Ebiz Ads

Kamis, 26 Mei 2011

Juragan Lintah Beromzet Jutaan Rupiah


Menjijikkan tapi menguntungkan. Begitulah slogan Midin Muhidin, pengusaha dari Depok, Jawa Barat, dalam mengibarkan usaha lintahnya. Di tangannya, binatang penghisap darah ini justru membawa berkah dan rezeki. Baru setahun lebih usahanya berjalan, ia sudah bisa mengantongi omzet hingga Rp 120 juta per bulan.

Sebelum memulai bisnis lintah, Midin Muhidin adalah seorang karyawan di semuah perusahaan perakitan pompa minyak dan gas dengan jabatan document controller and HSE safety. Bosan menyandang status karyawan kantoran dengan rutinitas jam kantor dan penghasilan pas-pasan selama tujuh tahun, ia pun memutuskan untuk berwiraswasta.

Midin lantas meninggalkan pekerjaannya. "Dengan jam kerja yang fleksibel, membuat saya punya lebih banyak waktu luang bagi diri sendiri," kata Midin. Pria kelahiran 15 Juli 1972 ini kemudian berburu informasi mengenai komoditas yang paling menguntungkan untuk dibudidayakan. Sampai suatu ketika, Midin melihat peluang usaha lintah secara kebetulan.

Ceritanya, saat itu, dia mengantarkan orang tua angkatnya yang sakit stroke stadium tiga untuk terapi lintah di Depok. "Ajaib, setelah dua kali terapi, orang tua saya menunjukkan perubahan yang signifikan, hampir sembuh total dan bisa berjalan lagi," ujar Midin.

Sejak itu, ia mulai yakin khasiat terapi lintah. Dari hasil ngobrol sana-sini dengan banyak terapis lintah, ternyata mereka selama ini kesulitan mencari binatang penyedot darah itu karena pemasoknya masih jarang. Apalagi yang membudidayakan sendiri. "Saya pikir, ini peluang bisnis yang sangat bagus," kata Midin.

Akhirnya, Midin memulai usaha pada September 2009 dengan modal Rp 10 juta. Ia memakai dana ini untuk biaya renovasi lahan dan pembelian 500 indukan lintah seharga Rp 1,5 juta. Dia pun membangun badan usaha CV Enha Farm untuk peternakan lintahnya.
Beruntung, lahan budidaya lintah yang ia pakai seluas kurang dari satu hektare di daerah Limo, Depok milik saudaranya. Jadi, Midin tidak perlu membayar sewa. "Saya hanya menumpang lahan," ungkap dia.

Di awal-awal usaha, teman-temannya banyak meragukan keberhasilan budidaya lintah. "Bisnis lintah saat itu masih tergolong asing dan terapi lintah ketika itu juga belum banyak yang tahu," imbuhnya.

Tetapi, Midin jalan terus sambil mempelajari manfaat lintah sebagai alat terapi dari bermacam referensi secara otodidak. Hasilnya, terapi lintah ternyata sudah sangat populer dalam dunia kedokteran di pelbagai negara, seperti Rusia, China, Jerman, dan Prancis. Bahkan, menurutnya, bangsa Mesir kuno sudah mempraktekkan pengobatan alami ini. Fungsi lintah untuk mengisap darah kotor yang ada di dalam tubuh manusia. Itu sebabnya, terapi lintah bisa mengobati bermacam penyakit termasuk diabetes dan stroke. Saat lintah menyedot darah kotor, binatang tersebut juga melepas zat hirudinnya yang berfungsi sebagai antikoagulan yang dapat mencegah penggumpalan darah.

Tapi, tak sembarang lintah bisa dipakai untuk terapi. Hanya lintah jenis Hirudo medicinalis atau Hirudo spinalis yang bisa digunakan sebagai sarana terapi. Di Indonesia, lintah ini dikenal dengan nama lintah kerbau. Lintah kerbau hanya hidup di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Makanya, negara-negara barat selalu mencari lintah kerbau ke tiga negara tersebut dengan jumlah permintaan yang tinggi. "Thailand dan Malaysia sudah lebih dulu mengekspor lintah," tutur Midin.

Menurut Midin, budidaya lintah cukup mudah lantaran tidak membutuhkan lahan yang luas. Biaya budidaya pun sangat murah. Ia bisa menampung sekitar 1.000 ekor lintah dalam satu bak berukuran 2x3 meter hanya dengan memberi pompa oksigen. Air diganti setiap dua pekan sekali. Risiko paling besar hanya polutan seperti asap rokok yang mampu menimbulkan risiko kematian si lintah.

Pakan lintah antara lain belut hidup. Lintah menghisap darah belut saban dua pekan. Perhitungannya, 20.000 lintah butuh 4 kilogram belut yang harga sekilonya Rp 52.000. Pembiakan hewan hermaprodit ini gampang saja, karena cepat berkembang biak. Alhasil, dua bulan pertama mengawali usaha, Midin sudah mendapatkan banyak lintah. Panen pertama, dia meraih omzet Rp 50 juta.

Kewalahan memenuhi lintah kering

Permintaan lintah untuk terapi memang sangat banyak. Di bulan ketiga, Midin sudah mencetak omzet hingga Rp 75 juta. Sebulan kemudian, penjualannya mencapai Rp 100 juta. Di awal tahun 2010, CV Enha Farm sudah mencatat penjualan lintah Rp 120 juta per bulan.

Ia menjual 10.000 lintah per pekan untuk terapi dengan harga Rp 3.000 per ekor. Dari total penjualan Rp 120 juta sebulan, Midin mengantongi keuntungan hingga separuhnya, Rp 60 juta.

Kesuksesan yang diraihnya dalam waktu sekejap membuat banyak orang terinspirasi mengikuti jejaknya. Kini, bermunculan pembudidaya hewan pengisap darah ini. Namun, Midin tak menganggapnya sebagai saingan. "Saya yakin setiap pembudidaya sudah memiliki jaringan masing-masing," ujar pria 39 tahun ini.

Lagipula, ia yakin pasar untuk lintah dan berbagai produk turunannya masih terbuka lebar. "Pasokan dari pembudidaya masih belum cukup memenuhi permintaan," ujar Midin.
Midin sudah memasok lintah ini untuk banyak terapis di seluruh Indonesia. Para terapis sendiri lebih gampang mendapat pasokan. Sebelum Midin memasok secara rutin, para terapis ini harus mencari lintah dari alam. "Lintah-lintah itu harus dikarantina dulu supaya lebih higienis untuk terapi," kata Midin. Sementara lintah-lintah dari Enha Farm lebih terjaga kebersihannya.

Midin juga mempromosikan usahanya ke pasar ekspor melalui situs lintahindonesia.com. Dari situs inilah beberapa permintaan lintah kering masuk.
Awal tahun 2010, Midin pun sudah mengekspor lintah kering ke berbagai negara sambil memasok lintah untuk terapis lokal. Dalam sepekan, Midin menjual 10.000 lintah berumur delapan bulan hingga lima tahun ke terapis lokal. Selain itu, Midin pun menjalin kerjasama dengan produsen minyak lintah lokal. Kini, kerjasama dengan pengolah minyak lintah ini sudah berjalan dua tahun.

Midin pun pernah mengirim 50 kilogram lintah kering untuk bahan baku kosmetik ke China. Lintah-lintah kering ini akan diolah kembali menjadi tepung. Puas dengan lintah-lintah kering yang dikirim Midin, pembeli dari China ini menginginkan pasokan kontinyu. Midin pun mendapat pesanan satu ton lintah kering per bulan dengan masa kontrak dua tahun. "Tapi terpaksa saya tolak karena tidak ada stok," kata Midin.
Padahal, lintah-lintah yang berasal dari Indonesia termasuk lintah kelas mahal dan berkualitas. Kondisi lembab dan curah hujan yang cukup stabil membuat lintah betah tinggal di Indonesia. Lintah tumbuh baik pada wilayah beriklim tropis dengan kelembaban 30 persen.

Karena keterbatasan kapasitas produksi itulah kini Midin hanya mengekspor rutin ke Korea Selatan 500 kilogram lintah kering tiap bulan. Untuk mendapatkan 500 kilogram lintah kering, Midin harus menyediakan 2,5 juta lintah basah.

Proses pengeringan lintah ini cukup sederhana. Midin hanya perlu menjemur lintah yang minimal berusia enam bulan di basah terik matahari. Penjemuran ini memakan waktu sehari hingga kering. Midin bilang, harga lintah kering di pasar internasional berkisar antara 250 dollar AS hingga 400 dollar AS per kilogram. Jadi, sebulan Midin bisa mencetak pendapatan ekspor lintah kering ini hingga Rp 1,8 miliar.

Meski sudah mengekspor lintah kering, Midin tetap melayani para terapis lintah yang sudah menjadi langganannya. "Karena permintaan ini datang setiap hari," kata Midin. Lagipula, kalau dihitung-hitung, harga lintah segar untuk terapi ini lebih bagus daripada harga lintah kering ekspor.

Selain memasok bahan mentah dan setengah jadi, Midin pun berniat memproduksi produk turunan lintah. Saat ini, produk-produk turunan lintah Midin sedang dalam proses sertifikasi Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sejak November 2010 lalu Midin sudah tidak sendirian memasok lintah untuk berbagai kebutuhan dari peternakan sendiri. Ia mengajak puluhan petani umuk bermitra dengannya. Ia pun memberi pelatihan. Kini, para petani sudah memasok lintah secara rutin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar