Ebiz Ads

Sabtu, 10 April 2010

Ebiz Inspirations


Sandiaga S Uno, Masih Muda Sudah Jadi Miliarder

Di negeri ini, jumlah pengusaha sukses masih sedikit. Lebih sedikit lagi jika mencari pengusaha masih muda, sukses, dan kaya. Tiga orang ini memenuhi kriteria tersebut. Umur mereka belum 40 tahun, tapi kesuksesannya tak diragukan lagi. Siapa saja mereka?

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) pasti kenal dengan sosok Sandiaga S. Uno. Dia baru saja lengser dari jabatan ketua umum pusat organisasi yang beranggota lebih dari 30 ribu pengusaha itu.

Sandi -demikian penyandang gelar MBA dari The George Washington University itu biasa disapa- tercatat sebagai orang terkaya ke-63 di Indonesia versi Globe Asia. Kekayaannya USD 245 juta.



Sandi menyatakan tak disiapkan untuk menjadi pebisnis oleh orang tuanya. ”Orang tua lebih suka saya bekerja di perusahaan, tidak terjun langsung menjadi wirausaha,” ujar pria penggemar basket itu.

”Menjadi pengusaha itu pilihan terakhir,” akunya. Karena itulah, dia tak berpikir menjadi pengusaha seperti yang telah dilakoni selama satu dekade ini. ”Saya ini pengusaha kecelakaan,” katanya, lantas tertawa.

Kiprah bisnis Sandi kini dibentangkan lewat Grup Saratoga dan Recapital. Bisnisnya menggurita, mulai pertambangan, infrastruktur, perkebunan, hingga asuransi. Namun, dia masih punya cita-cita soal pengembangan bisnisnya. “Saya ingin masuk ke sektor consumer goods. Dalam 5-10 tahun mendatang, bisnis di sektor tersebut sangat prospektif,” katanya, optimistis.

Seorang pebisnis, kata dia, memang harus selalu berpikir jangka panjang. Bahkan, berpikir di luar koridor, berpikir apa yang tidak pernah terlintas di benak orang. “Mikir-nya memang harus jangka panjang.”

Dia mencontohkan, dirinya masuk ke sektor pertambangan awal 2000. Saat itu, sektor tersebut belum se-booming sekarang. ”Jadi, ketika sektor itu sekarang naik, kami sudah punya duluan,” ujarnya.

Dia sesekali menyeruput air putih yang terhidang di sebuah ruang di kantornya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Sesekali pula dia menerima telepon dari sejumlah koleganya. Bahkan, dia sempat menjawab pertanyaan wartawan lewat telepon. Sandi dikenal sebagai sosok yang rendah hati. Dia tak membeda-bedakan orang dalam bergaul. ”Makin banyak teman kan makin enak,” kata bapak berputri dua itu.

Sandi semula adalah pekerja kantoran. Pascalulus kuliah di The Wichita State University, Kansas, Amerika Serikat, pada 1990, Sandi mendapat kepercayaan dari perintis Grup Astra William Soeryadjaja untuk bergabung ke Bank Summa. Itulah awal Sandi terus bekerja sama dengan keluarga taipan tersebut. ”Guru saya adalah Om William (William Soeryadjaja, Red),” tutur pria kelahiran 28 Juni 1969 itu.

Bapak dua anak itu kemudian sedikit terdiam. Pandangannya dilayangkan ke luar ruang, memandangi gedung-gedung menjulang di kawasan Mega Kuningan. ”Saya masih ingat, sering didudukkan sama beliau (William Soeryadjaja, Red). Kami berdiskusi lama, bisa berjam-jam. Jiwa wirausahanya sangat tangguh,” kenangnya. William tanpa pelit membagikan ilmu bisnisnya kepada Sandi. Dia benar-benar mengingatnya karena itulah titik awal dia mengetahui kerasnya dunia bisnis.

Di tanah air, Sandi hanya bertahan satu setengah warsa. Dia harus kembali ke AS karena mendapat beasiswa dari bank tempatnya bekerja. Dia pun kembali duduk di bangku kuliah The George Washington University, Washington. Saat itulah, fase-fase sulit harus dia hadapi. Bank Summa ditutup. Sandi yang merasa berutang budi ikut membantu penyelesaian masalah di Bank Summa.

Sandi kemudian sempat bekerja di sebuah perusahaan migas di Kanada. Dia juga bekerja di perusahaan investasi di Singapura. ”Saya memang ingin fokus di bidang yang saya tekuni semasa kuliah, yaitu pengelolaan investasi,” tutur ayah dari Anneesha Atheera dan Amyra Atheefa itu.

Mapan sejenak, Sandi kembali terempas. Perusahaan tempat dia bekerja tutup. Mau tidak mau, dia kembali ke tanah air. ”Saya berangkat dari nol. Bahkan, kembali dari luar negeri, saya masih numpang orang tua,” katanya.

Sandi mengakui, dirinya semula kaget dengan perubahan kehidupannya. ”Biasanya saya dapat gaji setiap bulan, tapi sekarang berpikir bagaimana bisa survive,” tutur pria kelahiran Rumbai itu. Apalagi, ketika itu krisis.

Dia kemudian menggandeng rekan sekolah semasa SMA, Rosan Roeslani, mendirikan PT Recapital Advisors. Pertautan akrabnya dengan keluarga Soeryadjaja membawa Sandi mendirikan perusahaan investasi PT Saratoga Investama Sedaya bersama anak William, Edwin Soeryadjaja. Saratoga punya saham besar di PT Adaro Energy Tbk, perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia yang punya cadangan 928 juta ton batu bara.

Bisa dibilang, krisis membawa berkah bagi Sandi. ”Saya selalu yakin, setiap masalah pasti ada solusinya,” katanya. Sandi mampu ”memanfaatkan” momentum krisis untuk mengepakkan sayap bisnis. Saat itu banyak perusahaan papan atas yang tersuruk tak berdaya. Nilai aset-aset mereka pun runtuh. Perusahaan investasi yang didirikan Sandi dan kolega-koleganya segera menyusun rencana. Mereka meyakinkan investor-investor mancanegara agar mau menyuntikkan dana ke tanah air. ”Itu yang paling sulit, bagaimana meyakinkan bahwa Indonesia masih punya prospek.”

Mereka membeli perusahaan-perusahaan yang sudah di ujung tanduk itu dan berada dalam perawatan BPPN -lantas berganti PPA-. Kemudian, mereka menjual perusahaan itu kembali ketika sudah stabil dan menghasilkan keuntungan. Dari bisnis itulah, nama Sandi mencuat dan pundi-pundi rupiah dikantonginya.

Sandi terlibat dalam banyak pembelian maupun refinancing perusahaan-perusahaan. Misalnya, mengakuisisi Adaro, BTPN, hingga Hotel Grand Kemang. Dari situlah, kepakan sayap bisnis Sandi melebar hingga kini.

Terpaksa ke Mal demi Anak

Sandiaga S. Uno adalah citra kesuksesan. Semua orang tahu hal itu. Namun, di balik aktivitasnya yang padat, dia merasa berdosa kepada keluarga. Sebab, waktunya hampir habis tersita untuk aktivitas bisnis dan organisasi. “Saya merasa nggak adil sama keluarga. Saya kerja begini untuk siapa? Rasanya ada yang hilang,” tutur Sandi.

Sandi mengaku, biasanya menjadikan Sabtu-Minggu sebagai hari untuk keluarga. Itu pun sangat terbatas. “Saya paling suka ke Senayan. Pasti Sabtu olahraga bareng keluarga di sana. Pagi lari, agak siang sedikit pukul-pukul bola, golf,” ceritanya.

Kemudian, biasanya mereka sekeluarga jalan-jalan ke mal. “Sebenarnya, saya paling nggak suka ke mal. Tapi, ya sedikit menyenangkan anaklah,” kata Sandi yang mengaku tak tertarik terjun ke dunia politik.

Namun, waktu yang singkat itu kadang terampas. Misalnya, akhir-akhir ini menjelang Kongres Hipmi, dia harus lebih sering berkunjung ke daerah, mengonsolidasikan pengurus-pengurus Hipmi di daerah. “Terus terang, saya barusan dimarahi anak. Mereka protes karena akhir pekan kemarin, saya nggak bisa kumpul bareng keluarga,” ujarnya. “Kata anak saya yang kecil, ‘Pa, keluarga kan lebih penting’,” ucapnya menirukan perkataan sang anak.

Sandi lantas tertawa mengingat polah lucu sang anak itu. “Jujur, saya selalu ingin ada di samping mereka. Saya ingin memberikan yang terbaik,” tambahnya dengan mimik serius.

Karena itu, Sandi kerap berangan-angan bahwa sehari itu bukan 24 jam. “Seandainya sehari itu ditambah empat jam saja, tambahan empat jam tersebut akan saya habiskan bersama keluarga,” tegasnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar