Ebiz Ads

Jumat, 19 Februari 2010

Rohprihati, Keset "The Power of Kepepet"


Kegundahan Rohprihati menyaksikan banyak tetangga di desanya terkena pemutusan hubungan kerja massal pada tahun 1998 berujung manis. Ia memotori kerajinan keset dari kain limbah industri garmen yang menyerap korban PHK di sekitar rumahnya. Kini sudah lebih dari 700 orang yang menggeluti usaha keset itu.

Pengaruh krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1997 begitu terasa di Desa Wonoyoso, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Banyak perusahaan gulung tikar dan memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya. Akibatnya, banyak orang yang merupakan tulang punggung keluarga kehilangan mata pencarian.

Para orangtua bingung kehabisan uang untuk membeli makanan, sedangkan anak-anak terpaksa putus sekolah. Efek tak langsung juga mulai dirasakan. Persoalan sosial muncul. Keluarga menjadi tidak harmonis, banyak anak-anak kongko dan minum minuman keras. Meski tak terlalu kentara, terindikasi pula perempuan yang ”dijual” di luar Jawa.

Kondisi lingkungannya yang memprihatinkan itulah yang memancing Rohprihati berbuat sesuatu. Dia mengakui tindakannya bukan didasari keinginan mencari keuntungan. Secara ekonomi ia tak bermasalah karena usaha mebel dan kasur kapuk yang dirintis sejak tahun 1989 masih mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Omzet usaha kasurnya saat itu mencapai Rp 12 juta per pekan.

Ibu dua anak itu kemudian mulai mengajak tetangganya membuat kerajinan. Keset menjadi pilihan karena komoditas itu bisa diserap oleh seluruh lapisan masyarakat. Bahan baku kain perca limbah industri juga mudah didapat karena di sekitar Pringapus terdapat banyak industri garmen. Usaha ini juga dianggap ramah lingkungan karena memanfaatkan barang-barang yang sesungguhnya sudah dianggap sebagai ”sampah” industri.

”Saat itu, karena belum tahu cara membuat keset, kami membeli di pasar. Kami preteli satu per satu supaya tahu bagaimana cara membuatnya,” ungkap Rohprihati.

Merintis usaha itu ternyata sukar-sukar mudah. Korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari industri garmen bisa cepat menyesuaikan diri, tetapi ada pula ibu-ibu yang masih kewalahan akibat belum terbiasa menjahit secara cepat dan rapi. Awalnya, setiap orang baru bisa memproduksi tiga hingga empat keset per hari. Namun, setelah mahir bisa mencapai 10 hingga 15 keset per hari.

Wilayah pemasaran keset itu sudah menembus Bali, Kalimantan, dan Sumatera. Harga jualnya juga bervariasi, mulai dari Rp 1.500 hingga Rp 35.000 per buah. Harga jual ini tergantung kerapian jahitan ataupun motif dan bentuk keset. Sementara itu, harga bahan baku rata-rata Rp 700 per keset.
Dengan harga jual itu, perajin sudah bisa mendapatkan penghasilan yang tidak terlalu kecil, sekitar Rp 25.000 per hari jika hanya membuat keset tanpa motif rumit. Perajin yang digerakkan Rohprihati diminta terus berinovasi menciptakan bentuk-bentuk keset menarik, misalnya berbentuk ikan, kura-kura, kupu-kupu, ataupun panda.

Rohprihati mengenang masa-masa awal itu. Dia menuturkan, kemampuan tetangganya membuat keset itu sebagai the power of ”kepepet”. Saat sudah tak ada lagi jalan lain yang terpikirkan, mereka akhirnya hanya bisa mengeluarkan seluruh daya kemampuan agar bisa membuat keset.

Rohprihati yang menjadi ”provokator” warga membuat keset akhirnya membeli produk itu dengan modal pinjaman. Namun, muncul beberapa persoalan lanjutan. Kesulitan pasar, misalnya, sempat menjadi kendala serius. Ia akhirnya menggunakan relasi dan saudara-saudaranya untuk memasarkan keset. Dia menitipkan keset kepada kenalan yang mau membantu. Usaha itu tidak sia-sia. Pemasaran mulai berjalan baik.

Selain kendala itu, usaha ini juga sangat rentan karena tingkat ketergantungan bahan baku dengan industri sangat tinggi. Hal ini coba diatasi dengan mencari bahan baku tidak hanya dari satu perusahaan. Bahkan, dia juga mencoba mencari bahan baku hingga ke luar Jawa Tengah.

Melihat keberhasilan usaha itu, jumlah perajin yang bergabung dalam UD Anugerah binaan Rohprihati bertambah banyak. Saat ini para perajin tak lagi hanya ibu-ibu, tetapi juga remaja. Pada tahun 2006 ada 400 perajin, tak hanya di Kecamatan Pringapus, tetapi meluas ke Kecamatan Bawen. Bahkan, saat ini jumlahnya sudah menembus 700 perajin hingga di Kecamatan Tuntang yang berbatasan dengan Kota Salatiga. Sebagian sudah mandiri, tak lagi menginduk ke UD Anugerah.

”Saya juga tidak pernah menghalangi kalau mereka mau mandiri atau menjual sendiri keset itu. Saya tetap menampung dan memasarkan keset untuk jalan keluar bila mereka menemui masalah. Jadi usaha ini bisa jalan terus,” katanya.

Sepak terjang dan sentuhan langsung dengan masyarakat itu yang memuluskan langkahnya saat mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Semarang dari Partai Demokrat, April 2009. Dia mampu meraih 4.848 suara pemilih dari Kecamatan Pringapus, Bawen, dan Tuntang. Suara yang diraihnya lebih dari separuh suara untuk partainya di daerah pemilihan itu yang sekitar 9.000 pemilih. Tiga daerah itu merupakan wilayah ”gerilya” Rohprihati dalam memberikan pelatihan kerajinan tangan.

Dia mengaku ingin memanfaatkan posisinya sebagai anggota Komisi B DPRD Kabupaten Semarang untuk mendorong perkembangan usaha kecil. Hal ini sesuai dengan kewenangan komisi yang didudukinya. Rohprihati mengatakan, selama ini dengan berada di luar sistem dia hanya bisa mendorong perkembangan usaha kecil dalam lingkungan terbatas.

1 komentar:

  1. SUKSES YA BU
    DARI SAYA ARIEF DAN KELUARGA
    SALAM UTK WARGA WONOYOSO DANSEKITARNYA

    BalasHapus