Ebiz Ads

Senin, 01 Maret 2010

Agung Nugroho: Umur 25 Tahun Punya 105 Gerai, Omzet Rp 3 M/bulan


MESKI malam sudah sangat larut di Yogyakarta, Agung Nugroho Susanto berusaha tetap melek. Di sebuah bangunan 28 meter persegi di kawasan Gejayan, dia memelototi diktat kuliah sambil sesekali mengawasi mesin cuci yang masih bekerja. Dia hanya ditemani cucian kotor menggunung.

Sebagai mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Agung harus belajar untuk ujian besok. Tapi, sebagai pengusaha, ia tak mau pelanggannya kecewa. ”Hampir tiap hari begadang,” katanya, mengenang perjuangannya mengembangkan bisnis laundry kiloan yang diberi nama Simply Fresh, tiga tahun silam.

Kini, pada usia 25, bisnis binatu kiloan itu sudah menyegarkan hidupnya. Omzet per bulan mencapai Rp 3 miliar. Dia tinggal di rumah senilai Rp 1,5 miliar, yang dibeli dari hasil keringatnya, di perumahan elite di kawasan Monjali, Sleman. Di garasi ada dua mobil BMW seri 3201 keluaran 2009 dan seri 319i kelahiran 2005. Masih ada Kijang Innova dan tiga sepeda motor.

Simply Fresh sejatinya bukan usaha pertama Agung. Lelaki Jawa kelahiran Bandar Lampung, 15 November 1984, itu pernah menekuni bisnis pakaian dan berdagang telepon seluler, tapi gagal. Namun pelahap bukubuku motivasi itu pantang menyerah. ”Orang sukses itu rata-rata berbisnis mulai dari nol,” kata pria yang baru menikah Juni lalu itu. ”Yang penting action.”

Pada 28 Februari 2006—saat semester kelima—Simply Fresh resmi berdiri. Bermodal Rp 30 juta, sisa keuntungan dua usaha sebelumnya, plus pinjaman dari lembaga pembiayaan, dia menyewa bangunan di Jalan Flamboyan, Gejayan. Sisanya dibelikan satu mesin cuci, mesin pengering, dan setrika listrik.

Dalam sebulan, Simply Fresh menjadi laundry favorit para mahasiswa di daerah itu, mengalahkan tiga perusahaan laundry lain yang lebih dulu ada, karena harganya lebih murah, Rp 2.500 per kilogram. Konsumen boleh memilih jenis pewangi pakaian, dan tak ada batas minimal. ”Laundry kiloan biasanya hanya mau menerima minimal lima kilo cucian,” kata Agung, yang sejak sekolah menengah pertama hidup mandiri, terpisah dari orang tuanya yang menetap di Bandar Lampung.

Agung juga berani menawarkan cuci kilat selesai dalam empat jam. Dengan peralatan seadanya plus dua karyawan, ia ikut mencuci dan menyetrika. Dia juga tak sungkan berkeliling mengambil cucian kotor dari pelanggan, yang sebagian teman kuliahnya. Di awal usaha, omzet sebulan Rp 8 juta, sebagian besar habis untuk keperluan operasional dan menggaji dua karyawan. ”Saya belum mengejar keuntungan, tapi mencari pelanggan,” katanya.

Melihat pasar yang menjanjikan, Agung nekat membuka cabang di daerah Monumen Jogja Kembali (Monjali) dan Selokan Mataram. Modal tambahan dia pinjam dari Bank Perkreditan Rakyat dengan jaminan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor. Meski makin sibuk berbisnis, anak ketiga dari enam bersaudara itu tetap bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu: empat tahun, dengan indeks prestasi 3,3.

Toh, keberhasilan itu tak membuat orang tuanya, Agus Susanto dan Hermin Yulistyowati, merestui pilihannya. ”Ngapain sekolah tinggi kalau cuma jadi tukang cuci,” kata Agung, menirukan ayahnya. Maklum, dalam keluarga besarnya, tak satu pun yang menjadi pengusaha. Ayahnya pengacara, dua kakaknya jaksa dan dokter.

Atas desakan orang tua, Agung sempat melamar ke Bank Indonesia. Namun dia mundur setelah lulus hingga tahap wawancara terakhir. Panggilan menjadi pebisnis lebih kuat dibanding menjadi pegawai kantoran. ”Aku berjanji kepada orang tua, kalau dalam setahun usahaku tidak berhasil, jadi apa saja aku mau,” tuturnya. Ayah-ibunya setuju.

Agung langsung tancap gas. Berbekal ilmu bisnis dan keuangan yang dipelajari sendiri, dia mewaralabakan bisnisnya. ”Saya lihat banyak orang Indonesia yang ingin menginvestasikan uang tapi bingung mau bisnis apa, dan tak berani mengambil risiko,” kata finalis wirausaha muda mandiri ini. Sistem waralaba, menurut dia, menjadi solusi terbaik. Agung pun menawarkan tiga paket investasi: Rp 85 juta, Rp 104 juta, dan Rp 145 juta, dengan imbalan (fee) delapan persen dari omzet setiap bulan pemegang merek Simply Fresh.

Gerai waralaba pertama berdiri di Depok, Bintaro, Timika (Papua), dan Banda Aceh. Dalam setahun, Simply Fresh berbiak menjadi 30 gerai. Hingga 2009, usaha binatu itu sudah beranak-cucu mencapai 105 gerai dan 200 agen (sub-outlet) Simply Fresh. Agen merupakan ”anak” gerai yang berfungsi sebagai pengumpul cucian kotor dan bersih. Pelanggan Simply Fresh meluas ke tingkat perusahaan, hotel, tempat spa, dan rumah sakit.

Agung pun mulai menikmati wanginya bisnis binatu kiloan. Omzet total sebulan tak kurang dari Rp 3 miliar. Sejak setahun lalu, dia berkantor di gedung tiga tingkat di atas lahan 150 meter persegi di tepi jalan raya Monjali, yang merupakan kantor miliknya sendiri. Kerja sama dengan pengusaha di Malaysia sedang dijajaki. Dia juga diganjar berbagai penghargaan.

”Saya bahagia bisa membuka lapangan kerja,” kata Agung, yang sudah menyerap hampir seribu tenaga kerja. Itulah yang mendorongnya terus berinovasi, antara lain dengan menggunakan detergen ramah lingkungan buatan mahasiswa Jurusan Kimia Universitas Gadjah Mada. Bersama salah seorang kenalannya, bekas karyawan PT Dirgantara Indonesia yang lulusan Jerman, dia juga membuat mesin pengering hemat energi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar