Ebiz Ads

Jumat, 26 Februari 2010

Adi Kharisma, Pencipta Olahan Ubi Ungu


Kesehatan itu mahal harganya. Slogan inilah yang membuat Adi Kharisma mengubah jalan hidupnya dari seorang pengusaha ritel sukses beromzet miliaran rupiah menjadi seorang penjual aneka makanan dan minuman dari ubi ungu. Dalam dunia pangan lokal, nama Adi Kharisma sudah cukup terkenal. Pria asli Bali ini sukses memperkenalkan nasi dan es krim dari ubi jalar sebagai salah satu kekuatan makanan lokal sekaligus sebagai produk makanan yang sehat.

Gara-gara inovasi produk dari ubi jalarnya ini, Adi Kharisma memperoleh penghargaan dari Dewan Pangan Italia. Tak hanya itu, sebagai duta pangan lokal, Adi juga sudah menyambangi Jepang dan Fiji untuk mempresentasikan produk jus dan sirup ubi ungunya.

Adi sendiri tak menyangka prestasinya bakal sebesar itu. Sebab, inovasi produk pangannya ini lahir dari ketakutannya terhadap kanker. Sampai tahun 1995, ada tujuh kerabat Adi termasuk ibu, paman, mertua serta kakaknya yang terkena penyakit kanker.

Karena dekat dengan orang-orang tersebut, Adi pun turut menyaksikan melihat pola makan mereka. “Ternyata pola makan yang salah merupakan penyebab terbesar terjadinya kanker,” ujar pria 50 tahun ini.

Adi pun kemudian banyak membaca buku-buku kesehatan. Ia tak ingin istri dan anaknya ikut menjadi korban. Maka, lima tahun berselang, Adi masih berkutat mempelajari aneka macam bahan makanan yang bisa memerangi kanker.

Tahun 2000, Adi menemukan resep diet dengan menjalankan pola makan sehat. Ia mulai menjauhi aneka sea food, daging merah serta memperbanyak sayur dan buah. “Daging yang saya makan hanya daging ayam dan ikan,” ujarnya. Pengaruh bagi kesehatan Adi sangat signifikan. “Sampai sekarang, pilek pun saya tak pernah,” ujar pria berperawakan tinggi besar ini.

Karena yakin dengan hasil dietnya ini, Adi pun kemudian mencoba merambah bisnis virgin coconut oil (VCO) sejak tahun 2004. Sayang, bisnis minyak kelapa itu kandas di tengah jalan. Padahal, Adi sudah menggelontorkan uang Rp 100 juta-an untuk mempelajari aneka hal tentang budidaya kelapa dan pengolahannya. “Para petani hanya mau menjual kelapa. Tidak mau dibina untuk memanfaatkan sabut, batok, air serta daging kelapanya,” keluh anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini.

Namun, pada tahun tersebut, usaha Adi yang lain sangat sukses. Bisnis distribusi makanan dan minumannya menyumbang duit Rp 1,5 miliar per bulan ke kantongnya. Belum lagi pemasukan dari 10 convenient mart, empat gerai warung soto, serta satu gerai waralaba Subway Sandwich di Australia.

Gagal menjalani bisnis kelapa, Adi pun banting setir melirik ubi jalar ungu. Pasalnya, makanan yang berwarna ungu, hitam atau kemerahan mengandung zat antosianin yang ampuh memerangi kanker. Karena itu, sejak tahun 2006, Adi fokus menggeluti usaha pengolahan makanan dari ubi jalar ungu.

Saat ini Adi mengelola dua gerai penjualan produk makanan dari ubi jalar di Bali dan di Jakarta dengan omzet sekitar Rp 50 juta sebulan. Satu per satu bisnisnya yang lain pun ia lepas. “Untuk distribusi barang, saat ini dipegang istri saya,” ujarnya. Sementara convenient mart, warung soto, serta gerai waralaba Subway Sandwich-nya sudah sudah ia lepas.

Beralih ke bisnis kuliner ubi jalar

Gagal mengembangkan bisnis kelapa, Adi Kharisma beralih ke bisnis kuliner ubi jalar. Di bisnis barunya ini, Adi sukses mengembangkan aneka makanan dari ubi, terutama ubi ungu. Namun, ia harus bersaing ketat dengan para pesaingnya.

Kegagalan bisnis kelapa yang pernah dijalaninya membuat Adi Kharisma memetik pelajaran berharga. Salah satunya, ia merasa harus berubah dan berani keluar dari zona nyamannya. Apalagi, menurut Adi, dari seluruh jumlah manusia di bumi ini, hanya 20 persen yang ingin dan berani melakukan perubahan itu.

Tak mau tenggelam dalam kegagalannya, pria kelahiran Bali 50 tahun silam ini kemudian mengalihkan bisnisnya ke pengolahan aneka umbi-umbian. Untuk memulai usaha ini, masalah yang pertama-tama ia hadapi adalah pasokan bahan baku. Untuk mengatasinya, Adi berencana bekerja sama dengan para petani di Yogyakarta.

Ada alasan mengapa ia membidik petani-petani di Kota Gudeg itu. Menurut Adi, selama ini produksi umbi-umbian dari Yogyakarta cukup besar. Misalnya saja umbi yang lazim dikenal dengan nama gembili.

“Namun sayang, penanaman umbinya lama, bisa sampai delapan bulan,” kata Adi. Karena itu, akhirnya ia memilih mengolah ubi jalar. Sebab, selain sudah banyak ditanam, ubi ini juga mudah dibudidayakan.

Ada alasan penting lain mengapa ia akhirnya memilih ubi jalar, yaitu karena ubi jalar mengandung banyak zat antosianin yang bisa mencegah kanker. “Antosianin itu berguna untuk mengencerkan darah yang kental serta menyerap racun dan polusi di darah,” ujarnya.

Namun, hingga sekarang ini Adi masih mengandalkan pasokan ubi jalar dari beberapa petani lokal di Bali. Selain itu, ia juga memiliki kebun sendiri seluas 1,5 hektare “Saat ini dalam sebulan saya butuh lebih dari tiga ton ubi jalar,” ujarnya.

Sebelum memulai bisnisnya, Adi mengaku melakukan eksperimen sendiri selama enam bulan. “Selama itu, saya makan semua hasil eksperimen saya,” kenangnya sembari tertawa. Produk pertamanya yang keluar adalah nasi ubi ungu, lalu disusul dengan es krim ubi ungu dan brownies ubi ungu.

Ada pula pebisnis lain yang membuat olahan ubi ungu ini dan menjadi pesaing Adi. Pebisnis tersebut, antara lain, ada di Malang. Di kota tersebut sudah ada dua toko yang menjual aneka olahan ubi ungu. Itu sebabnya, setelah Pulau Bali, ia lebih memilih merambah Jakarta daripada merambah pasar di dekat Bali.

Selain itu, untuk menyiasati persaingan, Adi kemudian membuat produk ubi jalar dari empat warna ubi jalar yang ada, yaitu ungu, putih, kuning, dan oranye. “Dengan begitu saya jadi produsen makanan dari ubi yang pertama mengolah ubi empat warna,” ujarnya senang.

Ketika meritis pasar di Bali, Adi memakai toko warisan keluarga yang ada di Jalan Teuku Umar, Denpasar, untuk menjajakan aneka produk makanannya. Namanya Warung Sela Boga.

Namun, tempat yang dulunya merupakan pusat jajanan itu ternyata tidak cukup ramai. Adi hanya mengantongi omzet Rp 30 juta-Rp 50 juta setiap bulannya. Maka dari itu, tahun 2008 silam, Adi merambah Jakarta dan mendirikan warung di daerah Bintaro Sektor 1, Jakarta Selatan. Ia menyewa warung kecil dengan tarif Rp 1,5 juta per bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar