motivator, dan sedikit naik pangkat jadi inspirator.

Terakhir, Ia diberi mandat oleh Dompet Dhuafa Republika untuk memimpin Institut Kemandirian, sebuah sekolah masa depan yang memiliki perhatian dalam pengentasan pengangguran dan pemberantasan kemiskinan. Setiap siswa, bisa belajar di sekolah ini tanpa dipungut biaya, sampai bisa mandiri. Bisa bekerja dengan keterampilan yang dimiliki, bisa juga berwirausaha sendiri. Jabatannya tidak tanggung-tanggung. REKTOR.

Tidak PD hanya dengan gelar sarjana peternakan, sejak 2005 ia menambahkan embel-embel PHD di belakang namanya. Bukan Philosophy Doctor hasil sekolah S3, tetapi Permanent Head Damage. Kepalanya memang sudah rusak permanen. Dan pekerjaan sehari-harinya memang merusak isi kepala orang.

Sehari-hari ngantor di Techno School, Komplek Panasonic Manufacturing, Jalan Raya Bogor KM 29 Jakarta Timur. Setiap Senin, adalah hari airing time baginya. Pagi, jam 05.00 - 06.00, dia manggung di Radio Trijaya 104,6 FM dalam acara Mutiara Pagi. Malamnya, ia pindah studio. Radio Suara Metro 107,8 FM menebar virus wirausaha ke seantero Jakarta jam 20.00 - 21.00 dalam acara Entrepreneur Genius. Dari kawasan Semanggi, ia bergeser ke jalan Merdeka Barat. RRI Siaran nasional Pro 3 (88,8 FM). Suaranya memecah malam Indonesia lewat acara Pojok Entrepreneur.

Baru-baru ini, ia menerbitkan sendiri buku tulisannya. Sebabnya, beberapa penerbit tidak bersedia menerbitkannya. Judulnya, Monyet Aja Bisa Cari Duit! Sarkastis? Ya. Sepertinya bangsa ini sudah kebal dari kata-kata inspirasi. Sudah kebal dari kata-kata motivasi. Mungkin kita butuh teror mental.

Itu sebabnya, Ia tidak ingin jadi Motivator. Ia tanggalkan profesi jadi Inspirator. Ia mau jadi Teroris. Bukan dengan cara meletakkan bom di badannya, dan meledakkannya di suatu tempat. Ia ingin meneror mental para pengangguran, agar secepatnya mengambil keputusan untuk mandiri.

Tidak menggantungkan nasib di tangan orang tua, orang lain atau bahkan pemerintah. Jika mereka masih betah menganggur, mohon maaf saja. Ia lebih hormat pada monyet dalam pertunjukan topeng monyet, yang bisa menghasilkan uang sendiri sekaligus menanggung biaya hidup tuannya.

Jay
Mental Surgeon Specialist
Bisa dihubungi di :
081 7654 4567
081 5889 3401
oriza@pacific.net.id
jayteroris@warnaislam.com
www.jay-ideas.blogspot.com

Selasa, 05 Januari 2010

Roihatul Jannah Inovator Boncengan Anak


Kesulitan memperoleh alat pengaman untuk membonceng anak dengan sepeda motor, justru melahirkan ide kreatif dari ibu dua anak ini. Berbekal tekad dan keberanian untuk mencoba, produk rancangan yang dinamai "Helmiat Bonceng Bocah" ini pun perlahan tapi pasti memikat konsumen dari Sumatera hingga Papua.

Roihatul Jannah (29) sungguh tak menyangka, setelah terpilih menjadi salah satu pemenang Shell LiveWIRE Business Start-Up Award 2008, pada 11 April lalu, cita-citanya lamanya merambah dunia wirausaha tercapai juga.

Bagaimana ceritanya sampai lahir ide Bonceng Bocah ini?
Awalnya ketika anak saya yang sudah beranjak usia pra sekolah, selalu saya bonceng dengan sepeda motor. Dan kebiasaan anak saya kalau dia di motor selalu tidur. Mau tidak mau saya berpikir bagaimana caranya biar anak saya safety di motor.

Pertama-tama saya cari alat pengaman untuk anak di toko-toko sepeda motor di Depok, Jakarta, tapi saya tidak menemukan. Dulu saya suka minta tolong Budenya untuk menjaga di boncengan belakang. Tapi, itu bukan solusi karena kalau suatu hari Bude enggak bisa ikut ngantar, bagaimana?

Kebetulan memang saya ada bakat desain, dari SD saya juga suka desain baju sendiri. Kalau saya mau pesan meja atau kursi juga saya desain sendiri. Akhirnya, saya cobalah itu mendesain boncengan anak. Saya lihat di motor, kira-kira alat ini bisa dipasang di bagian yang mana. Ternyata ada peluang. Lalu saya minta tolong ke bengkel las. Desainnya seperti ini, bahan dari stainless. Tapi kan harus ada bantalannya, biar enak. Awalnya sederhana saja.

Lalu, kalau anak ngantuk nanti bagaimana? Saya pakai gendongan bayi yang ada sabuknya, sehingga bisa diikatkan ke badan saya. (Proses desain) Itu bertahap ya. Terus kalau saya mengantarkan anak ke sekolah, banyak yang tertarik. Kalau berhenti di lampu merah, suka ditanya "Bu, beli dimana,". "Enggak saya bikin," Lalu saya pikir kenapa ini tidak menjadi peluang bisnis saya. Akhirnya saya bikin brosur, disebarkan ke teman-teman.

Sudah berapa lama bengkel ini berdiri?
Bengkel ini baru jalan dulu bulan. Dulu sebelum ada bengkel pernah dibuat profilnya oleh SCTV. Nah, setelah tayang handphone saya pernah seharian enggak mati-mati, karena diteleponin yang mau pesan. Pas nganter anak sekolah saja (jarak dari rumah ke sekolah anak kurang lebih 20 menit), itu ada miscall dari 14 nomor yang berbeda. Itu melatih saya untuk "Oh, oya sekarang saya mulai menapak bisnis ini".

Berapa unit yang diproduksi?
Itungannya seminggu, sekitar jadi 50 unit. Dari yang bengkel sendiri, belum termasuk bengkel orderan. Harga jual Rp 250.000/unit. Saya enggak mau nurunin harga dengan nurunin kualitas. Kami pakai bahan stainless steel.

(Iat menyesuaikan boncengan dengan jenis sepeda motor konsumennya. Soal warna dan gambar pada bantalan boncengan juga disesuaikan apakah si anak perempuan atau laki-laki)

Pemasaran dilakukan sendiri?
Saya juga punya distributor. Target pertama untuk distributor 50 unit. Nanti tahap berikutnya mau naik, supaya ke depannya jangan sampai orang yang mau beli di distributor, enggak ada barangnya. Distributor, dalam tahap penjajakan ada di Medan, Surabaya, Jakarta. Kalau pengiriman barang sudah sampai ke Lampung, pekan baru, palembang, padang, Samarinda, Balikpapan, Pare-pare, Bali, NTB, NTT, Ambon, Papua.

Mengukir Untung dari Ukiran Aksara Kayu



Hal remeh terkadang justru menjadi sesuatu yang menjanjikan bagi suatu bisnis. Misalnya saja bisnis pembuatan aksara kayu (wooden letter). Sepintas bisnis ini tidak meyakinkan tapi sebenarnya pasar dari aksara kayu cukup besar.

Salah satu pembuat akasara kayu kawakan di kawasan Ulujami Jakarta Selatan Sri Wienarto telah memulai bisnis ini sejak 1979. Ia juga bukan hanya membuat aksara untuk kepentingan papan nama namun ia juga membuat beberapa karya lainnya seperti ukiran kaligrafi, furniture, frame, miniatur alat musik, assesories dan lain-lain

Bapak dua anak ini mengaku bisnis membuat aksara kayu cukup menjanjikan karena selain pesaingnya jarang, ia telah memiliki pasar yang tetap seperti para pengembang properti untuk pembuatan nomor rumah, alamat rumah dll.

Melalui bantuan 15 orang tenaga kerjanya dan bantuan istri tercintanya Siti Muthmainah, setidaknya ia telah berhasil menjual produk aksara kayu ke beberapa wilayah di Indonesia seperti Jawa, Bali, Batam, Makassar dan lain-lain. Meskipun sampai saat ini produk aksara kayunya belum menembus pasar ekspor, tetapi untuk kaligrafi sudah sering diekspor ke pasar Timteng, Afrika, Eropa dan Asia.

Sri mengatakan selama ini, ia menjual aksara kayu ukuran standar (10 cm) per buahnya mencapai Rp 8000, namun ada beberapa produk aksara merek lain dengan kemasan mewah justru dijual hingga Rp 23.000 per buah di supermarket. Sedangkan untuk aksara ukuran 25 cm hanya ia jual Rp 50.000 per buah.

"Harga termahal yang pernah saya jual Rp 2 juta, dengan ukuran 3 meter untuk papan nama restoran," katanya.

Menjalankan bisnis ini bisa dibilang gampang-gampang susah karena Sri mengaku untuk mendapatkan pelanggan tetap memerlukan waktu, sedangkan pembeli umum biasanya ia layani melalui show room-nya di Mangga Dua Jakarta.

Mengenai bahan baku, usaha aksara kayu relatif mudah mendapatkannya karena kayu-kayu jati belanda bekas peti kemas mudah didapat dari beberapa supplier di Jakarta. Biasanya Sri akan memilih kayu jati belanda yang masih dalam kondisi mulus sehingga produk aksara yang dihasilkan mulus sempurna.

"Jujur saja saja margin yang saya ambil 50% lebih karena bagaimana pun ini karya seni," imbuhnya.

"Ukuran letter nggak ada standar khusus, tapi saya sering jual yang 10 cm," katanya.

Walhasil dari usaha membuat aksara ini, setidaknya pendapatan kotor minimal Rp 50 juta setiap bulannya ia bisa kantongi dengan keuntungan bersih minimal Rp 15 juta per bulan. "Bisnis aksara ini yang penting pemasaran," katanya.

Sri Wienarto

Bhineka Karya Art

Jl. H. Buang II/Ulujami Pesanggrahan, Jakarta Selatan 12250
Email : bka@cbn.ned.id

Show Room

Pusat Grosir Pasar Pagi
Mangga Dua Blok B Lantai Basement

Senin, 04 Januari 2010

Segarnya Bisnis Herbal Pak Slamet


Namanya Pak Slamet Sugiarto, pekerjaan sehari-hari sebenarnya beliau adalah Kepala Sekolah SD Pundensari, Purwodadi. Pak Slamet sebenarnya sudah memendam jiwa wirausaha sejak lama. Pernah dia bergelut di MLM sekitar 5 tahun yang lalu. Namun, karena kesibukannya sebagai kepala sekolah, MLM yang dia telah tekuni akhirnya mandeg.

Tak mau hanya terpaku menjadi PNS biasa-biasa saja, akhirnya Pak Slamet sekitar 2 tahun yang lalu banting stir ke bidang herbal. Perkenalannya dengan dunia herbal melalui perantaraan seorang temannya yang ada di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Berbekal modal awal sekitar 5 juta, dia pun memantabkan hati memulai usahanya. Menurut Pak Slamet, prospek obat-obatan herbal saat ini masih cerah, di tengah kerinduan masyarakat kembali ke adagium back to nature.

Pada mulanya, Pak Slamet menawarkan obat-obatan herbal kepada kolega-koleganya di sekolahan. Lama-kelamaan, Pak Slamet juga membuka herbal house di rumahnya di daerah Bayan, Purworejo. Dari promosi yang dilakukan dari mulut ke mulut, akhirnya nama Pak Slamet herbal cukup di kenal di daerah sana.

“Bagi saya, yang perlu diperhatikan ketika berbisnis herbal adalah masalah kualitas obat herbalnya sendiri dan kepercayaan pelanggan”, begitu tips Pak Slamet.

Pak Slamet menambahkan, bisnis herbal yang sedang naik daun akan tetap prospektif, asal pelakunya memperhatikan aspek profesionalitas dan kualitas. Beliau menyayangkan orang yang berbisnis obat herbal dengan standar asal-asalan, sehingga dapat menjatuhkan pamor obat herbal secara keseluruhan.

Kini, dari usaha herbalnya Pak Slamet bisa menangguk omzet jutaan rupiah per bulan. Jenis obat-obatan herbal yang dia jual pun beragam, mulai madu, minuman kesehatan, gurah, obat kanker, darah tinggi, anti oksidan, diabetes, ambeyen, keputihan, pelangsing tubuh, VCO, dan sebagainya.

Perlu dicatat, semua produk herbal Pak Slamet telah memenuhi persayaratan yang ditetapkan oleh Depkes dan dijamin ke-halalan bahan-bahannya.

Tertarik?


Herbal Pak Slamet

Pekutan RT 3/2, Bayan, Purworejo 54152
Mobile: 085242905858

Membiakkan Laba dari Bibit Jamur Merang


Jamur merang atau Volvariella volvacea kini kian populer. Para petani pun kian bersemangat menanamnya. Karenanya, kebutuhan akan bibit jamur ini cukup besar. Adalah PT Agrocendawan Persada di Semarang yang sejak lima tahun silam mengembangkan bibit jamur merang.

Menurut Slamet Trismiyanto dari bagian pemasaran Agrocendawan, umumnya petani jamur belum mampu memproduksi bibit jamur merang sendiri. Karena itu, kebutuhan akan bibit jamur merang hasil pengembangan industri cukup besar.

Agrocendawan mengembangkan bibit jamur lewat teknik kultur jaringan. Prosesnya bermula dengan pengambilan spora dari jamur yang kemudian diletakkan dalam cawan petri berisi media agar-agar dari kentang yang diberi hormon penumbuh dan anti bakteri. Setelah muncul iselium atau serabut kecil, ia dipindahkan atau diturunkan ke dalam cawan baru hingga tiga kali penurunan.

“Tujuannya agar tumbuh sampai maksimal dengan memakan media baru dala m setiap cawan,” tutur Slamet. Dari satu spora tadi bisa dihasilkan sekitar 200-600 bibit dalam cawan petri.

Kemudian, setiap isi cawan petri dipindahkan ke botol bekas saus yang diberi media tanam berupa biji-bijian seperti jagung untuk memperbanyak jumlah bibit. Dari satu cawan petri bisa dipindahkan menjadi 3.000 botol bibit jamur.

Selanjutnya, bibit dalam botol diturunkan ke dalam media tebar atau log yang terbuat dari campuran kotoran kuda yang sudah kering, kapur, dan merang yang dimasukkan ke dalam plastik dan dipadatkan.

Bagian ujung log disumbat dengan kapas, dan diikat dengan aluminium foil. Setelah baglog disterilkan selama tiga jam dalam suhu 121 derajat, dan didinginkan, lalu bagian ujungnya diberi satu sendok bibit bermediakan jagung tadi. “Dari satu botol bibit tadi, bisa diturunkan menjadi 20-30 baglog. Bibit akan memakan media tebar,” sebut Slamet.

Harga jual bibit berkisar Rp 5.000 - Rp 7.000 per baglog. Setiap bulan Agrocendawan memproduksi 1.000 - 2.000 baglog. Dari setiap log menurut Slamet bisa mengambil keuntungan berkisar Rp 1.200 - Rp 1.700, atau sekitar 25 persen. Setidaknya petani membutuhkan 100-120 baglog untuk membudidayakan dalam satu kumbung atau satu rumah jamur berukuran 6×4 meter.

Dari Kuli Boneka Hingga Bos Boneka


Nasib orang memang tidak ada yang menduga, dari seorang pekerja biasa, bisa menjadi pengusaha sukses. Inilah yang dialami Tuti Nurhayati perempuan asal Sukabumi yang sukses merajut bisnis pembuatan boneka.

Setelah kurang lebih bekerja lima tahun sebagai karyawan pabrik boneka asal Korea, Tuti mencoba banting setir membuat usaha boneka membantu keuangan keluarga. Awal bisnisnya tidak berjalan mulus, banyak kendala yang dihadapi termasuk pendanaan dan pemasaran.

Namun dengan tekad yang kuat, ia berhasil meraih kesuksesan sebagai pembuat boneka di Jakarta. Melalui workshop -nya di wilayah Kemayoran Jakarta, omset puluhan hingga ratusan juta rupiah ia mampu kantongi per bulannya.

Tuti menjelaskan usaha membuat boneka yang ia geluti tidak terlepas dari keaktifannya bersama Perkumpulan Keterampilan Keluarga (PKK), di wilayah Kemayoran Jakarta. Yaitu mengembangkan pembuatan boneka yang ia telah kuasai. "Waktu itu modal awal saya nggak sampai Rp 1 juta," katanya.

Dari hasil produksi itu, Tuti mencoba memasarkan produk-produk bonekanya ke toko-toko boneka di Jakarta. Dari toko ke toko ia jajaki dengan menawarkan berbagai contoh boneka buatannya.

Pada waktu itu banyak toko boneka yang sudah memiliki suplai tetap terutama dari pabrikan boneka besar sehingga tidak mudah menembusnya, meskipun sejalan dengan waktu banyak toko-toko yang berminat dan meminta order.

"Saya sempat kolaps, tahun 2006 lalu, karena permodalan dan pemasaran berkurang. Setelah itu saya ikut-ikut pameran, hasilnya lumayan lagi," katanya.

Kebangkitannya itu juga tidak terlepas dari suntikan modal yang ia peroleh dari salah satu bank BUMN sebesar Rp 49 juta. Dengan demikian secara perlahan-lahan bisnisnya mulai merangkak naik dan mampu bangkit kembali.

Dalam mengembangkan bisnis ini, Tuti selalu memegang prinsip melakukan terobosan pembuatan model dan desain-desain boneka baru yang inovatif. Semua itu ia pelajari dari berbagai media seperti televisi, majalah, dan lainnya.

Melalui 25 karyawannya, ia mampu menjual ribuan boneka per bulan, bahkan dalam acara-acara khusus untuk promo setiap order mencapai 2.000 boneka untuk satu perusahaan. Harga boneka yang ia jual pun beragam mulai dari yang termurah Rp 10.000 hingga Rp 350.000 per buah.

Produk bonekanya sudah dikenal dan dicari orang, tak heran toko-toko boneka di kawasan Mangga Dua dan Cempaka Mas Jakarta selalu menjadi langganannya. "Penjualan sampai Rp 100 juta per bulan, tapi itu tergantung orderannya," katanya.