Ebiz Ads

Rabu, 06 Januari 2010

Suwarno Klitikan: Telaten, Untung-untungan, dan Kepuasan Diri


Awalnya, Suwarno (60) merasa tertipu saat membeli sebuah keris karatan dengan harga Rp 75.000 dari seseorang. Sepuluh tahun lalu, uang segitu adalah setara dengan penghasilannya selama tiga hari. Sang istri pun ikut memarahinya.
Semakin kuat keyakinannya bahwa ia tertipu karena selama tiga bulan, keris itu tak laku-laku juga. Namun ia heran ketika pada suatu hari seseorang membeli keris tersebut Rp 450.000. Dengan senang hati, keris jelek itu pun dilepasnya.
Namun selang beberapa hari si pembeli keris balik lagi dan bertanya apakah Suwarno punya keris lain. Ternyata, dia pedagang yang paham seluk-beluk keris, dan baru saja menjual keris tersebut Rp 30 juta lebih. Tercenganglah Suwarno mendengar itu.
Ia berburu benda-benda kuno itu sampai ke seluruh penjuru Jawa, dan banyak menemukannya di Jawa Tengah dan Yogyakarta. "Namun ada juga yang belum saya dapat, padahal sudah berbulan-bulan menyambangi si pemilik di Wonosari. Tak mempan-mempan juga usaha saya merayunya," kata Suwarno sembari tertawa. Benda yang dicari itu adalah lampu gantung buatan Amerika Serikat tahun 1800-an.
Ia pun mulai belajar tentang keris. Beranjak dari pengalaman itu, ilmu tentang radio dan lampu gantung kuno pun didalami. Suwarno pun tak lagi berjualan onderdil motor dan sepeda atau kembali ke pekerjaannya dulu sebagai sopir mobil pribadi. Kini, di Pasar Klitikan Pakuncen, Yogyakarta, Suwarno dikenal sebagai penjual keris, radio, dan lampu kuno yang bisa dibilang belum ada saingannya.
Slamet (37), pedagang di pasar klitikan Pakuncen, juga punya kisah menarik. Tahun 1994 lalu, seorang teman di Sambas, Kalimantan memberi informasi bahwa kenalannya mempunyai samurai Jepang. Slamet langsung berangkat naik kapal dan seminggu bernegosiasi harga secara alot dengan si pemilik.
Samurai yang masih mengkilat itu akhirnya sukses dibawa pulang dengan tebusan Rp 130.000. Ia bisa menjualnya kembali Rp 400.000. Tahun 1994, jumlah itu sangat banyak, sehingga Slamet bisa kulakan banyak barang dan membeli perabotan rumah.
"Kalau cerita mendapatkan barang yang mudah, ada. Misalnya mobil ini. Saya membelinya dari tetangga, dan saya membayarnya dengan mobil plastik plus beberapa ribu rupiah," ujar Slamet sambil menunjuk mobil-mobilan berbentuk bus kecil terbuat dari lempeng besi.
Mobil buatan Cina tahun 1960-1970 itu, dijualnya dengan harga fantastis, Rp 750.000! Apakah mahal? "Wah, jawabannya karena ini barang kuno, nggak dibikin lagi. Coba saja cari mobil seperti ini, pasti nggak dapat. Hehehe,"
begitu kata Slamet yang awalnya berbisnis jual beli kayu ini, dengan nada promosi berbalut bangga.
Jika Slamet dan Suwarno mempunyai lapak untuk berjualan, Yadi (37) tidak. Yadi cukup menggelar jualannya, yakni sepeda kuno (onthel) dan onderdilnya, di rumahnya yang terletak persis di sebelah barat Pura Pakualaman. Sejak tahun 1994 ia menekuni pekerjaan ini, yang kebetulan sesuai dengan hobinya.
Jika mendengar informasi terpercaya tentang onthel dan onderdil onthel, Yadi langsung meluncur. Tak peduli harus sampai Magelang, Muntilan, hingga Madiun. Sering si pemilik yang awalnya ingin menjual onthel, lantas berubah pikiran. "Tapi sering juga si pemilik yang awalnya nggak mau menjual, eh, malah menjual. Ini bisnis unik dan tidak bisa ditebak. Tapi asyik," paparnya.
Suwarno mengutarakan, ia sangat bahagia bisa menyekolahkan empat anaknya walau hanya sampai SMA dengan berjualan barang kuno. "Saya akan tetap menekuni usaha ini. Namun satu hal saya pegang, yakni jangan berjualan ngawur, maksudnya memberi patokan harga mahal banget atau menipu pembeli yang nggak paham," ujar Suwarno.
Jual-beli barang kuno, diyakini mereka tetap akan menjadi bisnis menjanjikan di tahun-tahun depan. Seiring bertambahnya tahun, seiring barang-barang tertentu tak lagi dibikin, selama itulah bisnis mereka bertiga bertahan. Hal-hal yang tak terduga dan untung-untungan, adalah resiko yang mesti dilihat sebagai bumbu dalam berbisnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar